Judul Buku:
Implementing Public Policy
Tahun:
2002
Chapter:
Impelemtation Theory: The To-down/Bottom-up Debate
Halaman:
41-56
Penulis:
Michael Hill dan Peter Hupe
Avant Propos
Dalam medan intelektualitas administrasi publik, kebijakan publik
selalu menjadi isu yang tetap segar dibahas dan dikaji. Dari mulai
kelahirannya, saat administrasi publik mulai merangkak menjadi entitas
ilmu sampai situasi kontemporer ketika administrasi publik menjadi
ruang-ruang refleksi intelektual, kebijakan publik selalu berada dalam
aras perdebatan yang menarik. Salah satu ranah dalam kebijakan publik
yang menjadi materi perdebatan adalah implementasi. Di antara ragam
perdebatan, menu topdown dan bottom up jadi kajian
yang selalu serius dianalisa. Para ilmuan kebijakan publik saling
memberi kontribusi membangun diskursus impelementasi dalam maksud sama: solve social problems.
Dalam kacamata historis, perkembangan studi implementasi baru dimulai
sekitar tahun 1970-an saat para ilmuan administrasi publik mulai
mengalamai pergesaran fokus kajian. Semula fokus mereka banyak mengkaji
ihwal keputusan (politik) bergeser ke fokus tahap pasca keputusan.
Sebelum tahun 1970-an, pengkajian kebijakan publik hanya terfokus pada
studi proses pembuatan kebijakan dan evaluasi, tapi alfa dalam
pembahasan impelementasi. Karena saat itu prosesi formulasi kebijakan
dan hasil kebijakan dianggap tidak memiliki relasi dengan kebijakan, dua
entitas agenda yang dinilai secara parsial.
Menyoal implementasi ini, akan menjadi agenda yang menarik bila kita
menyimak karya yang ditulis oleh Michael Hill dan Peter Hupe dalam teks
yang berjudul Implementing Public Policy. Dalam salah
satu chapternya (Chapter III), mereka menghabiskan sekitar 15 halaman
untuk merangkai, membahas dan mengkomparasikan detail perkembangan teori
implementasi kebijakan publik. Puzzle implementasi kebijakan publik
coba mereka susun dalam taksonomi muasal gagasan praktika kebijakan;
dari konstruksi atas atau dari bawah.
Puzzle Top-Down
Pertama yang dibedah Hill dan Hupe adalah narasi dari founding father
teoritikus implementasi kebijakan model top-down; Jeffrey Pressman and
Aaron Wildavsky. Pemikiran utama mereka tentang implementasi yaitu “policies normally contain both goals and the means for achieving them”. Dan
keberhasilan dari pelaksanaannya akan sangat tergantung pada bagaimana
relasi antara organisasi yang berbeda di tingkatan lokal. Semakin banyak
link dalam rantai impelementasi maka memerlukan tingkat kerjasama antar
lembaga yang tinggi. Dalam ranah impelementasi, mereka mengenalkan
gagasan “impelementation deficit” dan mematematisasi pelaksaan kebijakan.
Pressman dan Wildavsky cendrung menggunakan pendekatan model rasional
dalam mensetting tujuan kebijakan yang menitik beratkan pada sudut
pandang pembuat kebijakan. Namun dengan membacanya secara kontekstual,
tumbuhnya perspektif model rasional sebagai tonggak awal studi
implementasi adalah sangat wajar mengingat kebutuhan saat itu adalah
untuk menjawab pertanyaan mengapa banyak kebijakan mengalami kegagalan
saat diimplementasikan dan bagaimana menghasilkan suatu formula
implementasi yang tingkat kegagalannya rendah. Namun pada perjalanannya
Wildavsky mulai meragukan model tersebut, terlebih dalam teks yang
ditulisnya bersama Giandomenico, “Impelementation as Evolution”
yang dalam pengalaman empirisnya melihat kontradiksi antara pembuatan
regulasi yang rigid dan impelementasi yang fleksibel yang menyebabkan
skeptisme terhadap model rasional.
Kemudian pembahasan dilanjutkan dengan Donald Van Meter dan Carl Van
Horn. Kedua intelektual Amerika ini bersandar pada karya Pressman dan
Wildavsky, namun diberi sentuhan progressif menjadi sebuah model proses
impelementasi. Pendekatan-pendekatan sebelumnya meski dianggap sangat
membantu memahami proses implementasi, namun sangat kurang dalam
kerangka teoritik. Dalam mengembangkan kerangka teoritis, mereka
didasarkan pada 1) teori organisasi, 2) studi tentang dampak kebijakan
publik dan 3) berbagai studi hubungan antar-pemerintah.
Van Meter dan Van Horn memulai analisanya dengan pertimbangan
kebutuhan untuk mengklasifikasi kebijakan untuk memberi solusi pada
kesulitan-kesulitan yang terjadi dalam ranah implementasi. Implementasi,
hemat mereka, akan sukses ketika sedikit perubahan diperlukan dan
tujuan konsensus tinggi. Berkaca pada ragam kasus, secara pragmatis
kebijakan dengan perubahan yang terjadi secara incremental justru
biasanya akan mendapat banyak dukungan, oleh karenanya jika menginginkan
kebijakan terimplementasikan dengan baik, maka sebaiknya dengan
perubahan marginal yang terjadi secara incremental. Model ini
mengandaikan bahwa implementasi kebijakan berjalan seara linear dari
kebijakan publik, implementor, dan kinerja kebijakan publik. Beberapa
variabel yang dimasukkan sebagai variabel yang mempengaruhi kebijakan
publik sebagai berikut: 1) policy standards and objectives, 2) the resources and incentives made available; 3) the quality of inter-organizational relationships; 4) the characteristics of the implementation agencies; 5) the economic, social and political environment; dan 6) the ‘disposition’ or ‘response’ of the implementers, yang mana satu sama lain proses saling berkelindan dan menjadi rangkaian tahapan sistemis yang dilakukan secara longitudinal.
Model yang diusung oleh Van Meter dan Van Horn memang menjelaskan
pentingnya partisipasi implementor dalam penyusunan tujuan kebijakan,
namun pendekatan mereka terkatagori pendekatan Top-down, sebab standar
dan tujuan kebijakan dikomunikasikan pada implementor melalui jaringan
interorganisasional, atau dengan perkataan lain, yang terpenting adalah
para implementor memahami dan menyetujui tujuan dan standar yang telah
ditetapkan, bukan turut menentukan tujuan dan standar tersebut.
Tokoh pengusung top-down lain yang dijelaskan Hill dan Hupe adalah
Eugene Bardach. Bardach adalah teoritisi asal Amerika. Pada tahun 1977
ia merilis karya “The Impelementation Game”. Dalam karyanya
tersebut menjelaskan perspektif top-down merangkul pengenalan gangguan
dengan tujuan yang telah ditetapkan. Bardach menunjukkan bahwa dalam
proses impelementasi selalu melibatkan 'game', dan ia menguraikan
berbagai macam “game” yang dapat dimainkan. Oleh karena itu kelompok
‘top’ harus bisa mengkondisikan/setup rekomendasi pra-kebijakan. Salah
satunya terkait perlunya perhatian besar dalam proses 'scenario writing',
untuk mencapai hasil yang diinginkan. Artinya pembuat kebijakan harus
memperkirakan bagaimana scenario psoses implementasinya berikut
syarat-syarat yang dibutuhkan agar kebijakan tersebut dapat dilaksanakan
dengan baik yang diharapkan kesulitan-kesulitan yang mungkin hadir
dalam proses implementasi akan lebih mudah diantisipasi. Kemudian fixing the game.
Secara eksplesit, karya Bardach memandang implementasi adalah proses
'politik', maka untuk pencapaian tujuan sebagaimana yang tertuang dalam
kebijakan, para politisi harus mengikuti keseluruhan jalannya
implementasi dan segera memperbaiki penyimpangan-penyimpangan yang
terjadi diantara para implementor.
Kontributor top-down lainnya adalah untuk Sabatier dan Mazmanian.
Dalam Teorinya dinyatakan bahwa ada tiga kelompok variabel yang
mempengaruhi kesuksesan implementasi, yakni;
- Karakteristik dari Masalah (tractability of the problems)
- Karakteristik Kebijakan/ undang-undang (ability of statute to structure implementation)
- Variabel Lingkungan (non statutory variables affecting implementation)
Model selanjutnya adalah Model Brian W. Hogwood dan Lewis A. Gunn
untuk dapat mengimplementasikan kebijakan secara sempurna, maka
diperlukan beberapa persayaratan tertentu. Untuk penjelasan
syarat-syarat ini, penulis sengaja jelaskan cukup panjang karena menilai
variabel yang mereka jelaskan lebih beragam daripada variabel yang
dijelaskan tokoh-tokoh lainnya.
Syarat pertama adalah kondisi eksternal yang dihadapi oleh
badan/instansi pelaksana tidak akan menimbulkan gangguan/kendala yang
serius. Karena biasanya kendala yang muncul pada prosess implementasi
kebijakan seringkali unpredictable dan berada di luar kendali
para administrator, baik yang bersifat fisik maupun politis. Kedua,
untuk pelaksanaan program tersedia waktu dan sumberdaya yang cukup
memadahi. Sejatinya syarat kedua ini sebagian tumpang tindih dengan
syarat pertama di atas, dalam pengertian bahwa kerapkali ia muncul
diantara kendala-kendala yang bersifat eksternal. Kebijakan yang memilki
tingkat kelayakan fisik dan politis tertentu bisa saja tidak berhasil
mencapai tujuan yang diinginkan karena menyangkut kendalan waktu yang
pendek dengan harapan yang terlalu tinggi. Syarat ketiga yaitu
perpaduan sumber-sumber yang diperlukan benar-benar memadahi.
Sumber-sumber yang diperlukan, secara ideal harus dijamin
keberadaannya/persediaannya, namun memang secara praktik tak jarang kita
menemukan ketidak-serentakan persiapan antara sumber yang diperlukan.
Kekurang satu komponen sumber dalam rangkaian totalitas sumber bisa
menjadi kontraproduktif.
Syarat keempat, kebijakan yang akan diimplementasikan
didasari oleh suatu hubungan kausalitas yang andal. Dalam alur berpikir
logis, adalah keharusan untuk menemukan sebab dari suatu permasalahan.
Namun pencarian sebab di sini tak sekedar tampilan permukaan, harus pula
merujuk pada penggalian permasalahan lebih dalam. Bukan satu-dua kasus,
implementasi tampak gagal dilaksanakan, namun ternyata bukan karena
implementasi itu sendiri tapi lantaran konten kebijakan itu sendiri yang
keliru. Syarat kelima hubungan kausalitas bersifat langsung dan hanya sedikit mata rantai penghubungnya.
Syarat keenam hubungan saling ketergantungan harus kecil.
Impelementasi kebijakan dinilai sempurna bila terdapat badan pelaksana
tunggal dan tidak tergantung dengan organisasi lain, karena bila
tergantung dengan instansi lain akan merumitkan alur dan pelaksanaan.
Selanjutnya syarat ketujuh pemahaman yang mendalam dan
kesepakatan terhadap tujuan. Jelas, syarat ini mewajibkan adanya
pemahaman yang kompeherensif terkait konsensus terhadap tujuan yang akan
dicapai dan ‘setia’ terhadap consensus tersebut selama proses
implementasi.
Selanjutnya syarat kedelapan, tugas-tugas diperinci dan
ditempatkan dalam urutan yang tepat. Syarat ini adalah penterjamahan
teknis dari syarat sebelumnya, tujuan harus definitif begitu juga
rincian tugas dan sistematikanya. Syarat kesembilan komunikasi
dan koordinasi yang sempurna. Secara lugas Hood (1976) menjelaskan guna
mencapai implementasi yang sempurna diperlukan suatu sistem satuan
administrasi tunggal sehingga tercipta koordinasi yang baik. Kemudian
syarat kesepuluh atau terakhir, pihak-pihak yang memiliki
wewenang kekuasaan dapat menuntut dan mendapatkan kepatuhan yang
sempurna. Patuh dalam arti ketundukan penuh dan tidak ada penolakan sama
sekali terhadap perintah dalam sistim administrasinya.
Secara implisit syarat-syarat yang dikemukakan oleh Brian W. Hogwood
dan Lewis A. Gunn mengandaikan suatu kondisi implementasi top-down. Ada
kepatuhan yang sempurna, pelaksana tunggal, dll menjadi karakter dalam
gagasannya tersebut.
Puzzle Bottom-Up
Model Bottom-up diprakarsai oleh Michael Lypsky melalui bukunya yang
diterbitkan tahun 1980. Pendekatan Bottom-up merupakan kritik atas
pandangan model Top-down yang menafikan kontribusi peran pelaksana
tingkat bawah (street level beaurocrazy) pada proses implementasi.
Dalam gagasan Lypsky memproblemetisir proses politik tak hanya tidak
berhenti saat kebijakan sudah diputuskan, tapi juga pada saat proses
berlangsungnya kebijakan. ‘Politik’ tetap berlangsung pada street level beaurocrazy yang menentukan tingkat keberhasilan implementasi.
Dengan semangat revolusioner, Lypsky mengutuip diktum Marx ‘Man makes his own history, even though he does not do so under conditions of his own choosing,’ bahwa street level beaurocrazy sejatinya
harus bisa menentukan pilihan-pilihannya sendiri walau dalam kondisi
pressure tertentu. Oleh karena itu, Lypsky menganggap perlu
mempertimbangkan apa yang menjadi aspirasi, tujuan kebutuhan dan
permasalahan-permaslahan yang ditemui para pelaksana. Pernyataan Lypsky
menjadi benar karena apa yang menjadi masalah dalam proses implementasi
bisa tampak berbeda dari perspektif level yang berbeda. Level top,
mungkin karena sudat pandangnya yang makro bisa memiliki pandangan
berbeda dengan para pelaksana di tingkat bawah, oleh karena itu agar
tidak terjadi gap pemahaman, melibatkan aktor-aktor tingkat bawah
dinilai perlu.
Selanjutnya gagasan teori implemetansi yang diulas dalam chapter ini Benny Hejrn, sang ilmuan sosial dari Swedia. Core
pemikirannya tentang impelementasi berorientasi pada bottom-up. Seperti
Wildavsky dan Pressman, ia mengkaji pada interaksi antara organisasi.
Namun ia melakukan kajian tambahan mengindentifikasi jaringan aktor yang
terlibat serta mengidentifikasi tujuan, strategi, dsb. Model
implementasi ini didasarkan kepada jenis kebijakan publik yang mendorong
masyarakat untuk mengerjakan sendiri implementasi kebijakannya atau
masih melibatkan pejabat pemerintah, namun hanya di tataran bawah. Bagi
Hjern implementasi akan efektif bila tanpa ada privilege tertentu bagi
para aktor-aktornya.
Selanjutnya yang ikut dalam perdebatan teori implementasi dua sarjana
asal Inggris, Susan Barrett dan Colin Fudge. Mereka mengkrtik model
top-down yang dianggapnya mendepolitisasi hubungan antara
kebijakan-action. Pandangan mereka menitik beratkan bahwa proses politik
terus terjadi dalam seluruh implementasi, dan oleh karena itu sulit,
menurut mereka, membuat jarak antara pembuatan kebijakan dan
implementasi dalam muatan politisnya. Konsekuensi logis dari pandangan
demikian, mereka menganjurkan model bottom-up.
Namun Barrett dan Fudge berpendapat impelemtasi bukanlah ihwal yang dikompromiskan dengan para policy-maker
pasca impelementasi tersebut diselenggarakan, karena bagi mereka hal
demikian justu merupakan kebijakan yang gagal. Nalar Barrett dan Fudge
yaitu mendahulukan performance daripada conformance (keseuaian), jadi dalam pandangan mereka para impelementor memiliki nilai lebih untuk mengedepankan prestasi terlebih dahulu.
Refleksi Top Down-Bottom Up, Bukan Konfrontatif
Hasil review yang dikemukakan di atas tampil kontradiktif antara
pandangan top down dan bottom up. Nalar model top down dikritik karena
terlalu menitik beratkan pada sudut pandang pembuat kebijakan. Klaim
ilmiah dari pengusung top down ini secara general memiliki maksud
implementasi yang telah dihitung dan dianalisis dengan cermat oleh
pembuat kebijakan atau top leadernya maka kebijakan dengan sendirinya
akan lebih berhasil dalam implementasinya. Jelas pandangan ini
selanjutnya dikritik karena dinilai menafikan peran pelaksana tingkat
bawah yang pada kenyataannya justru lebih banyak berperan.
Kemudian, yang jelas kebijakan pasti akan diimpelementasikan bukan di
ruang hampa. Selalu ada kerumitan dan keunikan tersendiri di setiap
ruang dan waktunya. Maka setiap ruang dan waktu pemerintahan yang
berbeda, akan membawa perbedaan pula dalam cara pemecahan masalahnya.
Begitulah dunia berjalan secara dialektis.
Namun perbedaan pendekatan tersebut sejatinya tak bersifat konforntatif atau vis a vis,
karena bila memahaminya secara dialektis perbedaan tersebut akan
tergantung dari konteks ragam isu-isu kebijakan, atau jenis kebijakan
itu sendiri. Isu atau jenis kebijakan yang berbeda akan memerlukan
perbedaan pendekatan pula. Jadi tidak bisa dipandang secara
deterministik dalam salah satu perspektif. Belum lagi perbedaan yang
menyangkut hal-hal bersifat ekonomi-politik, kultural, dan sosial akan
menemui perbedaan pendekatan yang lebih rumit lagi.
Referensi Tambahan
Hood, C.C. (1976) The Limits of Administration. London: John Wiley
0 komentar:
Posting Komentar