Koperasi dan Gerakan Sosial Baru: Mencari Titik Temu

Oleh: Dodi Faedlulloh

Gerakan sosial dalam sejarahnya terus mengalami perkembangan, sampai pada situasi kontemporer hadir diskursus baru bernama gerakan sosial baru (new social movement). Salah satu penggagasnya yaitu duet tokoh Post-Marxis, Laclau dan Mouffe. Berbeda dengan gerakan sosial Marxis klasik, menurut kedua tokoh tersebut, gerakan sosial baru merangkum berbagai gerakan atau perjuangan yang tidak berbasis kelas. Keanggotaan gerakan sosial baru bersifat terbuka tanpa memandang perbedaan latar belakang sosial, politik, ras ataupun agama. Dengan kata lain gerakan sosial baru adalah gerakan inklusif.

Koperasi dan gerakan sosial, dua konsep berbeda yang mungkin untuk beberapa pihak belum menemukan relevansi di antaranya. Karena menyematkan kata ‘gerakan’ sebelum kata koperasi tidaklah bermakna main-main. Kata gerakan memiliki makna perjuangan yang fundamental. Maka dari itu ketika menemukan idiom ‘gerakan koperasi’ bukanlah bermakna ‘gerak-gerik koperasi’ atau sekedar kata-kata pemanis saja, tapi lebih dalam lagi, secara inheren koperasi memang memiliki nuansa gerakan sosial. Ihwal gerakan sosial baru yang bersifat inklusif, ditinjau lebih seksama memiliki kemiripan dengan prinsip koperasi yang juga menjunjung tinggi tentang inklusifitas; yaitu sukarela terbuka. Inilah pijakan awal titik temu koperasi dengan gerakan sosial baru.


Dalam sejarah pertumbuhan koperasi dunia, koperasi telah berhasil melakukan perubahan sosial yang signifikan. Dari awal sejarahnya, saat Robert Owen dengan sosialis utopisnya yang menginpirasi kehadiran wacana alternatif koperasi (co-op) sebagai jawaban di tengah kegalauan dan ketidakpuasan praktik kapitalisme ortodok sampai kepada situasi baru, saat ICA (International Cooperative Aliance) merilis data sekurang-kurangnya telah merepresentasikan 90 negara dengan 800 juta anggota individu yang sebagian besar diantaranya tinggal di kawasan Asia dan Pasifik. Beserta pembeberan keberhasilan koperasi berkelas dunia, seperti koperasi raksasa yang ada di Amerika Serikat, Jepang, Korea Selatan, Spanyol dll yang mampu menjawab tantangan global menjadikan koperasi sebagai sistem alternatif dan countervailing kapitalisme bisa dinyatakan efektif.

Lebih lanjut, kembali ke gerakan sosial baru Laclau dan Mouffe. Mereka mengajukan tesis mengenai agen sosial baru yang bisa mengisi ruang kosong dalam gerakan sosial, ketika gerakan buruh melemah dan menjadi kekuatan yang tidak strategis dalam gerakan sosial abad 21. Walau pada awalnya sejarah koperasi modern yang diwakili oleh Rochdale pada tahun 1844 merupakan gerakan buruh juga, tapi pada akhirnya berimbas dan memberi inspirasi pada identitas lain selain buruh untuk berkoperasi. Sehingga saat PBB merilis bahwa kurang lebih ada 3 milyar orang atau separuh dari penduduk dunia mendapatkan mata pencaharian dari perluasan usaha-usaha koperasi, bukanlah dari kalangan kelas buruh (proletar dalam glossarium Marxian) saja. Tapi juga identitas lain.

Koperasi dalam kontenstasi dengan sistem kapitalisme yang masih hegemonik mempunyai peran sentral. Meminjam analisanya Laclau dan Mouffe yang menawarkan strategi perjuangan hegemonik, yaitu dengan membangun chain of equivalence dan mengkonstruksikan universalitas identitas dan tuntutan. Dengan berbasis setengah penduduk dunia adalah anggota koperasi, yang tentunya punya latar belakang identitas beragam, peran ini menjadi kesempatan berharga dalam berakselarasi untuk mengguncang kapitalisme.

Situasi kapitalisme hari ini telah semakin kompleks, begitu buas dan liar. Hampir semua aspek kehidupan disentuhnya. Hal ini berimplikasi pada peran koperasi untuk mengurai lebih luas lagi, baik secara teoritis maupun empiris tentang kapitalisme yang sedang dihadapi. Filusuf asal Prancis, Lous Altuhusser menjelaskan tentang pentingnya menganalisa formasi sosial, yaitu gerakan sosial perlu menganalisa tentang praktik ekonomi yang merupakan medan area terjadinya kontradiksi dalam proses produksi. Namun kontradiksi tersebut tidak seperti diktum Marxis klasik yang mengedapankan kontradiksi antara kaum borjuis dan proletar, namun perlu diperluas celah-celah analisanya. Seperti yang Laclau dan Mouffe ungkap kontradiksi dalam sekrup ekonomi tersebut dapat pula diperlebar dan diperhalus dengan menambah analisis pada aspek yang lebih global dan kompleks. Sebagai entitas sosial, koperasi perlu melakukan analisa tentang situasi kapitalisme yang mutakhir agar bisa menggali jawaban terhadap pertanyaan mendasar, misal “Mengapa koperasi di Indonesia tidak berkembang?”

Walau koperasi tidak berpolitik praktis, namun  koperasi perlu bersikap politis. Karena kondisi material yang melatarbelakangi koperasi adalah ihwal yang politis, yaitu tentang pembagian kerja, distirubusi peran atau yang akrab disebut sebagai kerjasama. Kerjasama khas koperasi sebagai corak produksi inilah yang ‘politis’. Oleh karena itu praktik politik juga perlu dianalisa lebih lanjut oleh koperasi untuk membongkar kontradiksi yang bersarang di dalam dan di antara relasi-relasi kuasa yang hegemonik. Sehingga pertanyaan mendasar tadi “Mengapa koperasi di Indonesia tidak berkembang?” bisa ditelisik via perspektif politis.

Lebih lanjut, masih meminjam analisa formasi sosial Altuhusser, koperasi perlu melakukan pembacaan terhadap praktik ideologis. Soal koperasi-koperasi di Indonesia kok bisa tunduk begitu saja terhadap rezim perlu dianalisa kembali, padahal secara ideal koperasi memiliki otonomitasnya sendiri, koperasi memiliki kemandirian dalam bergerak, namun sayangnya pemandangan demikian belum pernah bisa disaksikan. Itulah beberapa instrument kerja analisa yang perlu dimiliki koperasi. Oleh karena itu selain kemampuan praktikal manajemen, koperasi perlu memperkaya khazanah teori kritis untuk memperluas kebermanfaatan koperasi bagi khalayak banyak. Dengan bekal ini (anggota) koperasi akan lebih memiliki pemahaman tentang perlunya perlawanan secara plural, bisa  berbasis kebudayaan, ideologi, dan beserta aparatusnya, yang secara tak sadar telah menanamkan ideologi kapitalisme dalam ingatan dan perilaku kita.

Gerakan sosial baru sebanding dengan peningkatan realisasi dan kepercayaan diri masyarakat yang (tidak mesti) menempatkan nasib kemanusiaan di tangan negara. Khusus untuk konteks Indonesia, ketika koperasi malah mengalami pelambatan ketika diintervensi penuh oleh negara, bila menggunakan strategi gerakan sosial baru, koperasi-koperasi kontemporer tidak perlu lagi menunggu belas kasihan dari negara yang justru melemahkan koperasi dari dalam. Koperasi bisa menentukan posisinya secara mandiri dan otentik.

Kemudian pengagas the third way, Giddens mendefinisikan gerakan sosial sebagai upaya kolektif untuk mengejar kepentingan bersama atau gerakan untuk mencapai tujuan bersama atau gerakan bersama melalui tindakan kolektif di luar lingkup lembaga-lembaga yang mapan. Dalam definisi ini, koperasi adalah bentuk upaya kolektif untuk mencapai tujuan bersama. Akar dari koperasi, seperti yang disinggung sebelumnya adalah kerjasama, dan dalam membangun kerjasama ini koperasi tidak memandang perbedaan identitas sebagai suatu masalah. Kiranya tepat untuk sebuah gerakan berbasis multi-identitas, koperasi bisa mejadi perjuangan.

Koperasi yang Kiri-Progressif-Populis


Koperasi dalam konteks kekinian memiliki kecenderungan sebagai gerakan kiri. Kiri karena menolak establishment dari sistem yang hari ini begitu hegemonik; yaitu kapitalisme. Kemapanan dari sistem kapitalisme yang monopolistik perlu dipertanyakan ulang melalui kacamata demokrasi ekonomi koperasi. Ketimpangan ekonomi-sosial yang terjadi akibat dari sistem ekonomi yang tidak berkeadilan ini perlu diimajinasikan untuk mencari alternatif sistem yang lain. Imajinasi dalam arti menembus batas nalar-nalar konservatif, meliarkan gagasan lepas dari kotak hitam bernama kapitalisme. Karena saat ini yang menjadi problem, seperti yang diujarkan Hilmar Farid, adalah miskinnya imajinasi politik. Sulit mengimajinasikan kehidupan di luar (yang sudah dianggap) kebiasaan. Seolah tak ada lagi jalan hidup selain dari kapitalisme. Anekdotnya, manusia hari ini lebih mudah mengimajinasikan tiba-tiba ada alien turun dari UFO sebagai sesuatu yang riil daripada mengimajinasikan sistem ekonomi berbasis koperasi menjadi alternatif jalan yang bisa eksist bagi umat manusia. Maka dari itu gerakan koperasi memiliki sifat progressif. Progresif karena mengimajinasikan adanya loncatan ke masa depan (futuristic) yang lebih baik, lebih berkeadilan sosial, dan tentu lebih humanis.

Koperasi sebagai sebuah kata terdengar begitu menggugah. Rakyat kecil, buruh, para petani kemungkinan besar akan mengangguk ‘iya’ bila ditanya koperasi itu bagus atau tidak. Namun sialnya saking menariknya koperasi melulu menjadi komoditas politik rezim yang berkuasa. Koperasi diayom negara, apalagi saat Orde Baru sedang asyik menikmati kekuasaan. Namun terlepas dari problem koperasi menjadi komoditas politik, sejatinya gerakan koperasi bersifat populis. Populis, karena ini adalah gerakan citizen yang inkusif, seperti disinggung di awal koperasi berisfat sukarela-terbuka, koperasi  mengajak semua orang untuk bersama-sama memikirkan masalah-masalah kolektif yang dihadapi sehari-hari baik sosial, ekonomi, politik, maupun budaya yang berpotensi bisa menyatukan semua manusia. Nuansa perjuangan koperasi sejati adalah proses bottom-up rakyat yang mengorganisir diri menjadi anggota koperasi. Tak lain koperasi yaitu people power. People power yang menyerang kekuasaan kapitalisme. Koperasi secara evolutif bisa berjejaring dan bekerjasama antar koperasi -koperasi sejati tentunya- dan berpotensi bertransformasi menjadi kekuatan yang bisa menjadi countervailing dari kapitalisme. Koperasi memiliki kemampuan ‘griliya’ ekonomi dan menusuk langsung jantung kapitalisme.

Gerakan sosial baru pun bermakna sebagai gerakan kebudayaan, karena setiap orang yang berpartipasi aktif sebagai presentasi diminta  meliarkan gagasan untuk menformulasikan bukan hanya soal problem riil yang dihadapi dirinya masing-masing, namun lebih jauh yatitu tenrang nilai-nilai dan impian-impian sebagai manusia. Mengenai hal ini, secara epistemologis koperasi semenjak lahir memang diperuntukan sebagai media perjuangan mencapai aspirasi sosial ekonomi dan budaya. Ketika kapitalisme begitu menjunjung tinggi kekuatan dan kekuasaan kapital, justru koperasi melakukan perjuangan sebaliknya yaitu mengangkat tinggi harkat martabat manusia dan menenmpatkannya lebih berharga daripada kapital. Maka dari itu koperasi didasari oleh semangat nilai-nilai keswadayaan, swa-tanggungjawab, demokrasi, kebersamaan, kesetaraan, keadilan dan kesetiakawanan.

Menyatukan Isu Koperasi

Setiap agen sosial dalam gerakan sosial baru adalah lokus bagi multipisitas relasi-relasi sosial seperti seks, ras, nasionalitas dan lingkungan. Semua hubungan sosial ini menentukan konstruksi personal atau posisi subyek. Oleh karena itu, setiap agen sosial merupakan locus dari sejumlah posisi subyek dan tidak dapat direduksi hanya kepada satu posisi (Laclau dan Mouffe, 2000). Koperasi secara terminologi adalah satu makna, namun dalam praktika bermacam-macam bahkan tujuan pendirian koperasi sifatnya variatif, tepat untuk menjadikan tiap koperasi bahkan untuk anggota-anggotanya sebagai agen sosial/subjek yang otonom. Nah, namun untuk menjadikan puzzle-puzzle koperasi yang jumlahnya bisa sampai ribuan, bahkan jutaan di dunia harus menetapkan arahan satu isu yang sama. Itu yang mesti dilaksanakan oleh koperasi-koperasi.

Ada referensi berharga dari gerakan sosial baru yaitu occupy movement. Occupy movement menjadi banyak dikenal dan menyebar ke berbagai negara. Inspirasinya, gerakan ini tidak datang dengan satu program yang sudah jadi hasil pemikiran para inisiatornya, tapi menekankan proses perumusan agenda bersama dari para partisipannya, melalui satu proses demokrasi langsung yang bottom up. Sebelum ke perumusuan agenda, koperasi sudah memiliki jati diri yang sama sebagai pemersatu, itu bisa lebih mempermudah, dengan aplikasi dari jati diri koperasi, prinsip kerjasama antara koperasi, bisa menjadi kekuatan bersama sebagai ‘modal awal’. Semua warga yang menjadi anggota koperasi bisa berpartisipasi sebagai presentasi, untuk saling mendengar, saling mendebat dan mencari konsensus bersama, yang kemudian menjadi landasan persatuan untuk bertindak dan aksi-aksi kolektif.

Sudah saatnya koperasi tidak lagi bekerjasama sebatas dalam logika efektivitas dan efesiensi ekonomi semata. Perlu diingat, sekali lagi koperasi bermain di tiga medan sekaligus, yakni sosial, budaya, dan ekonomi. Sekarang para anggota koperasi bisa duduk dan menentukan agenda bersama. Mendiskusikan siapa musuh utama dan target yang diharapkan. Sudah saatnya koperasi berada di garda depan dalam perubahan, koperasi bisa bergerak secara radikal tidak melulu mengambil posisi nyaman.[]

*) Disampaikan pada Pendidikan Menengah Perkoperasian Koperasi Mahasiswa Se-Jawa di Tempat Wisata Curug Ceheng, Banyumas. Hari Sabtu 14 Desember 2013 
**) Ilustrasi: Mural made for the workers of Cooperativa Quilmes, a thread factory occupied in 2009. The workers were violently evicted in August, just 7 months after occupying the bankrupt business, forming a cooperative, and starting up production. Photo by Marie Trigona. Source  http://www.warresisters.org/node/936

1 komentar:

lowongan kerja mengatakan...

setuju dengan pernyataan koperasi bermain di tiga medan sekaligus, yakni sosial, budaya, dan ekonomi

 
Creative Commons License
All contens are licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-NoDerivs 3.0 Unported License.

Creative Commons [cc] 2011 Dodi Faedlulloh . Style and Layout by Dodi | Bale Adarma