Oleh: Dodi Faedlulloh
Teori organisasi dalam teks-teks dari literasi mainstream
selalu menyajikan ihwal kronologi perubahan paradigma dari masa ke masa.
Hal ini sama sekali bukan kesalahan, namun penyampaian yang semata
empiris ini seakan menjelaskan ketotalitasan dan kebakukan pengetahuan
tentang teori organisasi. Sehingga bisa berimbas pada penerimaan begitu
saja (taken for granted) tentang perkembangan teori organisasi namun minus refleksi.
Membicarakan teori organisasi biasanya melekat pada penjelasan
seksama tentang hubungan dialektis antara satu paradigma ke paradigma
baru. Dari teori klasik, neo-klasik, modern sampai pada ketidak-tuntasan
teori organisasi post-modern. Term terkahir ini yang akan penulis coba
bahas dalam paper ini. Menjelaskan teori post-modern dalam teori
organisasi memang memiliki kesulitan tersendiri, dengan ruh dekontruksi
bila tidak teliti, hanya akan mampu membongkar selubung narasi namun
secara inheren berpotensi jatuh pada pemahaman relativisme yang bias.
Bagaimanapun, teori organisasi terkategorisasi dalam khazanah ilmu
sosial yang berkonsekuensi logis akan terpengaruh oleh dinamika semangat
zaman dan perubahan-perubahan yang selalu terjadi dalam ilmu sosial.
Substansinya bukan soal meramaikan belantika dunia ilmu sosial namun
lebih kepada penentuan sikap dan posisi teori organisasi dalam memandang
perubahan tersebut, sehingga tidak berkacamata-kuda dalam pengkajian
ilmiah teori organisasi.
Dari deretan nama tokoh post-modern, hadir Foucault seorang filusuf
asal Prancis yang dalam beberapa kesempatan analisisnya dikaji dalam
konteks teori organisasi. Membawa teori organisasi jauh ke medan
postmodernisme adalah suatu keberanian dan menentang ortodoksi yang
tampak ingin mengabsolutkan diri. Mengangakat postmodern dalam ranah
organisasi akan berimplikasi pada multikulural dan heterogenisasi karena
sejatinya posmodernisme mengajarkan untuk selalu mempertanyakan dan
meragukan sebelum kemudian sesuatu hal diyakini dan dijalankan.
Posmodernisme membaca teori organisasi adalah hasil dari konstruksi
sosial. Perubahan paradigma yang terjadi selama ini itu pun imbas dari
kontruksi sosial, maka ajaran-ajaran yang pernah ada akan dinilai secara
relatif.
Hal yang paling khas dari posmodernisme adalah kritik terhadap nalar
modern seperti fondasionalisme, universalisme, dan obyektivisme. Cara
berpikir modern senantiasa mencari kesatuan atau homologi. Sedangkan
posmodern menampilkan heterologi.
Menurut postmodern, narasi besar modernisme hanya menindas
kemajemukan realitas. Perbedaan atau keunikan pengalaman manusia atau
realitas disederhanakan, alih-alih, diseragamkan sedemikian rupa menjadi
satu definisi. Oleh karenanya, postmodern kemudian dapat dengan baik
memberikan ruang bagi kelompok-kelompok marginal atau yang selama diam
tertindas narasi besar modernisme (Fachs and Sandoval: 2008, Gonzalez:
2004, Hoffman: 2009). Karena itu, teori sosial posmodern bersifat
kontra-hegemoni terhadap narasi besar tersebut. Gonzalez menulis, “Postmodernism
cannot be considered “hegemonic” because it is associated with
“counter-hegemonic” theories and marginal groups; on the other, “if we
do not achieve some general sense of a cultural dominant, then we fall
back into a view of present history as sheer heterogeneity, random
difference, a coexistence of a host of distinct forces whose
effectivity is undecidable”
Membaca Foucault
Foucault adalah sosok yang lekat dengan pemikiran postmodern,
walaupun ia seringkali menolak label tersebut. Ia lahir di Prancis, di
sebuah kota bernama Poitiers tahun 1926 silam dan meninggal 25 Juni
1984. Semasa hidupnya ia banyak berkontribusi ragam pemikiran tentang
relasi kuasa, pengetahuan dan diskursus.
Membaca pemikirannya cukup menarik, walau banyak dikritik khususnya
oleh para intelektual Marxist karena menganggapnya sebagai sosok yang
khianat, ia terus melangkah maju dengan pemikiran-pemikirannya yang
unik. Ia sangat produktif dalam produksi pengetahuan, karya-karyanya di
antaranya Madness and Civilization, The Birth of the Clinic, Death
and The Labyrinth, The Order of Things, The Archaeology of Knowledge,
Discipline and Punish dan The History of Sexuality yang cukup mengejutkan dunia intelektual dan filsafat pada jamannya.
Dalam artikel ini, penulis mendeskripsikan secara umum atau
sekurangnya yang paling banyak dikaji dari pemikiran Foucault. Sumbangan
terbesar dari sosok yang juga pernah mengajar di Universitas
California, Barkeley ini adalah membuat teori dan praktik perubahan
sosial menjadi lebih sensitif terhadap relasi kekuasaan dan dominasi dan
menyadarkan kita bagaimana relasi kekuasaan (power) teranyam
di setiap aspek kehidupan serta kehidupan pribadi dan ini bertentangan
dengan keyakinan umum ilmu sosial yang cenderung mengabaikan “kekuasaan”
dalam dunia ilmu pengetahuan dan berasumsi bahwa pengetahuan itu
netral, objektif, dan tak berdosa (Fakih: 2002). Hal ini yang kemudian
nanti akan penulis bahas dalam konteks teori organisasi, yang dalam
pembacaan kritis, hemat penulis belum pernah ada pengkajian mendalam
tentang selubung kekuasaan dalam teori-teori organisasi yang mapan.
Memang pemikirannya selalu membuat was-was hal yang mapan karena selalu
berusaha untuk membongkar selubung-selubung yang tak kasat mata.
Foucault menyumbangkan teori kritik terhadap teori pembangunan dan
modernisasi dengan gaya khas postmodern. Pemikiran Foucault tentang
kontrol penciptaan diskursus dan bekerjanya kekuasaan (power)
pada pengetahuan sangat membantu akademisi dan aktivis sosial untuk
membongkar hal-hal yang tersembunyi dari teori dan praktek pembangunan.
Tak hanya itu, segala sesuatu yang selalu dianggap mapan dan diterima
begitu saja oleh massa, Foucault dan Foucaldian akan membalikan realitas
tersebut, mendekontruksinya sampai benar-benar tak ada yang tersisa.
Kemudian tentang hubungan subjek dan objek, Foucault termasuk filusuf
yang ikut merayakan kematian subjek, maka dari itu ia seringkali
disebut-sebut sebagai tokoh post-strukturalis. Humanisme “dibunuh” oleh
post-strukturalis, tanpa terkecuali Foucault. Maka dari sini filsafat
yang selama ini berkutat pada humanisme sudat tamat (Wibowo: 2004).
Pembahasan ini dijelaskan dalam konteks teori organisasi dijelaskan oleh
David Knights dalam karya bersama dengan akademisi teori organisasi
lainnya yang berjudul “Organization Theory and Postmodern Thought”.
Implikasi logis dari anti-humanisme Foucault ini adalah manusia juga
akhirnya dipengaruhi oleh kekuasaan, bukan sebaliknya. Titik ekstremnya
subjek justru menihilkan kebebasan dan subjektivitas yang kemudian baru
Foucault tawarkan kembali kebebasan yang baru, kebebasan yang mampu
mengendalikan kekuasaan dan kehendak pada subjek yang dihasilkannya
(Wibowo: 2004)
Poin-poin Teori Organsisi dalam Foucaudian
Teoritisi teori organisasi, Knight (2004) mengaku sulit untuk
mendiskusikan tulisan-tulisan dari Foucault. Dalam tulisannya
berujar:
While it is difficult to discuss Foucault’s writings as a whole without distinguishing these different phases, I do not want simply to repeat what others have already skilfully achieved. Accordingly, the following table takes the periodization a stage further by creating what might be seen as a classification of Foucault’s work. It is recognized that classifying is a form of labelling and thereby an exercise of power and, indeed, often an act of violation. For the sake of the classification, it is necessary to push and prod analyses or discourses into categories that strain to fit them and then are found to be overlapping or inconsistent with other categories in the scheme. This recognition did not stop Foucault from engaging in classification when, for example, he sought to distinguish the point in the seventeenth century at which classical or pre-modern society became modern.
Sebagai langkah awal Knight melakukan periodesisasi rezim kekuasaan
(power) yang menjadi klasifikasi historitas dialetika rezim kekuasaan
dari pre-modern, modern dan terakhir postmodern.
Tabel 1. Power/Knowladge Regimes Menurut Foucault
Society
|
Pre-modern
|
Modern
|
Postmodern
|
History
|
Processes of individualization
|
||
Power
|
Sovereign
|
Disciplinary
|
Governmental
|
Exercised
through
|
Spectacles
of torture
|
Hierarchy/normalization/
Examination
|
Responsibility
|
Knowladge
|
Exclusive
|
Partially distributed
|
Inclusive
|
Effects
|
Fear of punishment
|
Divisive
|
Identification
|
Self
|
Struggles for dignity
|
Struggles
for autonomy
|
Struggles for identity
|
Identity
|
Subjugated
|
Normalized
|
Aestheticized
|
Resistance
|
Limited
|
Extensive
|
Occurs
in space
between
multiple
identities
|
Subjetivity
|
Totalized
|
Individualized
|
Subjectivized
|
Ethitcs
|
Absolute
|
Publicly regulated
|
Localized
|
‘Truth”
|
Function
of
God/Nature
|
Effect of power/consent
|
Tied
to identity
|
Sumber: Linstead (2004)
Dalam tabel satu ini tidak dibaca sebagai gerak lurus
evolusi, tahpan-tahapan yang linear. Tidak seperti alur dialetika
historis Marxisme dari tahapan feodalisme, kemudian kapitalisme yang
dilanjut dengan sosialisme yang menggusur atau mengganti satu epos
dengan epos lain. Karakter yang tampil dalam tabel di atas adalah
masalah yang hadir dalam konteks kontemporer pada zamannya bukan karena
hal-hal yang silam atau bukan karena semata kondisi masa lalu yang tidak
menjawab permasalahan. “These characterizations, of course, are an effect of ‘problems’ of the present not the past”
jelas Knight. Dalam hal ini dengan kata lain analisis Foucault adalah
tentang “sejarah masa kini”. Dean tentang ini mengemukakan “It is
not ‘grand narrative’ or totalizing theory so much as strategic analysis
that acknowledges its own ‘immersion within an existing, mobile field
of knowledge’ (Dean: 1994 ). Tabel satu di atas ini membantu kita,
sekurangnya dalam membaca poin pikiran Foucault yang kemudian pada tabel
kedua berikutnya kita bisa membaca fokus perspektif Foucault yang
dikomprasikan dengan sejarah teori organiasi dan manajemen yang pernah
ada. Sehingga kita bisa mengenali perbedaan yang dijelaskan Foucault
tentang teori organisasi.
Tabel 2. Sejarah manajemen dan analisis
organisasi
Theory
|
Focus Perspective
|
||
Foucault
|
Power
|
Knowledge/truth
|
Subjectivity/ethics
|
Managerial
|
Control
|
Productivity
|
Motivation
|
Technical
|
Classical
(e.g.
Fayol)
|
Scientific
Management
(Taylor)
|
Group
Theory
(e.g.
Sayles)
|
Social
|
Classical
(e.g. Barnard)
|
Population
Ecology
(e.g.
Hannan and Freeman)
|
Human
Relations
(e.g. Mayo)
|
Institutional
|
Bureaucracy
(Weber)
|
Market
competition
(e.g.
Williamson)
|
Internal
market
(e.g. Quality Management)
|
Integrated
|
Global
Corporatism
|
Knowledge
Management
|
Job insecurity
|
Sumber: Linstead (2004)
Pembacaan Kembali: Kontekstualisasi Organisasi Publik
“Postmodern organization theory is self-contradictory” ungkap Andrew Chan dan Jhon Garrick (2002) dalam karya mereka, “Organization Theory in Turbulent Times: The Traces of Foucault’s Ethicts”, begitupula
Foucault ketika mulai ingin mempromosikan kekebasan yang baru,
diselediki lebih lanjut pemikirannya menuai ambivalensi karena kembali
pada itu-itu lagi. Namun begitulah ulah postmodern, mendekontruski
segala hal namun meninggalkannya, sehingga bisa menjebak massa yang
belum siap menghadapai postmodernisme pada ketersesatan yang
berlarut-larut.
Dalam fokus perspektif Foucault, organisasi dikontrol organisasi
kekuasaan, namun bukan kekuasaan secara personal, misal sang pemimpin
tapi kekuasaannya itu sendiri. Karena kekuasaan menyebar melalui
“seluruh struktur tindakan yang menekan dan mendorong tindakan-tindakan
lain melalui rangsangan, rayuan, paksaan dan larangan” (Haryatmoko:
2002). Kekuasaan di sini merupakan hubungan antar komunikasi, jaringan
sosial, tatanan disiplin, meresap dan melekat pada setiap perbedaan dan
kehendak individu dan kelompok. Kekuasaan itu beroperasi bukan dimiliki,
kekuasaan itu strategi perkembangan sosial ketimbang alat kekuatan.
Adalah menarik apa yang disebut Foucault sebagai micro pouvoirs
atau “gugusan-gugusan kekuasaan lokal yang tersebar” (Haryatmo: 2002)
yaitu keluarga, pabrik, sekolah, rumah sakit, penjara, birokrasi dan
sebagainya. Melalui “kaki tangan-kaki tangan inilah” kekuasaan itu
melakukan reproduksi dan bekerja dalam setiap lapisan sosial. Kekuasaan
yang mendominasi pekerja, maka dari itu pekerja harus bisa membebaskan
diri dari kerangkeng kekuasaan dan mampu mengendalikannya dengan
kesadaran dari diri sendiri. Agak terdengar naïf, ketika sudah jauh-jauh
mengkritik, namun karena Foucault tidak pernah memberi pintu keluar
untuk menjawab problem ini, para pembaca Foucault bisa kembali terjebak
pada motivasi subjek, yang dalam uraian lain ia justru secara terus
menerus menjelaskan tentang kematian subjek oleh kejamnya stuktur. Dan
model pembacaan seperti ini bisa menjadi produksi diskursus yang baru
yang secara perlahan mengusik kesadaran murni manusia.
Para akademisi teori organisasi yang mengadang-gadang Foucault, misal
Alan McKinlay dan Ken Starkey (1997) yang mempublikasikan bukunya yang
berjudul “Foucault, Management, and Organization Theory: From panopticon to Technologies of Self”
mengkaji pemikiran Foucault justru lebih banyak porsi organisasi
privat. Akan tetapi untuk beberapa hal, teori orgnasisasi Foucadian ini
menjadi agenda yang menarik untuk dibahas dalam ranah organisasi publik.
Dua hal yang penulis akan coba rangkai dan paparkan. Pertama soal relasi kekuasaan, dan kedua
tentang anti-humanisme. Soal relasi kuasa, secara teori Foucault ingin
membongkar teori organisasi yang mapan, karena baginya teori organisasi
yang kini banyak dipelajari banyak diadopsi dari dominasi teori-teori
organisasi privat. Baginya pengetahuan tidak bersifat netral karena
selalu ada sisi buruknya bernama kuasa. Bahkan ilmu pengetahuan bernama
manajemen yang saat ini banyak diaplikasikan itu menjadi instumen
akserelasi kapitalisme bekerja. Namun tidak sedikit massa yang menyadari
hal ini, karena sudah dianggap suatu hal yang lumrah, dan memang
seperti itulah adanya. Dalam bahasa lain totalitas/absolute.
Kemudian, karena sudah berlandas pada ‘pengetahuan-pengetahuan yang
telah baku’ apa yang dikerjakan oleh para pekerja diterima begitu saja
tanpa tindak refleksi. Untuk mengenal permasalahan ini kita bisa kembali
pada jaman Orde Baru. Rezim ini berhasil mendisiplinkan para aparatur
negara dengan diskursus pengetahuan yang diciptakan melalui
literasi-literasi positifis yang disodorkan Amerika. Di sinilah poin
anti-humansime Foucault berbicara. Aparatur negara sebagai subjek
dinilai dalam kaca mata Foucault sudah mati, selubung struktur sudah
menyelimuti kesadaran bahkan fisik dari para civil servant sehingga apa-apa yang dilakukan pegawai untuk organisasi bukan karena kesadaran. Ada semacam kontruksi yang menyetir kerja.
Karena kekuasaan bekerja dalam konstruksi pengetahuan, dalam
perkembangan ilmu dan pendirian-pendirian lembaga, ia pun menyebar dan
bekerja mengendalikan banyak orang, komunitas, kelompok, kepentingan dan
sebagainya, maka sifatnya menjadi produktif dan reproduktif dan
memiliki kekuatan menormalisasikan hubungan-hubungan masyarakat. Melalui
geneologi pengetahuan Foucault membedah bagaimana pengetahuan terbentuk
dan bekerja. Terkait hal ini, Mark (2008) menjelaskan, “genealogies
typically explore the conditions of possibility of contemporary beliefs
and practices, since they uncover the historical contingencies that
made it possible for people today to think and act as they do”.
Iniliah yang dibaca Foucault, yang kemudian penulis lihat juga terjadi
dalam praktik administrasi di organisasi publik, misal pada selubung
profesionalisme. Profesionalisme di organisasi publik menjadi
pengetahuan yang wajib dituruti, pekerja dalam hal ini dikontrol dan
diawasi oleh profesionalisme, dengan kata lain profesionalisme di sini
menjadi biopower, misal pelayanan publik, tugas dari administrator
negara hanya menjadi masalah teknis dan terlepas dari persoalan politis
dan ideologis, sehingga dianggap lebih bebas nilai. Sedangkan proposal
Foucault adalah berkonsentrasi pada bagaimana para pekerja bisa
mengontrol diri tanpa adanya paksaan, baik yang ekplisit maupun
implisit, bahkan sampai pada “self-improvement”, “service excellence” dan “working hard” atas dasar diri sendiri.
Ihwal lain yang menarik dari analisis Foucault adalah tentang gender,
gender hasil dari dekonstruksi teori-teori besar tentang organisasi
yang sama sekali tidak pernah menampilkan isu ini kepada sidang
akaedemisi. Hal ini pun menemui pangkal pro-kontranya, karena selain
banyak yang menjadi pendukung Foucault namun tidak sedikit pula yang
menanyakan kembali relevansi gender dengan tujuan yang diharapkannya:
kesetaraan.
Terminologi penting yang dikedepankan postmodern, begitu juga dalam
hal ini Foucault adalah emansipasi. Emansipasi di sini dimanifestasikan
dalam bentuk pembebasan radikal bagi kaum-kaum minoritas dan marjinal
yang suaranya tidak pernah didengar. Dalam ranah teori organisasi pun
demikian, seringkali ajaran-ajaran atau diktum teori organisasi
menjelaskan ragam hal yang sifatnya normatif, namun justru dalam
aplikasinya selalu berbenturan dengan realitas. Misal pengambilan
kebijakan organisasi idealnya dibahas secara demokratis, namun ternyata
bila ditelusuri ditemukan dominasi maskulinitas. Atau ditarik lebih
luas, ternyata mayoritas yang menduduki jabatan dalam organisasi publik
ternyata kaum lelaki. Hal-hal seperti inilah yang dicoba diproblematisir
oleh Foucault dan pengikutnya.
Membicarakan gender kaitannya dengan administrasi publik dapat dilacak dari Maria Mies (dalam Nugroho: 2008) tentang housewifization, yaitu:
Proses di mana wanita diberi definisi sosial sebagai ibu rumah tangga, yang tergantung kepada suami untuk penghidupan mereka, terlepas apakah mereka secara defacto ibu rumah tangga atau bukan. Definisi sosial wanita sebagai ibu rumah tangga adalah pasangan definisi sosial pria sebagai pencari nafkah, terlepas dari kontribusi nyata yang mereka berikan kepada rumah tangga dan keluarga.
Konstruksi tersebut, jelas Nugroho (2008), dibentuk melalui
kebijakan-kebijakan publik dan implementasi kebijakan-kebijakan
tersebut. Hal ini tampaknya diinspirasi oleh pemikiran Foucault dalam
History of Sexuality (1980) yang mengatakan bahwa seks tidak hanya
dilihat sebagai sekedar sarana reproduksi atau sebagai sumber
kesenangan, tapi juga telah menjadi pusat keberadaan manusia atau tempat
istimewa di mana kebenaran diri kita berada (Suryakusumah: 1991).
Artinya makna akan kebenaran diletakan di atas basis perbedaan antara
laki-laki dan perempuan. Di sini wacana gender bertemu dengan kebijakan
publik, atau dalam konteks yang lebih luas wacana gender bertemu dengan
administrasi publik sebagai lembaga pembuat dan pelaksana kebijakan
publik
Bisa dikatakan isu gender di dalam administrasi publik, khususnya
yang berimbas pula dalam kajian organisasi publik masihlah sangat minim.
Sehingga pada kasus minimnya partisipasi perempuan dalam organisasi
publik dianggap sebagai sesuatu yang wajar, baik dilihat dari sudut
pandang laki-laki bahkan ironisnya juga sudut pandang perempuan. Ada
pelekangan dari kaum perempuannya sendiri. Padahal wacana ini sejatinya
sudah cukup lama dianggap penting. Sejak tahun 1992, Hawkesworth dan
Kogan (1992) mengemukakan isu ini sudah dimasukan dalam ensiklopedi
pemerintah dan politik yang diterbitkan Eropa. Dalam konteks kontemporer
pun isu gender masuk dalam kajian global governance
(O’Brien:2000). Akan tetapi memang isu ini belum dikategorisasikan
sebagai sesuatu hal yang pokok, karena biasanya unsur-unsur yang dikaji
dalam teori organisasi lebih mengutamakan pada pembahasan efektifitas,
efisiensi, akuntabilitas, profesionalisme dsb.
Refleksi
Dengan belajar teori organisasi dari Foucault ini kita bisa memetik
hikmah ilmiah, karena kemampuannya dalam melihat realitas yang bersifat
mikroskopik kita diperlihatkan ada liyan yang tak terbaca, tak terlihat,
dan tak terdengar untuk segera kita beri kesempatan beremansipasi.
Secara teorits, ada hal lain yang perlu dikaji selain isu-isu utama
selain efektifitas dan efisiensi organisasi, secara relasi kuasa selalu
ada selubung dominasi kekuatan yang tidak terlihat yang mempengaruhi
pengetahuan-pengetahuan dan manusia, sehingga manusia pun tidak lagi
tepat disebut sebagai subjek, yang dalam hal ini berarti para pekerja di
organisasi publik bisa terseret pada de-subjektivikasi. Kemudian
pembahasan tentang gender dan sexualitas. Yang dikemukakan dalam artikel
ini baru membahas sisi perempuan, dan kita sudah bertemu dengan
dilematika, belum lagi sisi dari kaum marjinal lain; misal lesbi, gay,
waria dan kaum yang lain. Kelemahan dari postmodernisme adalah
ketidaktuntasan, karena secara inheren postmodernisme hanya berkutat
pada dekontruksi. Namun sekurangnya ada kearifan yang bisa diambil, para
akademisi, pemerintah, dan pihak-pihak yang berkait erat dengan
organisasi publik untuk tidak lagi gagap menghadapi kondisi
postmodernitas.
Kepustakaan
Chan, Andrew and Jhon Garrick. 2002. Organization Theory in Turbulent
Times: The Traces of Foucault’s Ethicts. Volume 9(4): 683-701. London:
SAGE
Dean, M. 1994. Critical and Effective Histories: Foucaults’s Methode and Historical Sociology. London: Routledge
Fakih, Mansour. 2002. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. Jogjakarta: Pustaka Pelajar
Fuchs, Christian and Marisol Sandoval. 2008. “Positivism,
Postmodernism, or Critical Theory? A Case Study of Communications
Students’ Understandings of Criticism”, Journal For Critical Education
Policy Studies, 6, (2) 112-141
Gonzalez, Marcial. 2004. “Postmodernism, Historical Materialism and
Chicana/o Cultural Studies”, Science and Society: A Journal of Marxist
Thought and Analysis 68:2 (Summer 2004): 161-186.
Haryatmoko, 2002. ‘Kekuasaan Melahirkan Antikekuasaan, Majalah Basis, Nomor 01-02 Januari-Februari.
Hoffman, Louis. 2009. “Knowing and the Unknown: An Existential
Epistemology in a Postmodern Context”, Humana-Mente, Vol. 11 97-110
Linstead, Stephen. 2004. Organization Theory and Postmodern Thought . London: Sage Publications
Nugroho, Riant. 2008. Gender dan Administrasi Publik, Studi Tentang
Kualitas Gender dalam Administrasi Publik Indonesia Pascar Reformasi
1998-2002. Jogjakarta: Pustaka Pelajar
O’Brien, Robert et.al. 2000. Contesting Global Governance. Cabridge: Cambridge University Press
Suryakusumah, Julia. 1991. Konstruksi Sosial Seksualitas, dalam Prisma, 7 Juli 1991.
Wibowo, Setyo. 2004. Gaya filsafat Nietzsche. Yogyakarta: Galang Press.
0 komentar:
Posting Komentar