Berpikir Kritis sebagai Jembatan Aksi Nyata

Oleh: Dodi Faedlulloh

Disadari atau tidak, tak jarang sebagian dari kita, sebagai manusia, melulu bertanya tentang apa yang dilihat, didengar dan dirasa. Saat ada peristiwa A, lantas bertanyalah kita mengapa terjadi peristiwa tersebut? Ketika mengalami musibah, kemudian hati kita pun terarah pada tanya bagaimana musibah tersebut bisa menimpa kita. Dan sebentuk pertanyaan-pertanyaan lainnya yang secara tiba-tiba hadir dalam nalar kita. Hal tersebut tentu lumrah, natural, dan fitrah karena pada dasarnya manusia senantiasa selalu berpikir, berpikir dan bepikir. Tapi sayangnya tak jarang pula kita memilih berhenti dalam proses penggalian pertanyaan tersebut, akhirnya jatuh pada kesimpulan yang belum tuntas, bias, tidak terarah, parsial, dan juga malah emosi pribadi menjadi bumbu dalam proses berpikir kita. 


Seorang filusuf Yunani, Socrates memberi satu nasihat penting kepada kita. Ujarnya, “Kehidupan yang tidak diperiksa, tidaklah pantas untuk kita hidupi.” Jelas nasihat ini, secara reflektif menegur manusia yang tidak menyempatkan waktu dan tenaganya untuk berkontemplasi, merenungkan diri atas apa yang terjadi atas hidupnya. Secara implisit, Socrates hendak mengajak kita untuk berusaha berpikir secara kritis, baik dalam rentang waktu lampau, konteks hari ini maupun yang sifatnya futuristik. Kita perlu melakukan perenungan secara seksama dan terus menerus untuk menuju kualitas kehidupan yang lebih baik. 


Secara sederhana berpikir kritis bisa dikonsepkan sebagai kemampuan untuk berpikir jernih dan rasional yang meliputi kemampuan untuk berpikir reflektif dan independen. Dan sebenarnya kita pun sudah memiliki modal untuk berpikir kritis, yakni saat kita mulai melakukan aktivitas bertanya seperti yang disimulasikan pada paragraph awal. Nah, aktivitas bertanya ini merupakan langkah awal dalam proses berpikir kritis. Namun dalam nalar kritis, proses bertanya perlu dibekali dengan sikap skeptisme. Skeptisme itu sendiri adalah paham sikap yang selalu meragukan segala sesuatu, tidak menerima begitu saja apa yang terlihat di permukaan.

Dengan senjata skeptisme, kita bisa terhindar dari jebakan permasalahan yang sifatnya permukaan. Kita tertuntut untuk terus menggali secara dalam, mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang radikal (mengakar) sampai tahu persis substansi dari permasalahan yang ada. Karena seringkali apa yang kita lihat tidak seperti kenyataannya. Begitupula dalam skala yang lebih besar, fenomena-fenomena permasalahan sosial yang sering kita saksikan di ragam media seperti kemisikinan, pendidikan mahal, korupsi, perang, dsb. Perlu kita tinjau ulang dan cari sumber permasalahannya. 


Berpikir kritis juga merupakan seni yang perlu ketenangan, dalam arti kita tidak tergesa-gesa dalam menganalisa, menyimpulkan dan memberi solusi dan tentunya harus bisa lepas dari emosi individu sesaat. Karena dalam proses berkritis, kita perlu jeli dalam mendapatkan informasi, karena tak selamanya informasi yang didapat relevan dengan permasalahan, atau lebih-lebih justru informasi telah tersentuh distorsi. Inilah menariknya usaha berpikir kritis. Seorang pemikir kritis harus dengan jeli memanfaatkan informasi untuk mengupas lapis demi lapis permasalahan dan mencari sumber-sumber informasi yang relevan, sampai pada titik substansi yang mendekati kebenaran terungkap. Perlu diingat, seorang pemikir kritis tidak hanya orang yang kaya akan data dan memiliki kemampuan ingatan yang kuat. Lebih dari itu, pemikir kritis harus bisa secara cermat menggunakan informasi-informasi yang bertebaran di mana-mana dan bisa memberi simpulan yang tepat menengahi permasalahan.

Untuk lebih memudahkan ikhitiar berpikir kritis, sekurang terdapat enam keterampilan inti dalam berpikir kritis yang bisa kita pelajari bersama, yaitu:

  • Interpretasi, yaitu metode kerja pikir dalam melakukan kategorisasi, dekode, dan mengklarifikasi makna. 
  • Analisis merupakan kerja pikir dalam memeriksa gagasan, mengidentifikasi argumen, menganalisis argumen
  • Evaluasi yaitu kerja pikir dalam menilai klaim (pernyataan) dan menilai argument.
  • Inferensi yaitu metode berpikir untuk mempertanyakan klaim, memikirkan alternatif, menarik kesimpulan, memecahkan masalah dan mengambil keputusan
  • Penjelasan yaitu kerja pikir dan aksi dalam menyatakan masalah, menyatakan hasil, mengemukakan kebenaran prosedur dan mengemukakan argumen
  • Regulasi diri adalah sikap kontemplasi untuk meneliti diri/mengoreksi diri 


Kemudian tambahan, dalam seni berpikir kritis, kita pun perlu pandai mengelola rasa. Jangan sampai karena semangat menggebu justru terjebak pada bunyi nyaring, tapi kosong isinya karena hanya ikut-ikutan arus provokasi. Apalagi disampaikan secara salah kaprah, dan mengecam sana-sini. Tentu yang seperti ini, alih-alih disebut berpikir kritis malah laiknya disebut sok kritis. Sebaliknya, berpikir kritis memungkinkan kita memanfaatkan potensi yang kita miliki dalam melihat masalah, memecahkan masalah, menciptakan, dan menyadari diri 

Kritisme berbuah Karya 


Karl Marx, seorang pemikir besar abad 19 yang buah pemikiran kritisnya masih berpengaruh sampai hari ini pernah membuat diktum yang menggugah. Beliau berkata dalam salah satu karyanya, “Banyak filusuf (pemikir) yang menterjemahkan dunia, tapi justru yang penting adalah merubahnya.” Kata ‘merubah’ lah yang ditekankan Marx. Karena kiranya sudah terlalu hiruk pikuk dunia kita oleh pemikir-pemikir namun tidak memiliki komitmen dan kemauan untuk melakukan perubahan. 

Dari Marx kita mendapat hikmah, ternyata berpikir kritis bukan merupakan garis finish. Masih ada tahapan lanjut, yaitu aksi nyata. Mengapa harus aksi nyata? 


Secara historis, realitas berdialetika dan merekam jejak manusia-manusialah yang sanggup mengubah peradaban dunia ini. Dari zaman klasik sampai modern seperti hari ini. Namun seiring berjalan perkembangan peradaban tak selamanya berjalan manis, ada cerita luka dan duka. Kemudian ada manusia yang mengambil peran menterjemahkan kondisi demikian, namun bila tidak disinergikan melalui aksi untuk melakukan perubahan yang lebih baik, bisa saja deretan cerita luka dan duka malah bertambah. Dan tidak menutup kemungkinan luka dan duka tersebut menimpa orang-orang di sekitar kita, saudara kita, bahkan diri kita sendiri.

Seni berpikir kritis gaya Marx ini tidak mengajarkan kita menjadi sophis yang hanya pandai dan piawai dalam beragumentasi yang dilakukan lewat lewat senjata ucapan, tulisan, atau visual yang justru sering terjatuh dalam ‘poros kesesatan’. Sok sibuk protes sana-sini tapi tidak memberi kontribusi relevan dalam mengatasi permasalahan. Hal inilah yang perlu kita waspadai. 


 Justru dengan berpikir kritis, kita didorong untuk berpikir kreatif dan inovatif untuk memecahkan permasalahan. Kritisme melatih kita untuk senantiasa memiliki visi dan arah jalan yang jelas dengan membangun karya aksi nyata. Jadi tidak hanya berpangku pada asal kritis tapi juga memberikan bukti. Karena dalam berpikir kritis dilarang keras untuk memendam pemikiran hanya dalam idea atau otak saja, semuanya harus diaktulisasi secara tuntas, seksama dan sistematis. Itulah asyiknya perjuangan!

*) Disampaikan pada Basic Traning Cooperative #1 Koperasi Kampus Unsoed yang diselenggarakan pada tanggal 5-6 Oktober 2013 di Kedung Banteng, Banyumas.

3 komentar:

jual beli mengatakan...

terimakasih artikelnya, berpikir kritis perlu untuk bisa menciptakan karya yang bagus

Anonim mengatakan...

Thankyou a dody,,semoga aku bisa berfikir kritis dalam memahami semua hal. :D,,dian map

Anonim mengatakan...

Terimakasih a dody, sangat bermanfaat, semoga aku bisa berfikir kritis dalam memahami semua hal, dian MAP

 
Creative Commons License
All contens are licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-NoDerivs 3.0 Unported License.

Creative Commons [cc] 2011 Dodi Faedlulloh . Style and Layout by Dodi | Bale Adarma