Ketika Sang Ayah Mencintai Anaknya

Oleh: Dodi Faedlulloh

Seorang pemimpin keluarga harus bisa membuat keputusan, walaupun tak jarang pelik yang mendalam selalu menyajikan dilematika-dilematikanya. Hal tersebut pun hari-hari ini dirasa oleh seorang lelaki berumur 40 tahunan. Sebut saja namanya Sucipto. Sebagai seorang pria, suami dan juga ayah, ia harus jeli dalam membuat keputusan yang berkaitan dengan kehidupan keluarganya. Biasanya ia bekerja di sebuah perusahaan sebagai street level bureaucracy. Tak banyak memang yang ia dapatkan dari pekerjaannya tersebut, namun ia selalu bersyukur dan percaya Tuhan akan selalu memberi yang terbaik bagi keluarganya.

Skenario hidup agak berbelok. Kehidupan ekonomi yang pas-pasan memaksa sang istri harus hijrah ke luar negeri. Dan anak-anaknya harus di tinggal, mau tak mau. Istri Sucipto kini termasuk dari jutaan penduduk Indonesia yang memilih bekerja di luar negeri. Terpaksa karena di tanah-airnya sendiri, negara tidak bisa memberikan peluang kesejahteraan bagi rakyatnya. Lebih-lebih sekarang, negara justru riang melepas baju tanggung-jawabnya dengan mencabut subsidi BBM.


Anak-anak Sucipto masihlah kecil, biasanya ketika ia pergi berangkat kerja, yang tak jarang ba’da subuh ia langsung bergegas dari rumah menuju tempat kerja, anak-anaknya akan diasuh oleh sang istri tercinta. Namun sekarang, pasca istrinya mencari rezeki di negeri orang, mereka harus diasuh oleh sang ayah. Iya, Sucipto kini terpaksa menjadi ayah sekaligus ibu bagi anak-anaknya itu. Ia bertemu dengan dilametika. Pernah ia coba menitipkan anak-anak ke salah satu keluarganya, tapi sayang mereka tidak mau. Mungkin sang anak yang masih polos itu merasa kasih sayang dan perhatian yang diberi orang-tua memiliki feels-nya tersendiri. Secara psikologi pun memaklumi, anak-anak usia dini memang belum bisa lepas dari perhatian orang-tua.

Sempat ia memilih cara membawa anak-anaknya ketika kerja. Itulah jalan satu-satunya yang ada dalam pikirannya. Hal tersebut lebih mending, karena beberapa hari pasca istirnya pergi, ia terpaksa “bolos” kerja. Hal ini tentu cukup mengganggu, baik secara personal Sucipto juga bagi profesionalitas dalam perusahaan. Bolos bekerja tanpa keterangan akan sulit diterima.

Beberapa hari ia mencoba bekerja sambil membawa anak-anaknya. Sebagai orang yang memiliki tanggung-jawab, pilihan rasionalnya ini tidak bisa ditoleransi oleh dirinya sendiri. Ia sangat merasa tak nyaman ketika melihat teman sejawatnya bekerja, namun ia terpaksa justru harus ‘ngasuh’ anak-anaknya itu. Perusahaan tempat Sucipto bekerja pun ikut menjadi galau, karena secara jejak rekam Sucipto bekerja baik-baik saja. Dan tak mungkin mem-PHK-kannya karena alasan tersebut. Bila dipandang dalam kacamata professional murni, akan sangat memungkinkan mem-PHK-kan karyawan seperti yang dialamai oleh Sucipto karena berpotensi menghambat efektivitas kinerja organisasi. Tapi berbeda cerita, karena perusahaan tempat Sucipto bekerja, mendasarkan pula pada sisi humanistik. Jadi akan menjadi tidak senada dengan nilai yang dipegang oleh perusahaan (humanis) bila karena alasan tersebut harus mengeluarkan Sucipto.

Sucipto pun berpikir keras untuk menyelesaikan problemnya. Di sisi lain ia perlu bekerja untuk penghidupannya, tapi di sisi lain ia begitu sayang dengan anak-anaknya. Hasil juang-pikirnya memutuskan ia harus berhenti dari tempat kerja yang sudah ia lakoni selama belasan tahun. Ia sudah pikirkan matang-matang pilihannya ini, ia percaya soal rezeki tidak akan pernah ke mana-mana, Tuhan sudah mengatur. Dengan kondisi ini, terpaksa ia harus pergi meninggalkan orang-orang yang sudah menjadi teman seperjuangan di perusahaan. Rencana terdekat pasca opsi keluar, Sucipto berencana akan membangun usaha kecil-kecilan yang masih bisa disambi sambil tetap memberi tanggung-jawab perhatian kepada anak-anaknya.

Kiranya yang dialami Sucipto juga dialami oleh ayah-ayah yang lain. Seorang pemimpin keluarga harus bisa menentukan pilihan bijak, walaupun terkesan tampak pahit. Tapi itulah hidup, kepercayaan atas pilihan sendiri membawa pada motivasi untuk hidup lebih baik. Kisah Sucipto memberi spirit tersendiri. Tak hanya bagi Sucipto, tapi bagi kita, khususnya orang-orang sudah banyak dijejali teori-teori kritis. Memang memahami kehidupan secara dalam tak bisa dipahami dengan hanya membaca Das Kapital, tapi juga membaca kehidupan nyata secara objektif. Ah, begitulah hidup!

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Salam kenal..

Luar biasa.. Nice article.
empatisme anda terhadap kehidupan sosial semoga menjadi inspirasi dalam kehidupan masyarakat kita.

Anonim mengatakan...

Salam kenal..

Luar biasa.. Nice article.
empatisme anda terhadap kehidupan sosial semoga menjadi inspirasi dalam kehidupan masyarakat kita.

 
Creative Commons License
All contens are licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-NoDerivs 3.0 Unported License.

Creative Commons [cc] 2011 Dodi Faedlulloh . Style and Layout by Dodi | Bale Adarma