Ketika Koperasi Menjadi Liyan

Oleh: Dodi Faedlulloh

Ada sebuah pengalaman menarik saat penulis berkunjung ke sebuah bank ternama. Saat duduk menunggu antrean, datang pria berseragam dengan logo koperasi Indonesia di sebelah dada kanannya. Corak warna seragam yang ia kenakan identik dengan warna kebanggan bank tersebut. Tapi berbeda dengan teller atau customer service yang bekerja selalu tampil dandan dan menawan, pria itu tampil apa adanya sembari membawa perkakas kerjanya, lap pel dan ember. Sang pria adalah seorang cleaning service.

Cleaning service merupakan sebentuk kerja yang luar biasa. Secara teknis, orang-orang yang berjuang melayani kebersihan selalu diperlukan. Namun kita tidak perlu naïf menginterpretasikan realitas, dalam struktur kontemporer, posisi cleaning service selalu ada di bawah. Bahkan dalam peraturan ketenagakerjaan, bidang kebersihan bisa di-outsourcing-kan. Namun bukan soal ke-cleaningservice-annya yang akan penulis singgung dalam kesempatan ini. Lebih jauh dalam konteks perkoperasian di Indonesia, ternyata koperasi masih dalam posisi kelas dua.

Pemandangan yang penulis saksikan di bank tersebut tidak sulit kita temukan di tempat lain. Koperasi ada, namun tampil dalam posisi subordinat. Benar, kondisi demikian adalah imbas dari produk politisasi rezim Orde Baru yang ‘memberdayakan’ koperasi selalu dicangkokkan dan diasuh dalam tubuh besar, bisa instansi publik ataupun lembaga swasta. Akhirnya koperasi direduksi menjadi koperasi fungsional tertutup. Hingga lahirlah koperasi-koperasi yang membelokkan prinsip koperasi keanggotaan sukarela dan terbuka. Alih-alih tampak seperti menjunjung tinggi koperasi sebagai soko guru ekonomi Indonesia, justru malah menghancurkannya dari dalam.

Kondisi ini semakin larut, secara perlahan dan sistematis memengaruhi cara berpikir masyarakat. Kesalahpahaman masyarakat terhadap koperasi pun semakin menjadi, citra koperasi luntur. Akhirnya masyarakat menilai koperasi merupakan entitas the other atau liyan (yang lain). Karena koperasi dinilai hanya sebagai liyan, maka masyarakat seakan berhak untuk melakukan penindasan makna terhadap koperasi. Koperasi berada dalam status antara ada dan tiada. Adapun ya seadanya.

Satre, seorang filusuf eksistensialis asal Prancis pernah mengungkap ihwal konsep liyan dalam konteks penindasan suatu kaum terhadap kaum lain yang dianggap sebagai liyan. Konsekuensi tragis dari adanya asumsi penilaian liyan tersebut, kaum liyan menjadi korban penindasan fisik dan mental. Bahkan perlakuan terhadap liyan seperti bukan pada manusia. Disiksa, diusir, bahkan dibunuh.

Bukan bermaksud mendramatisir, bila liyanisasi (othering) benar-benar terjadi pada koperasi, hal yang mirip dengan penjelasan Satre di muka bisa saja terrealisasi tragis. Koperasi akan menjadi korban penindasan simbolis. Koperasi tidak lagi menjadi entitas ekonomi, sosial, dan budaya yang otonom, tapi diintervensi dari makna sampai operasional oleh pihak yang menilai koperasi sebagai liyan. Problem tambahannya, secara tak sadar perlakuan demikian (penindasan) bisa dilakukan tanpa perasaan berdosa.

Dalam kasus tertentu, penulis pernah menyaksikan langsung aktivitas othering yang menembus tubuh koperasi sebagai organisasi perkumpulan orang (human based association). Yang menjadi korban bukan hanya koperasinya, tapi juga personel, subjek orang-orang yang bekerja di koperasi. Sang karyawan koperasi, yang notabene mencari penghidupan di koperasi, terkena judge sebagai yang tidak serupa, tidak lumrah, berbeda, dan tidak semestinya oleh si pengamat/penilai. Komentar miring dalam keseharian seperti, “karyawan koperasi kok bajunya bagus-bagus ya?, “karyawan koperasi kok bisa punya mobil sendiri?” hadir menyajikan noktah hitam dalam realitas koperasi. Seolah, para punggawa yang mengabdikan diri di koperasi tak layak dan tak semestinya melampaui pihak sang penilai yang merasa dirinya unggul itu.

Tugas Subjek Koperasi
Secara inheren, koperasi memiliki peran edukasi yang berfungsi membangkitkan kesadaran. Dari masanya Robert Owen, Koperasi Perintis Rochdale, sampai hari ini, satu tugas terpenting dari koperasi tetap sama yaitu soal pendidikan. Sudah semestinya para aktivis dan pegiat koperasi untuk saling membahu membongkar situasi yang tidak menyenangkan ini. Citra koperasi harus kembali diharumkan dengan prestasi-prestasi. Memang perlu kesabaran ekstra untuk membalikan keadaan ini, tapi bukan berarti tak mungkin.

Koperasi menjadi garda depan perekonomian Indonesia bukan mimpi di siang bolong. Toh,catatan manis koperasi di negara-negara lain konkret adanya. Di negara-negara Skandinivia misalnya, koperasi bahkan menjadi substantive power. Indonesia dalam hal ini bisa mengikuti jejak terampil tersebut. Namun revitalisasi koperasi ini tentu tak hanya bisa dilakukan oleh subjek koperasi semata.

Negara sebagai pihak yang memiliki peran membuat kebijakan harus ikut serta bertanggung jawab menebus dosa masa silam. Karena pertanyaannya sederhana, bagaimana koperasi bisa besar dan benar yang menjadi soko guru ekonomi bangsa, bila kurukulum pendidikan ekonomi yang diajarkan pada generasi muda justru penopang ekonomi yang kapitalistik?

Levinas, filusuf fenomenologi asal Prancis,berujar tentang cara mencintai liyan adalah dengan memahami liyan itu sendiri yang akan dipahami karena the otherakan menampakkan wajahnya (l’epiphanie du visage), wajah yang benar-benar telanjang tanpa sekat. Caranya dengan menghilangkan stigma yang terwariskan dari mulai proses berpikir, tidak boleh bersikap acuh tak acuh, dan harus menjadi pendengar bagi mereka.

Namun bukan ini yang penulis anjurkan menjadi jawaban menengahi problem ini. Karena perspektif Levinas tersebut, hemat penulis, bias proses objektivisasi (mengobjekkan). Tetap ada hierarki unggul dan non-unggul. Karena koperasi berada dalam situasi kesamaan bukan karena konstruksi belas-kasih. Koperasi tetap harus menjadi yang otonom dan subjek bagi dirinya sendiri. Seperti halnya semangat Koperasi Rochdale tahun 1844 silam yang berhasil membuktikan diri manusia lebih berharga daripada kapital.

Tak jarang hal yang ideologis harus bisa diterjemahkan sampai pada titik strategis dan praxis. Maka tugas subjek koperasi untuk lepas dari dugaan liyan, yaitu harus mampu membangun dirinya sendiri. Dari mulai kembali kepada jati diri koperasi, melakukan pengembangan sumber daya manusia koperasi, memulihkan citra koperasi dengan bukti prestasi, pengemasan koperasi dengan cara yang lebih asyik, pembenahanan manajemen, dan lainnya. Sekali lagi, perjuangan ini memang perlu kesabaran ekstra, tapi bukan berarti tak mungkin. Atau koperasi kembali menjadi antara ada dan tiada.(*)

*) Tulisan ini sebelumnya dipublikasikan di Harian Pagi Satelit Pos 5 September 2013

0 komentar:

 
Creative Commons License
All contens are licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-NoDerivs 3.0 Unported License.

Creative Commons [cc] 2011 Dodi Faedlulloh . Style and Layout by Dodi | Bale Adarma