Pasca UU Koperasi: Perjuangan Extra-Regulasi, Mungkinkah?

Oleh: Dodi Faedlulloh

Kamis (18 Oktober 2012) lalu, DPR mengetuk palu disahkannya RUU Koperasi baru yang menggantikan UU No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. Ada klaim optimisme dari para anggota dewan, seperti yang dituturkan secara percaya diri oleh Wakil Ketua Fraksi PKS Bidang Ekonomi dan Keuangan sekaligus Anggota Panja RUU Perkoperasian Sohibul Iman yang menyatakan “UU Perkoperasian yang baru ini akan menggantikan UU No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian yang telah berumur 20 tahun. UU baru ini diharapkan dapat merevitalisasi peran koperasi dalam perekonomian nasional sekaligus menjawab berbagai tantangan era baru ini. Juga melindungi masyarakat dari praktik-praktik penipuan yang mengatasnamakan koperasi,” (www.detik.com). Statemen yang menarik, namun begitukah?


Sebelum UU ini disahkan, banyak kalangan aktivis koperasi yang gusar dan menyampaikan masukan-masukan, kalau tidak ingin disebut sebagai kritik terhadap rancangan tersebut. Draft RUU ini disinyalir justru be-ruh kapitalisme. Wacana penolakan RUU cukup gencar di media sosial dan sampai hari ini pun beberapa kalangan tetap melakukan mengadvokasi, dan memperjuangkan UU yang sudah diparipurnakan ini untuk diajukan ke Mahkamah Konstitusi.

Kelirumonologi

Undang-Undang Dalam risalah kecil ini, saya tidak akan mengambil porsi banyak dalam kajian kritik pasal-pasal yang (dianggap) keliru, baik sistematika, redaksi, dan substansi karena sudah hadir rilis kritik di berbagai portal berita dan media sosial dari aktivis koperasi, yang saya anggap cukup memadai menjadi alasan mengajukan banding terhadap regulasi tersebut. Hal fundamental yang dikritik adalah tentang definisi koperasi. Bukan sekedar ihwal keseleo lidah redaksional, tapi ada interupsi substansi dari koperasi itu sendiri. Dalam Pasal 1 mendefinisikan koperasi sebagai “…badan hukum yang didirikan oleh orang perseorangan atau badan hukum Koperasi…” Mendefinisikan koperasi semata badan hukum itu keliru, apalagi redaksi “didirikan oleh orang perseorangan” akan bermakna bias. Sialnya dalam sub penjelasan undang-undang, pasal 1 dijelaskan dengan kata singkat, “cukup jelas”. Penantian selama 12 tahun dikatung dalam rapat paripurna, terasa hambar ketika produk undang-undang yang dihasilkan justru menjadi “permasalahan tambahan”.

Kekeliruan ini menjadi problematik, karena sejatinya regulasi, sebagai pijakan dasar, harusnya tidak bermakna ambigu. Mendebatkan kembali tafsiran undang-undang adalah membuang waktu. Ada patokan yang kiranya bisa menjadi rujukan. Definisi umum yang ditawarkan oleh gerakan koperasi internasional yang mendefinisikan koperasi secara umum sebagai sekelompok orang-orang yang otonom. Dalam hal ini titik tekan ada subjek/orang yang menjadi pelaku utama. Filosofisnya karena koperasi adalah gerakan dari sekumpulan orang yang otonom dan bekerjasama, bukan direduksi semata menjadi badan hukum. Kita mesti ingat adanya orang-orang itulah prasyarat utama dan hal yang mengawali dari berdirinya koperasi, atau meng-adanya koperasi adalah kumpulan orang itu sendiri, bukan semata badan hukum yang hanya bagian dari perangkat legalitas.

Selain definsi, ada beberapa lain yang menemui kritik. Misal tentang monopoli Dekopin sebagai wadah tunggal koperasi yang tidak sesuai dengan semangat koperasi sebagai wadah demokrasi. Posisi pengawas yang cukup superior dan mengalahkan kekuatan rapat anggota. Kemudian niatan baik untuk meningkatkan SDM koperasi dengan diperbolehkannya pengurus berasal dari non-Anggota yang memiliki kemampuan mengelola usaha Koperasi juga menjadi pelik. Karena makna dari, oleh dan untuk anggota dalam koperasi menjadi hilang. Berkenaan dengan tata kelola profesionalitas sebenarnya bukan berarti harus mengambil jalan pintas memperbolehkan pengurus dari non-anggota. Hakikat adanya prinsip pentingnya edukasi dalam koperasi tentu keberadaannya bukan sekedar hanya ada, namun perlu dijalankan secara konsisten. Kalaupun memang yang dijunjung adalah semangat profesionalitas dan meningkatnya SDM, bukan dengan cara memilih pengurus dari non-anggota tapi dengan memilih tim manajemen khusus yang kompeten yang paham seluk beluk perkoperasian untuk menangani aktivitas harian koperasi.

Kemudian tentang soal posisi undang-undangnya sendiri yang lex generalis atau lex specialis, karena dalam undang-undang ini membahas banyak koperasi simpan pinjam, bahkan masuk dalam bab khusus (Bab X), sedangkan sektor lain tidak terbahas secara apik. Data tahun 2009 lalu menginformasikan ada 71.365 unit merupakan koperasi simpan pinjam ataupun unit simpan pinjam (KSP/USP). Jumlah yang signifikan memang, namun menjadi keliru ketika tidak ada keseimbangan dalam penjelasan dalam undang-undang tentang sektor lain. Unit koperasi beragam, jadi hemat saya, pembahasan yang bersifat khusus tentu lebih baik masuk dalam lex specialis.Kondisi penjelasan yang tidak sesuai dengan proposisi ini bermasalah. Imbasnya bisa hadirnya makna peyoratif yang mereduksi makna koperasi. Kita perlu ingat, mindset koperasi hanya sebagai tempat simpan pinjam masih merajalela di pikiran masyarakat umum. Dengan kehadiran undang-undang yang terlalu membahas sektor simpan pinjam, yang tidak seimbang ini, seolah ada proses meng-iyakan tentang hal itu.

Extra-Regulasi 

Ini bukan sekedar tentang persoalan ajakan moral layaknya mengajak untuk perang suci. Namun jika kehadiran negara, dalam kasus ini produk undang-undang baru ini menjadi permasalahan, mengapa harus terjebak dalam kubangan regulasi yang kontra-produktif? Walau tertatih, masih ada koperasi yang berjuang dan berjalan tanpa harus terjebak dengan kekeliruan regulasi perkoperasian. Kemudian, toh ini pun bisa menjadi materi autokoreksi, karena di parlemen hari ini pun tidak ada sosok yang mampu mewakili perjuangan koperasi.

Kembali ke khitah, koperasi sejatinya kumpulan orang yang otonom. Koperasi sejati adalah koperasi yang berdiri mandiri tanpa intervensi apalagi belas kasih pihak luar. Konsep “Do It Your Self” saya kira bisa mewakili bentuk kerja koperasi yang otonom itu.

Hierarki kebijakan dalam koperasi senyata-nyatanya adalah rapat anggota. Saya jadi ingat hasil riset senior saya. Di salah satu koperasi yang menjadi objek penelitiannya, ia menemukan implementasi UU tentang perkoperasian yang berlaku saat itu, UU No 25 tahun 1992, tidak berjalan di koperasi tersebut. Namun anehnya koperasi tetap berjalan dengan baik. Ternyata yang menjadi ruh dalam berjalannya koperasi tersebut tiada lain dari hasil rapat anggota. Rapat anggota tahunan itulah yang menjadi pijakan dalam langkah-langkah koperasi. Memang sifatnya masih kasuistik dan belum bisa digeneralisasi, tapi sekurangnya ini memperlihatkan tentang adannya kemampuan dalam diri koperasi untuk hidup tanpa kerangkeng regulasi birokrasi.

Bukti empiris yang lebih besar ada. Di Norwegia dan Denmark contohnya, kedua negera tersebut tidak memiliki UU koperasi. Koperasi di dua negara tersebut berkembang pesat, bahkan tidak sekedar menjadi countervailing dari kapitalisme tapi justru menjadi substantive power ekonomi di sana.

Jika negara memang punya komitmen yang tinggi dalam pengembangan koperasi, sebenarnya kehadiran UU Koperasi tidak bisa berdiri sendiri yang justru hanya malah “mengatur-atur” koperasi yang harusnya berdiri otonom. Harus ada project yang holistic tentang arah pembangaun ekonomi nasional. Satu sama lain sektor ekonomi harus saling berkorelasi, tidak saling kontradiksi atau bahkan justru saling meniadakan.

Problem ini saya tinjau menggunakan kacamata Badiou, seorang filusuf kontemnoper ternama asal Prancis. Bagi para punggawa koperasi, permasalahan ini bisa menjadi awal untuk menciptakan momentum untuk berjuang dalam imajinasi extra-regulasi. Imajinasi inilah tentang “something else” yang menjadi unsur generik yang membawa kita pada kesetiaan (fidelity) atas “kebenaran”.

“Kebenaran” di sini, dalam bahasa Badiou, selalu mengandung kebaruan dan menjauhkan manusia dari relativitas sehari-hari. Dalam titik tertentu kebenaran melampaui dan menjebol dari “pengetahuan”. “Pengetahuan” secara konsepsi dibedakan oleh Badiou dengan “kebenaran”. “Pengetahuan” bagi Badiou sebatas informasi yang tersusun rapi—bagaikan ensikopledia, bagaikan monumen. Sedangkan “kebenaran” mengandung hal baru dan militansi. “Kebenaran” berawal dari proses subjektivisasi, yaitu keinginan subjek dalam situasi partikular yang kemudian menempatkan Kebenaran di cakrawala. Partikular-partikular di sini adalah perjuangan subjek-subjek koperasi yang berjuang secara baru, karena menunggu peran negara tak kunjung menciptakan hal yang baru, yakni untuk menjaga momen perjuangan di luar undang-undang yang kita ciptakan.

Bagi Badiou momen politik adalah momen yang menyoroti surplus representasi kekuasaan dengan cara menghadirkan “yang lain” yang belum muncul dalam state of situtation. Membaca beberapa sejarah perjuangan koperasi, khususnya situasi kontemporer, dalam pembacaan saya masih dalam lingkaran “pengetahuan”, yakni dalam kondisi pengandaian yang sudah tersusun dalam draft ensikopledia yang terbakukan, dan masalahnya kita tak jarang jadi naïf, perjuangan itu, dalam konteks ini adalah selalu, selalu dan selalu menggedor undang-undang. Hemat saya subjek koperasi justru bisa melampauinya, seperti yang dilakukan oleh para insan koperasi di Norwegia-Denmark, atau insan koperasi tempat penelitian senior yang saya ceritakan di muka. Kiranya kesempatan momentum ini saatnya memulai dengan “yang lain”: extra regulasi. Mungkin kah? []

1 komentar:

LELA LIKE LELE mengatakan...

jadi mikir nih

 
Creative Commons License
All contens are licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-NoDerivs 3.0 Unported License.

Creative Commons [cc] 2011 Dodi Faedlulloh . Style and Layout by Dodi | Bale Adarma