Membangun Koperasi Progresif: Diskusi Imaji dengan Aidit

Oleh : Dodi Faedlulloh

“Apa yang kau tahu tentang koperasi, nak?” tanya seorang lelaki berambut klimis pada saya. Lelaki itu sering dipanggil Amat oleh kawan-kawan dekatnya. Ya, mungkin panggilan tersebut diambil dari kata Ahmad nama aslinya, Ahmad Aidit.

“Koperasi ?

Iya Koperasi” tegasnya kembali.

Sembari sedikit grogi saya pun menjawab pertanyaanya, “Setahu saya koperasi itu kumpulan orang yang bersatu dan bekerjasama secara sukarela serta otonom dalam mencukupi aspirasi sosial, ekonomi dan budaya”.

Jawaban yang cukup baik untuk pemuda seperti mu, nak” ujarnya yang sedikit membuat saya merasa ge-er. “Ya, karena negeri ini memang membutuhkan tenaga dan semangat pemuda sepertimu dan wanita untuk terjun dalam kegiatan koperasi. “

Entah ada angin apa, saya yang dari tadi sore hanya duduk manis sendiri di salah satu cafe yang ada di Purwokerto. Ditemani satu cangkir kopi hitam, lima batang rokok sisa, dan laptop yang sedang dalam posisi online tiba-tiba didatangi sosok yang sering kali saya lihat foto-fotonya terpampang dalam cover-cover buku. “Aidit, iya dia Ahmad Aidit si D.N Aidit itu!” gumanan saya dalam hati. Seorang Ketua Komite Sentral Partai Komunis Indonesia kini tepat berhadapan didepan saya duduk dalam meja yang sama.
“Kenapa kamu jadi diam ?” tanyanya.

“Ah tidak apa-apa Bung”

Saya grogi. Untuk mengurangi kegrogian, saya memutuskan untuk membakar sebatang rokok. Ditemani kepulan asap dan kebetulan diluarpun sedang turun hujan mensugestikan saya agar tidak terlalu merasa deg-degan.

Tanpa dipinta dia memberikan agitasi tentang koperasi dari sudut pandangnya.

“Tidak berbeda dari 47 tahun yang lalu ya. Ada sumber permasalahan yang sama, kapitalisme. Tapi tampaknya sekarang lebih tidak karu-karuan lagi ya nak. Bobrok sekali kondisinya. Rakyat Indonesia saat ini menghendaki perbaikan tingkat hidupnya dan karena itu membutuhkan koperasi sebagai salah satu alat untuk mencapai perbaikan itu. Walaupun demikian kita tidak boleh berilusi, mengira bahwa koperasi di bawah sistem masyarakat sekarang akan dapat mengatasi krisis ekonomi yang terutama menimpa rakyat pekerja.” Jelasnya sambil memesan secangkir kopi kepada seorang pelayan yang lewat.

Kesempatan ini sangat jarang. Jadi saya pun tak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini untuk memburu dia dengan pertanyaan-pertanyaan.

“Lantas sistem seperti apa yang Bung kehendaki ?”

“Begini nak, koperasi dalam naungan kapitalisme dan koperasi yang bersifa sosialis memiliki perbedaan yang signifikan. Perbedaan itu antara lain terlihat dalam hubungan hak milik. Dalam koperasi yang bersifat sosialis, misalnya koperasi produksi pertanian, tanah dan alat-alat produksi lainnya yang pokok adalah milik kolektif, milik dari koperasi yang bersangkutan, keadaan nama tidak mungkin terdapat dalam koperasi dibawah kapitalisme.”

“Dengan kata lain koperasi akan berjalan baik jika sistem masyarakatnya telah menjadi sosialis?” tanya saya penasaran.

“Tunggu dulu nak, janganlah dulu tergesa-gesa. Dengarkan dulu. Pengkoperasian yang tadi saya jelaskan hanya mungkin terjadi jika landreform sudah terlaksana. Usaha inipun perlu dilakukan bertingkat-tingkat sesuai dengan tingkat kesadaran kaum tani, dan harus atas dasar sukarela, tidak boleh dipaksakan. Tingkat pertama, misalnya, dibentuk dikalangan kaum tani organisasi saling membantu dalam produksi pertanian. Organisasi ini sudah mengandung bibit-bibit sosialisme. Tingkat kedua, di organisasi koperasi produksi pertanian yang bersifat setengah sosialis, yaitu koperasi pertanian tingkat rendah, tanah dimasukkan sebagai saham, karena tanah dan alat-alat produksi lainnya masih merupakan milik perorangan. Tingkat ketiga, ialah dibentuknya koperasi tingkat tinggi yang bersifat sosialis, di mana tanah dan alat-alat produksi lainnya yang pokok sudah diubah dari milik perseorangan menjadi milik kolektif.”

Seorang pelayan datang membawa pesanan: secangkir kopi hitam yang sama dengan yang saya pesan sebelumnya. Sedikit jeda, pembicaraan pun berlanjut.

“Begini, dulu tahun 1963 saya pernah menawarkan sebuah arahan gertakan koperasi, yakni koperasi progressif. Yaitu kita harus mampu menjaga dan mencegah supaya koperasi itu tidak berkembang menjadi badan-badan kapitalis yang digunakan oleh kaum kapitalis, tani kaya atau tuan tanah untuk menghisap rakyat pekerja.”

“Jelasnya seperti apa Bung ?

“Koperasi progresif haruslah bisa menjadi senjata ditangan rakyat pekerja untuk melawan penghisapan tanah, lintah darat dan kapitalis. Dengan melihat kondisi masyarakat saat itu, syarat-syarat untuk menuju sosialis pun belum tercapai maka arahan saya untuk membangun koperasi yang mana harus menghilangkan dua kecendrungan: kiri dan kanan.”

“Dengan begitu bukankah semakin bias dan tidak jelas arahan koperasi itu mau kemana?” Tanya saya.

Jeda. Dia pun mengambil rokok dari sakunya, lalu diapun tersenyum dan balik bertanya.

“Menurutmu bagaimana nak ?”

“Maaf saya tidak tahu, saya tidak begitu mengetahui persis kondisi objektif Indonesia tahun 60-an. Walaupun saya agak sedikit meyakinkan diri kalau Bung aidit punya argumen yang kuat mengapa memilih gerakan koperasi tersebut.”

“Kamu sudah sedikit menjawabnya nak. Pada saat itu adalah yang mana pembangunan ekonomi merupakan pembangunan masa peralihan. Bukan peralihan menuju sosialisme karena masih hadir ekonomi imperialis dan ekonomi feodal di Indonesia. Peralihan di sini artinya peralihan dari ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional, peralihan untuk menuju suatu susunan ekonomi yang nasional demokratis, bebas dari imperialism dan sisa-sisa feodalisme. Kemudian koperasi di Indonesia masa itu bergerak di tengah-tengah struktur kemodalan dimana terdapat ekonomi sektor swasta nasional dan ekonomi sektor swasta asing monopoli serta ekonomi feodal di desa. Karena itu tidak heran jika kehidupan gerakan koperasi saat itu dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan daripada struktur kemodalan ini.”

“Relevankah dengan kondisi Indonesia saat ini?”

“Kalau itu tampaknya kamu sendiri yang akan lebih mengerti,” jawabnya sambil meminum kopi hitam pesanannya.

Beberapa detik jeda. Saya pun ikut meminum si kopi hitam itu, sekedar penghangat karena di luar hujan masih turun lebat. Lirik kiri-lirik kanan, melihat meja-meja lain dan orang-orang yang sedang asyik dengan aktifitasnya sendiri. Beberapa detik pula saya sempat menikmati hembusan angin dari luar, namun jadi tak terlalu merasa dingin karena ada penghangat: diskusi dan kopi.

Saya pun kembali membakar rokok yang kini tersisa empat batang. Saya pun memberanikan diri untuk mengawali pembicaraan pasca jeda tadi.

“Hmmm, anu... Bung. Melihat frame ideologi dan afiliasimu Bung Aidit, saya ada sedikit kekhawatiran. Arahanmu bila setelah koperasi progresif tercipta, karena ini progresif maka tujuannya pun berkembang dan adalah lagi-lagi menuju masyarakat sosialistik ataupun mungkin komunistik ”

“Namun saya belum berkata demikian, bukan?” Aidit menanggapi sembari tersenyum.

“Bukan seperti itu juga bung, ada yang bisa kita tarik dari pengalaman koperasi-koperasi di Uni-Soviet. Setidaknya ada tiga model koperasi di sana: pertama koperasi yang tidak peduli sama sekali dengan politik, kedua dalam koperasi posisi netral dan yang terakhir koperasi yang turut aktif dalam gerakan koperasi. Dari ketiga model tersebut mau-tidak mau tetap secara ideologi harus menggabungkan diri dan berintegrasi dengan gerakan partai komunikasi di sana. Dengan kata lain koperasi di sana hanya dijadikan alat negara atau alat partai untuk mencapai masyarakat komunis. Ya, hanya alat”

“Lantas salahnya apa nak?” tanyanya.

“Kamu tahu sejarah tentang lahirnya koperasi modern, dan tujuannya seperti apa? Tanya Aidit lagi.

“Ya kurang lebih tahu, sekitar tahun 1880-an. Akibat dampak revolusi industri terjadilah kesenjangan kelas antara kaum borjuis dan buruh yang kemudian mengisnpirasi para buruh untuk berkumpul dan berserikat dan mendirikan koperasi tersebut. Secara tidak langsung pakem koperasi-pun sama yaitu melawan kapitalisme.”

“Sosialisme pun semulya itu bukan nak?”

Tapi permasalahannya jika koperasi hanya dijadikan alat negara saja, ini sama sekali tidak akan bisa mengembangkan koperasi. Di Indonesia, eksistensi koperasi pun demikian. Ketika rezim Soeharto, karena hanya jadi alat untuk citra, parahnya koperasi malah berhasil dikerdilkan. Undang-undang yang dibuat negara tentang koperasi pun keliru besar. Warisan-warisan orde baru terkait koperasipun sampai detik ini tidak berubah.”

“Tapi itu karena tindakan rezim bukan? Seperti halnya dulu muncul elemen kapitalis dengan bersemboyan ‘untuk sosialisme Indonesia’ yang kemudian menyelundup kedalam gerakan koperasi, berjubah koperasi , menjalankan praktek-praktek kapitalis atas nama koperasi, atas nama anggota-anggota koperasi yang terdiri daripada rakyat pekerja. “ Tambah Aidit.

“Terlepas dari itu bung, ini berhubungan dengan prinsisip koperasi itu sendiri. Menjadikan koperasi sebangai alat justru tidak sesuai dengan prinsif koperasi: Otonomitas dan kebebasan. Koperasi pada hakikatnya dikendalakian secara demokrasi dan otonom oleh anggotanya. Intervensi berlebih dari negara /pemerintah justru bisa melemahkan koperasi itu sendiri.”

“Jadi koperasimu, koperasi anti negara?” tanya Aidit sambil membakar rokoknya yang kedua.

Saya tidak langsung menjawabnya. Saya sedikit mengatur nafas. Maklum saya cendrung termasuk mahasiswa ababil yang ketika dalam posisi onfire bisa meledak-meledak begitu saja. Saya malah sempat meng-klik mouse untuk mengupdate status di akun facebook dan twitter saya: “Diskusi Koperasi dengan D.N Aidit”.

Setelah konsentrasi kembali terkumpul saya pun muali menjawab pertanyaan tadi.

“Koperasi sama sekali tidak bermusuhan dengan negara, namun rezimnya bisa jadi. Bagaimanapun koperasi memerlukan peran nagara untuk melakukan affirmative actions for cooperative. Apalagi dalam konteks kekinian, ketika arus kapital begitu kuat, koperasi di Indonesia yang masih mungil tentu akan mudal dicaplok oleh sang pemilik modal-modal besar. Dosa besar yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia saat ini justru malah memfasilitasi terjadinya pencaplokan-pencaplokan tersebut melalui berbagai imprealisme kebijakan dan undang-undang ataupun sikap acuh tak acuhnya. Pemerintah harus turun membantu namun tetap dalam bingkaian otonomi koperasi. Tidak campur tangan tapi ulur tangan”

Saya pun memberi contoh praktika koperasi di negara-negara Skandinavia yang tumbuh besar dan sehat tanpa adanya intervensi pemerintah semacam pendirian organ tunggal koperasi atau menteri koperasi. Seperti di Norwegia, Denmark dan Swedia yang mana di sana kapitalisme memang masih bebas bergerak namun koperasi-koperasinya memiliki akar yang kuat, sebagai tradisi berekonomi masyarakat. Contohnya Denmark yang termasuk dalam deretan negara memberlakukan sistem ekonomi paling liberal di dunia. Namun, masyarakat negeri ini memiliki tradisi kuat dalam mengorganisasikan diri untuk kegiatan ekonomi, yang kelak menjadi landasan kuat bagi tumbuhnya koperasi pada 1800-an.

Saya paham dengan cara berpikirmu tentang koperasi,” ujarnya kepada saya.

“Selain itu, jika kamu ingin benar-benar jadi pegiat koperasi kamu harus berhati-hati pula. Karena selain hadirnya rezim pemerintah yang tidak pro terhadap perkembangan koperasi. Perlu diwaspadai pula munculnya kalangan oportunis yang mempunyai kepentingan yang berbeda bahkan bertentangan.”

Lalu dia pun bercerita pengalamannnya tentang kemungkinan tersebut.

“Dulu, di kota ini (Purwokerto) berdiri koperasi yang bergerak di bidang kredit. Semua penduduk desa dianggap otomatis jadi anggota koperasi. Untuk modal pertama diambil dari hasil keuntungan penjualan gula distribusi kepada penduduk dan untuk modal tambahan dari uang tabungan para anggota. Golongan yang ber-uang, yaitu tuan tanah, tani kaya, lintah darat, tengkulak, dan orang-orang berada lainnya ‘menabung’ dalam koperasi itu. Setiap anggota boleh meminjam dengan bunga 10% dalam 35 hari, artinya 104% setahun. Pengurus koperasi sebagian besar terdiri dari golongan-golongan pemeras. Terhadap peminjam dari kalangan tani sedang dan tani miskin pengurus bersikap keras, kadang-kadang dengan menggunakan intimidasi. Karena takut kena perkara, banyak peminjam yang menjual rumah, pekarangan dan pohon buah-buahan atau menggadaikan sawahnya dengan harga murah untuk melunasi pinjamannya. Barang-barang itu umumnya jatuh ketangan tuan tanah, tani kaya dan lintah darat yang diantaranya juga menjadi pengurus ‘koperasi’.”

Tak terasa senja pun semakin terbenam. Langit sudah mulai menghitam dan lampu-lampu cafe sudah mulai dinyalakan. Kami pun berhenti dikusi sejenak. Beliau lalu menoleh kanan-kiri memperhatikan sudut ke sudut keadaan cafe tersebut, kemudian berceloteh “Pemuda sekarang pada bergaya keren-keren ya!”.

Hahahahaha” kami tertawa bersama. Suasana kembali cair.

“Saya jadi penasaran. Lantas dengan pemikiran koperasimu, adakah solusi revolusioner yang kau tawarkan sebagai kalangan pemuda tentang koperasi?”

Ditanya demikian saya jadi terbata-bata. Tiba-tiba gagap mendadak. Saya pun hanya mampu bertutur sedikit.

Saya tidak tahu gagasan ini revolusioner atau tidak. Selain beberapa hal yang dikatakan sebelummya. Ada beberapa harapan hasil diskusi dengan para aktivis di gerakan koperasi. Membangun koperasi-koperasi pekerja sebagai realisasi kerja tanpa alienasi, secara struktural agar gerakan koperasi semakin progressif tolak wadah tunggal Dekopin, kemudian bubarkan saja sekalian Kementrian Koperasi dan UKM bila justru nomenklatur ini malah terus mengkerdilakn koperasi, Cabut UU No. 25 tahun 1992 dan pemberlakuan de-fungsionalisasi Koperasi untuk menerapkan prinsip koperasi secara kaffah.”

Cita-cita yang luar biasa dan relevan dengan bentuk perjuangan koperasimu. Eh, kamu mahasiswa kan?” tanya Aidit kembali.

“Iya Bung”

“Jurusan apa ?”

“Ilmu administrasi negara ?”

“Semester ?”

“Semester delapan”

“Sudah ambil skripsi ?”

“Sudah”

“Tema-nya apa ?”

“Social capital dan koperasi”

“Wah, lagi-lagi koperasi ya ? Tapi aneh tubuhmu gemuk nak, jangan-jangan kamu belum berkoperasi dengan kawan-kawanmu,” ujarnya sambil tertawa. Saya cuma tersenyum simpul.

“Sudah sampai mana ?”

“Proposal penelitian pun belum kelar bung” jawab saya sambil cengesan.

“Haha, ayo percepat, kembali ke kota asalmu dan bangunlah koperasi di kotamu itu!”

Suasana jadi benar-benar cair. Hujan pun sudah berhenti turun, musik cafe pun mulai diputar dengan nada-nada minor nan sendu menjadikan suasana romantis, namun sayang dihadapanku kini bukan seorang gadis jelita justru seorang lelaki tokoh besar yang menjadi legenda.

“Diskusi denganmu cukup menarik, mengingatkan saya pada tempo dulu dengan teman seperjuangan. Diskusi ini tampaknya cukup menguras tenaga, membuat saya lapar. Dari tadi kita hanya ditemani oleh kepulan asap rokok, kopi hitam dan mesin ketik modernmu yang sesekali kau lihat layarnya itu. Tak ada salahnya sebelum melanjutkan obrolan ini kita pesan makanan. Kamu saja yang pesan saya tidak tahu menu makanan tahun 2011”

Ajakan ini sulit untuk saya tolak, dan kebetulan saya memang sudah merasa lapar. Lalu saya pun memanggil pelayan dan memesan makanan. []

0 komentar:

 
Creative Commons License
All contens are licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-NoDerivs 3.0 Unported License.

Creative Commons [cc] 2011 Dodi Faedlulloh . Style and Layout by Dodi | Bale Adarma