Foucault dan Teori Organisasi: Dilematika Serangan terhadap Narasi Besar tentang Organisasi

Oleh:  Dodi Faedlulloh

Teori organisasi dalam teks-teks dari literasi mainstream selalu menyajikan ihwal kronologi perubahan paradigma dari masa ke masa. Hal ini sama sekali bukan kesalahan, namun penyampaian yang semata empiris ini seakan menjelaskan ketotalitasan dan kebakukan pengetahuan tentang teori organisasi. Sehingga bisa berimbas pada penerimaan begitu saja (taken for granted) tentang perkembangan teori organisasi namun minus refleksi.

Membicarakan teori organisasi biasanya melekat pada penjelasan seksama tentang hubungan dialektis antara satu paradigma ke paradigma baru. Dari teori klasik, neo-klasik, modern sampai pada ketidak-tuntasan teori organisasi post-modern. Term terkahir ini yang akan penulis coba bahas dalam paper ini. Menjelaskan teori post-modern dalam teori organisasi memang memiliki kesulitan tersendiri, dengan ruh dekontruksi bila tidak teliti, hanya akan mampu membongkar selubung narasi namun secara inheren berpotensi jatuh pada pemahaman relativisme yang bias.

Bagaimanapun, teori organisasi terkategorisasi dalam khazanah ilmu sosial yang berkonsekuensi logis akan terpengaruh oleh dinamika semangat zaman dan perubahan-perubahan yang selalu terjadi dalam ilmu sosial. Substansinya bukan soal meramaikan belantika dunia ilmu sosial namun lebih kepada penentuan sikap dan posisi teori organisasi dalam memandang perubahan tersebut, sehingga tidak berkacamata-kuda dalam pengkajian ilmiah teori organisasi.

Dari deretan nama tokoh post-modern, hadir Foucault seorang filusuf asal Prancis yang dalam beberapa kesempatan analisisnya dikaji dalam konteks teori organisasi. Membawa teori organisasi jauh ke medan postmodernisme adalah suatu keberanian dan menentang ortodoksi yang tampak ingin mengabsolutkan diri. Mengangakat postmodern dalam ranah organisasi akan berimplikasi pada multikulural dan heterogenisasi karena sejatinya posmodernisme mengajarkan untuk selalu mempertanyakan dan meragukan sebelum kemudian sesuatu hal diyakini dan dijalankan. Posmodernisme membaca teori organisasi adalah hasil dari konstruksi sosial. Perubahan paradigma yang terjadi selama ini itu pun imbas dari kontruksi sosial, maka ajaran-ajaran yang pernah ada akan dinilai secara relatif.

Hal yang paling khas dari posmodernisme adalah kritik terhadap nalar modern seperti fondasionalisme, universalisme, dan obyektivisme. Cara berpikir modern senantiasa mencari kesatuan atau homologi. Sedangkan posmodern menampilkan heterologi.

Menurut postmodern, narasi besar modernisme hanya menindas kemajemukan realitas. Perbedaan atau keunikan pengalaman manusia atau realitas disederhanakan, alih-alih, diseragamkan sedemikian rupa menjadi satu definisi. Oleh karenanya, postmodern  kemudian dapat dengan baik memberikan ruang bagi kelompok-kelompok marginal atau yang selama diam tertindas narasi besar modernisme (Fachs and Sandoval: 2008, Gonzalez: 2004, Hoffman: 2009). Karena itu, teori sosial posmodern bersifat kontra-hegemoni terhadap narasi besar tersebut. Gonzalez menulis, “Postmodernism cannot be considered “hegemonic” because it is associated with “counter-hegemonic” theories and marginal groups; on the other, “if we do not achieve some general sense of a cultural dominant, then we fall back into a view of present history as sheer heterogeneity, random difference, a coexistence of a host of distinct  forces whose effectivity is undecidable”

Membaca Foucault
Foucault adalah sosok yang lekat dengan pemikiran postmodern, walaupun ia seringkali menolak label tersebut. Ia lahir di Prancis, di sebuah kota bernama Poitiers tahun 1926 silam dan meninggal 25 Juni 1984. Semasa hidupnya ia banyak berkontribusi ragam pemikiran tentang relasi kuasa, pengetahuan dan diskursus.

Membaca pemikirannya cukup menarik, walau banyak dikritik khususnya oleh para intelektual Marxist karena menganggapnya sebagai sosok yang khianat, ia terus melangkah maju dengan pemikiran-pemikirannya yang unik. Ia sangat produktif dalam produksi pengetahuan, karya-karyanya di antaranya Madness and Civilization, The Birth of the Clinic, Death and The Labyrinth, The Order of Things, The Archaeology of Knowledge, Discipline and Punish dan The History of Sexuality yang cukup mengejutkan dunia intelektual dan filsafat pada jamannya.

Dalam artikel ini, penulis mendeskripsikan secara umum atau sekurangnya yang paling banyak dikaji dari pemikiran Foucault. Sumbangan terbesar dari sosok yang juga pernah mengajar di Universitas California, Barkeley ini adalah membuat teori dan praktik perubahan sosial menjadi lebih sensitif terhadap relasi kekuasaan dan dominasi dan menyadarkan kita bagaimana relasi kekuasaan (power) teranyam di setiap aspek kehidupan serta kehidupan pribadi dan ini bertentangan dengan keyakinan umum ilmu sosial yang cenderung mengabaikan “kekuasaan” dalam dunia ilmu pengetahuan dan berasumsi bahwa pengetahuan itu netral, objektif, dan tak berdosa (Fakih: 2002). Hal ini yang kemudian nanti akan penulis bahas dalam konteks teori organisasi, yang dalam pembacaan kritis, hemat penulis belum pernah ada pengkajian mendalam tentang selubung kekuasaan dalam teori-teori organisasi yang mapan. Memang pemikirannya selalu membuat was-was hal yang mapan karena selalu berusaha untuk membongkar selubung-selubung yang tak kasat mata.

Foucault menyumbangkan teori kritik terhadap teori pembangunan dan modernisasi dengan gaya khas postmodern. Pemikiran Foucault tentang kontrol penciptaan diskursus dan bekerjanya kekuasaan (power) pada pengetahuan sangat membantu akademisi dan aktivis sosial untuk membongkar hal-hal yang tersembunyi dari teori dan praktek pembangunan. Tak hanya itu, segala sesuatu yang selalu dianggap mapan dan diterima begitu saja oleh massa, Foucault dan Foucaldian akan membalikan realitas tersebut, mendekontruksinya sampai benar-benar tak ada yang tersisa.

Kemudian tentang hubungan subjek dan objek, Foucault termasuk filusuf yang ikut merayakan kematian subjek, maka dari itu ia seringkali disebut-sebut sebagai tokoh post-strukturalis. Humanisme “dibunuh” oleh post-strukturalis, tanpa terkecuali Foucault. Maka dari sini filsafat yang selama ini berkutat pada humanisme sudat tamat (Wibowo: 2004). Pembahasan ini dijelaskan dalam konteks teori organisasi dijelaskan oleh David Knights dalam karya bersama dengan akademisi teori organisasi lainnya yang berjudul “Organization Theory and Postmodern Thought”.

Implikasi logis dari anti-humanisme Foucault ini adalah manusia juga akhirnya dipengaruhi oleh kekuasaan, bukan sebaliknya. Titik ekstremnya subjek justru menihilkan kebebasan dan subjektivitas yang kemudian baru Foucault tawarkan kembali kebebasan yang baru, kebebasan yang mampu mengendalikan kekuasaan dan kehendak pada subjek yang dihasilkannya (Wibowo: 2004)

Poin-poin Teori Organsisi dalam Foucaudian
Teoritisi teori organisasi, Knight (2004) mengaku sulit untuk mendiskusikan tulisan-tulisan dari Foucault. Dalam tulisannya berujar:

While it is difficult to discuss Foucault’s writings as a whole without distinguishing these different phases, I do not want simply to repeat what others have already skilfully achieved. Accordingly, the following table takes the periodization a stage further by creating what might be seen as a classification of Foucault’s work. It is recognized that classifying is a form of labelling and thereby an exercise of power and, indeed, often an act of violation. For the sake of the classification, it is necessary to push and prod analyses or discourses into categories that strain to fit them and then are found to be overlapping or inconsistent with other categories in the scheme. This recognition did not stop Foucault from engaging in classification when, for example, he sought to distinguish the point in the seventeenth century at which classical or pre-modern society became modern.

Sebagai langkah awal Knight melakukan periodesisasi rezim kekuasaan (power) yang menjadi klasifikasi historitas dialetika rezim kekuasaan dari pre-modern, modern dan terakhir postmodern.

Tabel 1. Power/Knowladge Regimes Menurut Foucault

Society
Pre-modern
Modern
Postmodern
History
Processes of individualization
Power
Sovereign
Disciplinary
Governmental
Exercised through
Spectacles of torture
Hierarchy/normalization/
Examination
Responsibility
Knowladge
Exclusive
Partially distributed
Inclusive
Effects
Fear of punishment
Divisive
Identification
Self
Struggles for dignity
Struggles for autonomy
Struggles for identity
Identity
Subjugated
Normalized
Aestheticized
Resistance
Limited
Extensive
Occurs in space
between multiple
identities
Subjetivity
Totalized
Individualized
Subjectivized
Ethitcs
Absolute
Publicly regulated
Localized
‘Truth”
Function of
God/Nature
Effect of power/consent
Tied to identity


Sumber: Linstead (2004)
 


Dalam tabel satu ini tidak dibaca sebagai gerak lurus evolusi, tahpan-tahapan yang linear. Tidak seperti alur dialetika historis Marxisme dari tahapan feodalisme, kemudian kapitalisme yang dilanjut dengan sosialisme yang menggusur atau mengganti satu epos dengan epos lain. Karakter yang tampil dalam tabel di atas adalah masalah yang hadir dalam konteks kontemporer pada zamannya bukan karena hal-hal yang silam atau bukan karena semata kondisi masa lalu yang tidak menjawab permasalahan. “These characterizations, of course, are an effect of ‘problems’ of the present not the past” jelas Knight. Dalam hal ini dengan kata lain analisis Foucault adalah tentang “sejarah masa kini”. Dean tentang ini mengemukakan “It is not ‘grand narrative’ or totalizing theory so much as strategic analysis that acknowledges its own ‘immersion within an existing, mobile field of knowledge’ (Dean: 1994 ). Tabel satu di atas ini membantu kita, sekurangnya dalam membaca poin pikiran Foucault yang kemudian pada tabel kedua berikutnya kita bisa membaca fokus perspektif Foucault yang dikomprasikan dengan sejarah teori organiasi dan manajemen yang pernah ada. Sehingga kita bisa mengenali perbedaan yang dijelaskan Foucault tentang teori organisasi.

Tabel 2. Sejarah manajemen dan analisis organisasi

Theory
Focus Perspective
Foucault
Power
Knowledge/truth
Subjectivity/ethics
Managerial
Control
Productivity
Motivation
Technical
Classical
(e.g. Fayol)

Scientific Management
(Taylor)
Group Theory
(e.g. Sayles)

Social
Classical (e.g. Barnard)
Population Ecology
(e.g. Hannan and Freeman)
Human Relations
(e.g. Mayo)
Institutional
Bureaucracy (Weber)
Market competition
(e.g. Williamson)
Internal market
(e.g. Quality Management)
Integrated
Global Corporatism
Knowledge Management
Job insecurity

Sumber: Linstead (2004)
 


Pembacaan Kembali: Kontekstualisasi Organisasi Publik

“Postmodern organization theory is self-contradictory” ungkap Andrew Chan dan Jhon Garrick (2002) dalam karya mereka, “Organization Theory in Turbulent Times: The Traces of Foucault’s Ethicts”, begitupula Foucault ketika mulai ingin mempromosikan kekebasan yang baru, diselediki lebih lanjut pemikirannya menuai ambivalensi karena kembali pada itu-itu lagi. Namun begitulah ulah postmodern, mendekontruski segala hal namun meninggalkannya, sehingga bisa menjebak massa yang belum siap menghadapai postmodernisme pada ketersesatan yang berlarut-larut.

Dalam fokus perspektif Foucault, organisasi dikontrol organisasi kekuasaan, namun bukan kekuasaan secara personal, misal sang pemimpin tapi kekuasaannya itu sendiri. Karena kekuasaan menyebar melalui “seluruh struktur tindakan yang menekan dan mendorong tindakan-tindakan lain melalui rangsangan, rayuan, paksaan dan larangan” (Haryatmoko: 2002). Kekuasaan di sini merupakan hubungan antar komunikasi, jaringan sosial, tatanan disiplin, meresap dan melekat pada setiap perbedaan dan kehendak individu dan kelompok. Kekuasaan itu beroperasi bukan dimiliki, kekuasaan itu strategi perkembangan sosial ketimbang alat kekuatan. Adalah menarik apa yang disebut Foucault sebagai micro pouvoirs atau “gugusan-gugusan kekuasaan lokal yang tersebar” (Haryatmo: 2002) yaitu keluarga, pabrik, sekolah, rumah sakit, penjara, birokrasi dan sebagainya. Melalui “kaki tangan-kaki tangan inilah” kekuasaan itu melakukan reproduksi dan bekerja dalam setiap lapisan sosial. Kekuasaan yang mendominasi pekerja, maka dari itu pekerja harus bisa membebaskan diri dari kerangkeng kekuasaan dan mampu mengendalikannya dengan kesadaran dari diri sendiri. Agak terdengar naïf, ketika sudah jauh-jauh mengkritik, namun karena Foucault tidak pernah memberi pintu keluar untuk menjawab problem ini, para pembaca Foucault bisa kembali terjebak pada motivasi subjek, yang dalam uraian lain ia justru secara terus menerus menjelaskan tentang kematian subjek oleh kejamnya stuktur. Dan model pembacaan seperti ini bisa menjadi produksi diskursus yang baru yang secara perlahan mengusik kesadaran murni manusia.

Para akademisi teori organisasi yang mengadang-gadang Foucault, misal Alan McKinlay dan Ken Starkey (1997) yang mempublikasikan bukunya yang berjudul “Foucault, Management, and Organization Theory: From panopticon to Technologies of Self” mengkaji pemikiran Foucault justru lebih banyak porsi organisasi privat. Akan tetapi untuk beberapa hal, teori orgnasisasi Foucadian ini menjadi agenda yang menarik untuk dibahas dalam ranah organisasi publik.

Dua hal yang penulis akan coba rangkai dan paparkan. Pertama soal relasi kekuasaan, dan kedua tentang anti-humanisme. Soal relasi kuasa, secara teori Foucault ingin membongkar teori organisasi yang mapan, karena baginya teori organisasi yang kini banyak dipelajari banyak diadopsi dari dominasi teori-teori organisasi privat. Baginya pengetahuan tidak bersifat netral karena selalu ada sisi buruknya bernama kuasa. Bahkan ilmu pengetahuan bernama manajemen yang saat ini banyak diaplikasikan itu menjadi instumen akserelasi kapitalisme bekerja. Namun tidak sedikit massa yang menyadari hal ini, karena sudah dianggap suatu hal yang lumrah, dan memang seperti itulah adanya. Dalam bahasa lain totalitas/absolute.

Kemudian, karena sudah berlandas pada ‘pengetahuan-pengetahuan yang telah baku’ apa yang dikerjakan oleh para pekerja diterima begitu saja tanpa tindak refleksi. Untuk mengenal permasalahan ini kita bisa kembali pada jaman Orde Baru. Rezim ini berhasil mendisiplinkan para aparatur negara dengan diskursus pengetahuan yang diciptakan melalui literasi-literasi positifis yang disodorkan Amerika. Di sinilah poin anti-humansime Foucault berbicara. Aparatur negara sebagai subjek dinilai dalam kaca mata Foucault sudah mati, selubung struktur sudah menyelimuti kesadaran bahkan fisik dari para civil servant sehingga apa-apa yang dilakukan pegawai untuk organisasi bukan karena kesadaran. Ada semacam kontruksi yang menyetir kerja.

Karena kekuasaan bekerja dalam konstruksi pengetahuan, dalam perkembangan ilmu dan pendirian-pendirian lembaga, ia pun menyebar dan bekerja mengendalikan banyak orang, komunitas, kelompok, kepentingan dan sebagainya, maka sifatnya menjadi produktif dan reproduktif dan memiliki kekuatan menormalisasikan hubungan-hubungan masyarakat. Melalui geneologi pengetahuan Foucault membedah bagaimana pengetahuan terbentuk dan bekerja. Terkait hal ini, Mark (2008) menjelaskan, “genealogies typically explore the conditions of possibility of contemporary beliefs and practices, since they uncover the historical contingencies that made it possible for people today to think and act as they do”. Iniliah yang dibaca Foucault, yang kemudian penulis lihat juga terjadi dalam praktik administrasi di organisasi publik, misal pada selubung profesionalisme. Profesionalisme di organisasi publik menjadi pengetahuan yang wajib dituruti, pekerja dalam hal ini dikontrol dan diawasi oleh profesionalisme, dengan kata lain profesionalisme di sini menjadi biopower, misal pelayanan publik, tugas dari administrator negara hanya menjadi masalah teknis dan terlepas dari persoalan politis dan ideologis, sehingga dianggap lebih bebas nilai. Sedangkan proposal Foucault adalah berkonsentrasi pada bagaimana para pekerja bisa mengontrol diri tanpa adanya paksaan, baik yang ekplisit maupun implisit, bahkan sampai pada “self-improvement”, “service excellence” dan “working hard” atas dasar diri sendiri.

Ihwal lain yang menarik dari analisis Foucault adalah tentang gender, gender hasil dari dekonstruksi teori-teori besar tentang organisasi yang sama sekali tidak pernah menampilkan isu ini kepada sidang akaedemisi. Hal ini pun menemui pangkal pro-kontranya, karena selain banyak yang menjadi pendukung Foucault namun tidak sedikit pula yang menanyakan kembali relevansi gender dengan tujuan yang diharapkannya: kesetaraan.

Terminologi penting yang dikedepankan postmodern, begitu juga dalam hal ini Foucault adalah emansipasi. Emansipasi di sini dimanifestasikan dalam bentuk pembebasan radikal bagi kaum-kaum minoritas dan marjinal yang suaranya tidak pernah didengar. Dalam ranah teori organisasi pun demikian, seringkali ajaran-ajaran atau diktum teori organisasi menjelaskan ragam hal yang sifatnya normatif, namun justru dalam aplikasinya selalu berbenturan dengan realitas. Misal pengambilan kebijakan organisasi idealnya dibahas secara demokratis, namun ternyata bila ditelusuri ditemukan dominasi maskulinitas. Atau ditarik lebih luas, ternyata mayoritas yang menduduki jabatan dalam organisasi publik ternyata kaum lelaki. Hal-hal seperti inilah yang dicoba diproblematisir oleh Foucault dan pengikutnya.

Membicarakan gender kaitannya dengan administrasi publik dapat dilacak dari Maria Mies (dalam Nugroho: 2008) tentang housewifization, yaitu:

Proses di mana wanita diberi definisi sosial sebagai ibu rumah tangga, yang tergantung   kepada suami untuk penghidupan mereka, terlepas apakah mereka secara defacto ibu rumah tangga atau bukan. Definisi sosial wanita sebagai ibu rumah tangga adalah pasangan definisi sosial pria sebagai pencari nafkah, terlepas dari kontribusi nyata yang mereka berikan kepada rumah tangga dan keluarga.

Konstruksi tersebut, jelas Nugroho (2008), dibentuk melalui kebijakan-kebijakan publik dan implementasi kebijakan-kebijakan tersebut. Hal ini tampaknya diinspirasi oleh pemikiran Foucault dalam History of Sexuality (1980) yang mengatakan bahwa seks tidak hanya dilihat sebagai sekedar sarana reproduksi atau sebagai sumber kesenangan, tapi juga telah menjadi pusat keberadaan manusia atau tempat istimewa di mana kebenaran diri kita berada (Suryakusumah: 1991). Artinya makna akan kebenaran diletakan di atas basis perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Di sini wacana gender bertemu dengan kebijakan publik, atau dalam konteks yang lebih luas wacana gender bertemu dengan administrasi publik sebagai lembaga pembuat dan pelaksana kebijakan publik

Bisa dikatakan isu gender di dalam administrasi publik, khususnya yang berimbas pula dalam kajian organisasi publik masihlah sangat minim. Sehingga pada kasus minimnya partisipasi perempuan dalam organisasi publik dianggap sebagai sesuatu yang wajar, baik dilihat dari sudut pandang laki-laki bahkan ironisnya juga sudut pandang perempuan. Ada pelekangan dari kaum perempuannya sendiri. Padahal wacana ini sejatinya sudah cukup lama dianggap penting. Sejak tahun 1992, Hawkesworth dan Kogan (1992) mengemukakan isu ini sudah dimasukan dalam ensiklopedi pemerintah dan politik yang diterbitkan Eropa. Dalam konteks kontemporer pun isu gender masuk dalam kajian global governance (O’Brien:2000). Akan tetapi memang isu ini belum dikategorisasikan sebagai sesuatu hal yang pokok, karena biasanya unsur-unsur yang dikaji dalam teori organisasi lebih mengutamakan pada pembahasan efektifitas, efisiensi, akuntabilitas, profesionalisme dsb.

Refleksi
Dengan  belajar teori organisasi dari Foucault ini kita bisa memetik hikmah ilmiah, karena kemampuannya dalam melihat realitas yang bersifat mikroskopik kita diperlihatkan ada liyan yang tak terbaca, tak terlihat, dan tak terdengar untuk segera kita beri kesempatan beremansipasi. Secara teorits, ada hal lain yang perlu dikaji selain isu-isu utama selain efektifitas dan efisiensi organisasi, secara relasi kuasa selalu ada selubung dominasi kekuatan yang tidak terlihat yang mempengaruhi pengetahuan-pengetahuan dan manusia, sehingga manusia pun tidak lagi tepat disebut sebagai subjek, yang dalam hal ini berarti para pekerja di organisasi publik bisa terseret pada de-subjektivikasi. Kemudian pembahasan tentang gender dan sexualitas. Yang dikemukakan dalam artikel ini baru membahas sisi perempuan, dan kita sudah bertemu dengan dilematika, belum lagi sisi dari kaum marjinal lain; misal lesbi, gay, waria dan kaum yang lain. Kelemahan dari postmodernisme adalah ketidaktuntasan, karena secara inheren postmodernisme hanya berkutat pada dekontruksi. Namun sekurangnya ada kearifan yang bisa diambil, para akademisi, pemerintah, dan pihak-pihak yang berkait erat dengan organisasi publik untuk tidak lagi gagap menghadapi kondisi postmodernitas.

Kepustakaan

Chan, Andrew and Jhon Garrick. 2002. Organization Theory in Turbulent Times: The Traces of Foucault’s Ethicts. Volume 9(4): 683-701. London: SAGE

Dean, M. 1994. Critical and Effective Histories: Foucaults’s Methode and Historical Sociology. London: Routledge

Fakih, Mansour. 2002. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. Jogjakarta: Pustaka Pelajar

Fuchs, Christian and Marisol Sandoval. 2008. “Positivism, Postmodernism, or Critical Theory? A Case Study of Communications Students’ Understandings of Criticism”, Journal For Critical Education Policy Studies, 6, (2)  112-141

Gonzalez, Marcial. 2004. “Postmodernism, Historical Materialism and Chicana/o Cultural Studies”, Science and Society: A Journal of Marxist Thought and Analysis 68:2 (Summer 2004): 161-186.

Haryatmoko, 2002. ‘Kekuasaan Melahirkan Antikekuasaan, Majalah Basis, Nomor 01-02 Januari-Februari.

Hoffman, Louis. 2009. “Knowing and the Unknown: An Existential Epistemology in a Postmodern Context”, Humana-Mente, Vol. 11 97-110

Linstead, Stephen. 2004. Organization Theory and Postmodern Thought . London: Sage Publications

Nugroho, Riant. 2008. Gender dan Administrasi Publik, Studi Tentang Kualitas Gender dalam Administrasi Publik Indonesia Pascar Reformasi 1998-2002. Jogjakarta: Pustaka Pelajar

O’Brien, Robert et.al. 2000. Contesting Global Governance. Cabridge: Cambridge University Press

Suryakusumah, Julia. 1991. Konstruksi Sosial Seksualitas, dalam Prisma, 7 Juli 1991.

Wibowo, Setyo. 2004. Gaya filsafat Nietzsche. Yogyakarta: Galang Press.

0 komentar:

 
Creative Commons License
All contens are licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-NoDerivs 3.0 Unported License.

Creative Commons [cc] 2011 Dodi Faedlulloh . Style and Layout by Dodi | Bale Adarma