Ada sebuah pengalaman menarik saat penulis berkunjung ke sebuah bank
ternama. Saat duduk menunggu antrean, datang pria berseragam dengan logo
koperasi Indonesia di sebelah dada kanannya. Corak warna seragam yang
ia kenakan identik dengan warna kebanggan bank tersebut. Tapi berbeda
dengan teller atau customer service yang bekerja selalu tampil dandan
dan menawan, pria itu tampil apa adanya sembari membawa perkakas
kerjanya, lap pel dan ember. Sang pria adalah seorang cleaning service.
Cleaning service merupakan sebentuk kerja yang luar biasa. Secara
teknis, orang-orang yang berjuang melayani kebersihan selalu diperlukan.
Namun kita tidak perlu naïf menginterpretasikan realitas, dalam
struktur kontemporer, posisi cleaning service selalu ada di bawah.
Bahkan dalam peraturan ketenagakerjaan, bidang kebersihan bisa
di-outsourcing-kan. Namun bukan soal ke-cleaningservice-annya yang akan
penulis singgung dalam kesempatan ini. Lebih jauh dalam konteks
perkoperasian di Indonesia, ternyata koperasi masih dalam posisi kelas
dua.
Pemandangan yang penulis saksikan di bank tersebut tidak sulit kita
temukan di tempat lain. Koperasi ada, namun tampil dalam posisi
subordinat. Benar, kondisi demikian adalah imbas dari produk politisasi
rezim Orde Baru yang ‘memberdayakan’ koperasi selalu dicangkokkan dan
diasuh dalam tubuh besar, bisa instansi publik ataupun lembaga swasta.
Akhirnya koperasi direduksi menjadi koperasi fungsional tertutup. Hingga
lahirlah koperasi-koperasi yang membelokkan prinsip koperasi
keanggotaan sukarela dan terbuka. Alih-alih tampak seperti menjunjung
tinggi koperasi sebagai soko guru ekonomi Indonesia, justru malah
menghancurkannya dari dalam.
Kondisi ini semakin larut, secara perlahan dan sistematis memengaruhi
cara berpikir masyarakat. Kesalahpahaman masyarakat terhadap koperasi
pun semakin menjadi, citra koperasi luntur. Akhirnya masyarakat menilai
koperasi merupakan entitas the other atau liyan (yang lain). Karena
koperasi dinilai hanya sebagai liyan, maka masyarakat seakan berhak
untuk melakukan penindasan makna terhadap koperasi. Koperasi berada
dalam status antara ada dan tiada. Adapun ya seadanya.
Satre, seorang filusuf eksistensialis asal Prancis pernah mengungkap
ihwal konsep liyan dalam konteks penindasan suatu kaum terhadap kaum
lain yang dianggap sebagai liyan. Konsekuensi tragis dari adanya asumsi
penilaian liyan tersebut, kaum liyan menjadi korban penindasan fisik dan
mental. Bahkan perlakuan terhadap liyan seperti bukan pada manusia.
Disiksa, diusir, bahkan dibunuh.
Bukan bermaksud mendramatisir, bila liyanisasi (othering) benar-benar
terjadi pada koperasi, hal yang mirip dengan penjelasan Satre di muka
bisa saja terrealisasi tragis. Koperasi akan menjadi korban penindasan
simbolis. Koperasi tidak lagi menjadi entitas ekonomi, sosial, dan
budaya yang otonom, tapi diintervensi dari makna sampai operasional oleh
pihak yang menilai koperasi sebagai liyan. Problem tambahannya, secara
tak sadar perlakuan demikian (penindasan) bisa dilakukan tanpa perasaan
berdosa.
Dalam kasus tertentu, penulis pernah menyaksikan langsung aktivitas
othering yang menembus tubuh koperasi sebagai organisasi perkumpulan
orang (human based association). Yang menjadi korban bukan hanya
koperasinya, tapi juga personel, subjek orang-orang yang bekerja di
koperasi. Sang karyawan koperasi, yang notabene mencari penghidupan di
koperasi, terkena judge sebagai yang tidak serupa, tidak lumrah,
berbeda, dan tidak semestinya oleh si pengamat/penilai. Komentar miring
dalam keseharian seperti, “karyawan koperasi kok bajunya bagus-bagus
ya?, “karyawan koperasi kok bisa punya mobil sendiri?” hadir menyajikan
noktah hitam dalam realitas koperasi. Seolah, para punggawa yang
mengabdikan diri di koperasi tak layak dan tak semestinya melampaui
pihak sang penilai yang merasa dirinya unggul itu.
Tugas Subjek Koperasi
Secara inheren, koperasi memiliki peran edukasi yang berfungsi membangkitkan kesadaran. Dari masanya Robert Owen, Koperasi Perintis Rochdale, sampai hari ini, satu tugas terpenting dari koperasi tetap sama yaitu soal pendidikan. Sudah semestinya para aktivis dan pegiat koperasi untuk saling membahu membongkar situasi yang tidak menyenangkan ini. Citra koperasi harus kembali diharumkan dengan prestasi-prestasi. Memang perlu kesabaran ekstra untuk membalikan keadaan ini, tapi bukan berarti tak mungkin.
Secara inheren, koperasi memiliki peran edukasi yang berfungsi membangkitkan kesadaran. Dari masanya Robert Owen, Koperasi Perintis Rochdale, sampai hari ini, satu tugas terpenting dari koperasi tetap sama yaitu soal pendidikan. Sudah semestinya para aktivis dan pegiat koperasi untuk saling membahu membongkar situasi yang tidak menyenangkan ini. Citra koperasi harus kembali diharumkan dengan prestasi-prestasi. Memang perlu kesabaran ekstra untuk membalikan keadaan ini, tapi bukan berarti tak mungkin.
Koperasi menjadi garda depan perekonomian Indonesia bukan mimpi di
siang bolong. Toh,catatan manis koperasi di negara-negara lain konkret
adanya. Di negara-negara Skandinivia misalnya, koperasi bahkan menjadi
substantive power. Indonesia dalam hal ini bisa mengikuti jejak terampil
tersebut. Namun revitalisasi koperasi ini tentu tak hanya bisa
dilakukan oleh subjek koperasi semata.
Negara sebagai pihak yang memiliki peran membuat kebijakan harus ikut
serta bertanggung jawab menebus dosa masa silam. Karena pertanyaannya
sederhana, bagaimana koperasi bisa besar dan benar yang menjadi soko
guru ekonomi bangsa, bila kurukulum pendidikan ekonomi yang diajarkan
pada generasi muda justru penopang ekonomi yang kapitalistik?
Levinas, filusuf fenomenologi asal Prancis,berujar tentang cara
mencintai liyan adalah dengan memahami liyan itu sendiri yang akan
dipahami karena the otherakan menampakkan wajahnya (l’epiphanie du
visage), wajah yang benar-benar telanjang tanpa sekat. Caranya dengan
menghilangkan stigma yang terwariskan dari mulai proses berpikir, tidak
boleh bersikap acuh tak acuh, dan harus menjadi pendengar bagi mereka.
Namun bukan ini yang penulis anjurkan menjadi jawaban menengahi
problem ini. Karena perspektif Levinas tersebut, hemat penulis, bias
proses objektivisasi (mengobjekkan). Tetap ada hierarki unggul dan
non-unggul. Karena koperasi berada dalam situasi kesamaan bukan karena
konstruksi belas-kasih. Koperasi tetap harus menjadi yang otonom dan
subjek bagi dirinya sendiri. Seperti halnya semangat Koperasi Rochdale
tahun 1844 silam yang berhasil membuktikan diri manusia lebih berharga
daripada kapital.
Tak jarang hal yang ideologis harus bisa diterjemahkan sampai pada
titik strategis dan praxis. Maka tugas subjek koperasi untuk lepas dari
dugaan liyan, yaitu harus mampu membangun dirinya sendiri. Dari mulai
kembali kepada jati diri koperasi, melakukan pengembangan sumber daya
manusia koperasi, memulihkan citra koperasi dengan bukti prestasi,
pengemasan koperasi dengan cara yang lebih asyik, pembenahanan
manajemen, dan lainnya. Sekali lagi, perjuangan ini memang perlu
kesabaran ekstra, tapi bukan berarti tak mungkin. Atau koperasi kembali
menjadi antara ada dan tiada.(*)
*) Tulisan ini sebelumnya dipublikasikan di Harian Pagi Satelit Pos 5 September 2013
*) Tulisan ini sebelumnya dipublikasikan di Harian Pagi Satelit Pos 5 September 2013
0 komentar:
Posting Komentar