Belanja telah menjadi hobi
kebanyakan manusia di epos modern, bahkan sudah mulai merasuk sel-sel dan sub-atom kehidupan. Tidak melakukan
aktivitas tersebut berarti “mati”. Begitu juga Rebbeca Blomwood, tokoh rekaan
dalam film confession of Shopaholic,
menjadi salah satu gadis dari jutaan manusia modern yang sudah terjebak dalam
kehidupan budaya konsumersime. Aktivitas over belanja sudah berada pada level
tertinggi dalam kehidupan kesehariannya, Rebbeca menemukan aktualisasi dirinya
saat berbelanja ini-itu. Sebagai figur yang mapan, belanja tanpa brand ternama
bisa menjadi masalah besar baginya, untung saja globalisasi menyediakan kartu
ajaib bernama kartu kredit. Konsekuensi harga tinggi jadi tidak masalah karena
bisa menghutang secara terhormat.
Film yang diangkat dari novel
karya Sophie Kinsella dengan judul yang sama memperlihatkan kepada para
penonton betapa anehnya perilaku manusia yang adiktif belanja. Tidak berlebihan
saya kira ketika banyak scene yang
menggambarkan patung-patung di etalase toko menjadi hidup untuk merayu Rebbeca
agar segera membeli dan terus membeli. Sampai pada akhirnya, Rebbeca tidak bisa
lagi menggunakan kartu-kartu ajaibnya, karena hutang sudah melilitnya. Si
penagih, bahasa seramnya debt collector,
mengincar Rebbeca ke mana-mana.
Kondisi materialnya
mengkondisikan Rebbeca dalam menentukan cita dan mimpinya, ia ingin sekali
bekerja di perusahaan majalah fashion ternama. Namun sayang, nasib justru
membawa dia ke sebuah kantor majalah keuangan di Newyork. Keironisan cum tragedic dimulai.
Di kantor keuangan itu namanya
jadi semakin populer, stasiun-stasiun televisi sering mengundangnya menjadi
pembicara karena kemampuanya menuliskan artikel tentang mengatur finansial
secara sehat. Kontradiksi diperlihatkan, ia yang mampu menulis tips keuangan
dengan baik ternyata tidak mampu menghentikan kebiasaan berbelanjanya, bahkan
semakin menggila. Intermezzo, karena
menonton ini saya ingin mencurigai para pengkhutbah motivasi, bisa jadi lain
ucapan/tulisan lain pula tindakan.
Konsekuensi Kapitalisme Lanjut?
Film ini menjadi penegur yang
baik, apa lagi rilis tahun 2009, tahun di mana krisis ekonomi global sedang
memuncak. Bisa membuat sakit hati para shopaholic.
Jelas, ini refleksi yang menarik memperlihatkan getir kondisi manusia modern
hari ini.
Ketika Marx berseru, “Kaum buruh
sedunia bersatulah!” tampaknya ia belum sempat meramalkan bagaimana satu abad
kemudian, buruh-buruh ternyata mampu “bersatu” dan beramai-ramai membeli
produk-produk kapitalisme yang dikritikya. Bagi si kiri, fenomena yang
dicerminkan via Rebbeca, menjadi mutlak implikasi dari hadirnya kapitalisme
yang terus-menerus menggebu menyebarkan semangat akumulasi-ekspansinya. Karena
budaya konsumerisme bukan hanya dianut oleh kelas atas, toh kelas menengah ke bawah pun ditarik menjadi pemuja
konsumerisme.
Realitas Rebbeca tidak parsial
territorial. Alissa Quart penulis buku Belanja Sampai Mati (2008), menceritakan
kondisi serupa juga terjadi di Korea Selatan. Perusahaan kartu kredit di negeri
ginseng berlomba mengeluarkan kartu kredit untuk remaja pengganguran dan
mahasiswa. Rebbeca masih dalam posisi setengah waras, karena dalam berkelit
dari tagihan hanya tipu sana-sini, beda dengan para remeja di Korea Selatan,
yang ironisnya ini bukan film, tingkat perampokan menjadi meningkat yang
dilakukan oleh para remaja pengangguran karena untuk membayar tagihan kartu
kredit mereka.
Kembali ke film. Apa yang
dikonsumsi Rebbeca itu tak lebih dari sekedar tanda dari komoditas. Nilai tanda
sedikit melampaui nilai guna dan nilai tukarnya Marx. Bagi Baudrillard
objek/komoditas sebagai fungsi tanda, yakni pergeseran dari masyarakat metallurgic menuju masyarakat semiurgy yang merupakan dominasi total
oleh kode pertukaran tanda. Baudrillard (dalam Totona: 2010) berpendapat nilai
tanda sebagai nilai fundamental dalam ekonomi politik kapitalisme mutakhir
menjadi begitu totaliter dalam mengarahkan pergerakan dan pertukaran struktur
dalam masyarakat. Bahkan lebih dari itu nilai tanda adalah basis metafisis
dalam masyarakat konsumen, karena melalui tandalah masyarakat melakukan
identifikasi diri dan pertukaran struktur mereka. Ditegaskan pula oleh Pierre Bourdieu (1984) yang menyatakan
dari apa yang dilakukan konsumsi terhadap kita menjadi bagaimana kita
menggunakan konsumsi untuk tujuan pembeda sosial. Jadi manusia-manusia
seperti Rebbeca dalam cerita nyata akan memilih produk branded, dan tentu lebih prestisius jika berhasil mengkonsumsi yang
diproduksi secara limit edition
berlabel ori untuk menentukan dan meningkatkan statusnya, sedang beberapa
darinya cukup dengan membeli kw. Dalam pergaulan, mending nonkrong di KFC, Mc
Donald, Starbuck dari pada warung Bu Ijem.
Membincangkan konsumerisme,
selain konsepsi masyarakat konsumsi yang dijelaskan Jean Baudrillard
(1998), yakni kondisi manusia kontemporer yang dikepung oleh berbagai faktor konsumsi yang seakan-akan tampak
konkret yang berimplikasi pada ketidak-pernah-puasan manusia dalam memenuhi
kebutuhannya, juga tak bisa
lepas dari konsepsi kebutuhan palsu yang
digagas oleh Marcuse. Dalam kondisi kejaran hutang, Rebbeca masih membeli scraf
hijau yang sebenarnya tak ia butuhkan untuk memenuhi ilusi citra fashionnya.
Inilah kebutuhan palsu itu! Kebutuhan-kebutuhan palsu ini
merupakan tuntutan sosial yang perwujudannya berupa nilai-nilai dalam relasi
sosial seperti status sosial, prestise, eksistensi, dan citra, yang dinyatakan
melalui berbagai komoditas yang diperoleh dengan jalan konsumerisme.
Kapitalisme selalu tampil energic dalam melakukan aktivitasnya.
Tidak pernah mandeg dalam melakukan inovasi-inovasinya yang membuat ilusi.
Sekilas seperti yang ditampilkan film yang dilakoni oleh komedian Isla Fisher
ini, bujukan semacam etalase yang wah, iklan diskon dsb., menjadi perangkat
sekaligus cara kapitalisme dalam meningkatkan profitnya. Di sekitar kita, dalam
bahasa jenaka yang saya buat, pun muncul
pula repressif capitalist apparatus
sebagai perangkat ekspansi kapitalisme, atau bahasa umumnya sales-man. Bukankah mereka sering
memaksa kita kan?
Meloncat ke Ritzer (2006), dalam
analisisnya perilaku konsumsi seperti yang tersaji dalam film confession
of Shopaholic adalah mengkonsumsi kehampaan. Kehampaan olehnya
didefinisikan sebagai “bentuk sosial yang umumnya disusun, dikontrol secara
terpusat tanpa isi substantif yang berbeda. Defenisi ini membawa serta
didalamnnya tidak ada keputusan tentang yang diinginkan atau tidak diinginkan
dari bentuk sosial seperti itu atau tentang kelaziman yang makin meningkat .” Mengkonsumsi merk, citra, tanda ini meluksikan perubahan sosial yang
signifikan dalam masyarakat konsumsi. Komodifikasi bentuk yang tidak pernah
habisnya pada akhirnya menuju pada kehampaan.
Dalam bukunya Globalization of
Nothing yang dialih-bahasakan menjadi Mengkonsumsi Kehampaan di Era
Globalisasi, Ritzer memprovokasi banyak hal tentang tindakan konsumsi. Salah
satunya term baru yang ia ciptakan: grokal. Campuran antara global dan lokal.
Mengutip Ritzer:
“...menurut
defenisi, glokal merupakan beberapa kombinasi dari global dan lokal. Namun bila
lokal menghilang, setidaknya dalam bentuk murninya...inovasi-inovasi akan
dihasilkan dari kombinasi-kombinasi unik dari glokal. Namun inovasi-inovasi tersebut
akan dipengaruhi oleh grobal.” (Ritzer: 2006)
Moral ekonomi kapitalisme adalah saling menyerang, dalam bahasa
santunnya kompetisi. Globalisasi pun diserang, produk-produk globalisasi
dilawan oleh lokal. Walaupun sejatinya perlawanan ini masih tanda tanya, karena
tidak jarang lokal menyerang dengan bentuk mereplikasi atau mengitimasi yang
global. Hadirnya produk-produk kw menjadi cirinya. Atau Jogja Chiken pertigaan Sumampir, Purwokerto, yang sering dikunjungi
oleh para mahasiswa Unsoed itu adalah bentuk lain konfrontasi lokal terhadap
global. Kini global dan glokal menjadi bias dan kabur makna. Lokal tak jarang
bersetubuh dengan global dan menghadirkan term baru tadi, grokal.
Namun, dalam kacamata konsumerisme, fenomena ini berada dalam substansi
yang sama, satu paket. Sama-sama beramai-ramai mengkonsumsi tanda atau
kehampaan. Namun dalam tolerir nasionalisme, yang agak lokal wajahnya
ditampakan lebih ayu. Walaupun sama-sama anomali, moralitas kelas menengah ke
bawah mengatakan dosis konsumsi ori lebih parah dari konsumsi kw.
Kartu Kredit Itu
Saking terus menerusnya berbelanja, Rebbeca lupa, dia sudah menghabiskan
kuota sejumlah kartu kredit melebihi limit. Tragisnya ia lupa pernah
membelanjakan banyak barang lewat kartu-kartu ajaibnya itu, tahu-tahu tagihan
sudah membengkak. Lebih sialnya lagi ia di PHK dari kantor tempat kerjanya. Saya
jadi ingat 2011 lalu, ada berita tentang seorang nasabah meninggal terbunuh
(dibunuh?) di Indonesia oleh penagih hutang kartu kredit. Musibah ini terjadi
karena si korban tidak mampu membayar tagihan kartu kreditnya. Rebbeca
beruntung sang sutrada membuat film ini bergenre drama komedi, jadi ia tidak
sampai dibunuh oleh si debt collector.
Dalam film, si kartu kredit inilah yang menjadi pembawa bencana. Kehadiran
kartu kredit telah menjadi perangkat yang mempermudah kapitalisme dalam
percepatan aktivitas konsumsi para konsumen. Banyak para konsumen yang terjebak
dalam hegemoni kartu kredit. Bukan satu-dua cerita ada orang yang terlilit dan
dikejar hutang kartu kredit.
Setidaknyanya data dari Asosiasi
Kartu Kredit Indonesia (AKKI) menginformasikan pada tahun 2004 pengguna kartu
kredit di Indonesia mencapai 4,8 juta dan tentunya dalam rentang waktu 7 tahun
belakangan ini jumlah pengguna akan meningkat. Berbanding lurus dengan semakin
maraknya tempat-tempat yang menyajikan fasilitas kartu kredit dalam
transaksinya. Kartu yang dimetaforkan Ritzer sebagai lintah darah plastik ini
berhasil mendorong dan meningkatkan gairah orang untuk menjadi seorang shopaholic dan berbudaya hutang.
Kapitalisme dan Hasrat Si
Shopaholic
Kontradiksi keseharian dalam film muncul saat Rebbeca menjadi salah
seorang kolomnis keuangan. Mari kita mengandaikan sosok Rebbeca sebagai orang
sudah mempunyai kemampuan mengatur finansial yang luar biasa. Setidaknya saat
ia menulis artikel yang tiada lain sebenarnya refleksi dirinya sendiri saat
berbelanja, abstraksinya Rebbeca tahu benar apa yang dia lakukan saat banyak
berbelanja sebenarnya salah. Manusia tahu tapi kadang tidak pernah mau tahu, begitu
juga Rebbeca.
Kemampuan dan pengetahuannya kalah telak oleh hasrat ingin berbelanja
yang seakan tiada matinya. Seperti komentar duo Deleuze-Guattari (dalam
Hartono: 2007), kapitalisme memang lebih berkonsentrasi pada gerakan hasrat.
Fokus pada hasrat, sekurangnya disebabkan oleh dua alasan. Pertama, Keberlangsungan kapitalisme ditentukan oleh daya tarik
yang diciptakan oleh kapitalisme itu sendiri. Dengan kata lain, kapitalisme
eksis jika produk-produknya laku dalam media sosial. Konsumen adalah setiap
orang. Dengan demikian, target produksi kapitalisme adalah individu-individu, tepatnya
hasrat setiap individu. Dalam confession
of Shopaholic, hasrat Rebbeca yang
ditembak. Hasrat Rebbeca ditafsir sekaligus berusaha untuk dipuaskan melalui
produk-produk yang diciptakan kapitalisme. Dan hadirnya kartu kredit adalah
tafsiran yang cemerlang yang dilakukan kapitalisme kontemporer dalam menentukan
definisi hasrat-hasrat manusia Rebbecanian.
Kedua, hasrat merupakan sumber atau bahan mentah
terbesar produksi kapitalisme. Dalam bahasa lain, hasrat memiliki nilai surplus
dalam dirinya. Nilai surplus inilah yang kemudian ditarik ke luar oleh
kapitalisme dari rahim individu, dieksplorasi dan dimodifikasi.
Shopaholic menjadi suatu yang rumit dikendalikan. Tak hanya teori sosial
yang mecoba menafsirkan dan mengkritik hal ini. Bidang kesehatan pun memaksa
diri untuk terlibat memeriksa perilaku di luar batas ini. Adalah semacam OCD (Obsessive Compulsif Disorder) yang
diderita oleh si shopaholic, penyakit
psikologis yang menyebabkan penderitanya menjadi kecanduan dan tidak bisa
menghentikan perilaku tertentu. Orang yang menderita OCD faham benar apa yang
dilakukannya adalah tidak rasional, namun penderita tak mampu mengendalikannya,
seperti Rebbeca, walau sudah mampu menulis tips keuangan yang bijak, namun
masih tidak bisa mengontrol perilaku belanjanya. Dalam level tertentu OCD tak
hanya merubah fungsi namun juga arsitektur otak. Maka tak heran, bisa jadi tak
hanya diperlukan pusat rehabilitasi bagi shopaholic seperti yang ditampilakn
lewat film confession of
Shopaholic, tapi juga obat. Ya, obat dengan formulasi khusus dan resep
dokter. Sepuluh-duapuluh tahun lagi, apotek-apotek mungkin tak hanya menjual
obat sakit kepala, demam, batuk, tapi juga obat bagi penyakit shopaholic. []
Daftar
Pustaka
Baudrillard,
Jean. 1998. The Consumer Soceity: Myths and Structures. London: SAGE
Publications, Ltd.
Bourdieu,
Pierre. 1984. Distinction: A Social
Critique of the Judgment of Taste, terjemahan Richard Nice, Cambridge, MA : Harvard University Press
Hartono,
Agustinus. 2007. Skizoanalisis Deleuze Guattari: Sebuah Pengantar Genealogi
Hasrat.Yogyakarta & Bandung: Jalasutra
Totona,
Saiful. 2010. Miskin Itu Menjual, Representasi Kemiskinan Sebagai Modifikasi
Tontonan. Yogyakarta: Ressit Book.
Quart,
Alissa. 2008. Belanja Sampai Mati. Yogyakarta: Ressit Book
Ritzer,
George. 2006. Globalization of Nothing: Mengkonsumsi Kehampaan di Era
Globalisasi. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya.
3 komentar:
Bagus banget artikel abang ini..salut.
nice post sobat,,salam sukses..!
salam kunjungan sobat
Posting Komentar