Mati Gaya

Oleh : Dodi Faedlulloh

Sudah hampir tiga minggu ini saya tidak ditemani sang laptop kesayangan pemberian (hadiah?) dari kakak saya. Tiga minggu yang lalu, tak ada hujan pula tak ada badai laptop saya tiba-tiba rusak, mati total. Masalah ini jadi semakin memprihatinkan karena data-data saya semua tertinggal disana, termasuk data-data untuk proposal penelitan yang akan baru saya garap.

Setelah dikonsultasikan sana-sini, ternyata laptop yang diberikan kakak saya satu tahun yang lalu ini mengalami masalah yang cukup serius. “Motherboardnya kena mas !” ujar salah seorang karyawan disalah satu service laptop centre di Purwokerto menjelaskan akar permasalahan mengapa laptop saya tiba-tiba mati. “Kira-kira berapa mas kalo diganti?”, tanya saya. “Sekitar dua setengah juta mas” jawabnya. Kepala saya pun tertunduk dan terdiam seribu bahasa.

Jasad laptop saya bawa pulang ke Tasik untuk dimakamkan ditempat kelahirannya. Karena hasil dari musyawarah antara kakak-adik yang sama sekali tidak punya kemiripan selayaknya kakak-adik pada umumnya menghasilkan suatu keputusan untuk lebih memilih membeli yang baru daripada menghidupkan (service) kembali laptop tersebut. Dikondisikan dengan kondisi finansial kami pun memilih membeli netbook yang harganya relatif lebih murah sekitar tiga jutaan, ya hampir samalah dengan biaya kalau laptop saya jadi diservis, tapi dengan satu prasyarat : nanti kalau sudah ada rezeki.

Patologi

Mungkin saya termasuk salah satu manusia yang sudah terjebak akan ketergantungan teknologi. Bila diibaratkan sebagian jiwa saya telah pergi pasca kepergian laptop tersebut. Saya belum terbiasa hidup tanpa mesin ketik modern ini.

Ketergantungan akan teknologi telah penyakit psikologis tersendiri bagi masyarakat (post)modern. Seperti yang sedang saya alami sekarang, karena sudah menjadi kebiasaan sulit juga untuk merubahnya. Bukan maksud mendramatisir tapi memang itulah yang terjadi. Ada yang mengganjal kini, biasanya bila setelah seharian beraktifitas diluar, ketika istirahat dikamar kosan si laptop tersebut menemani, setidaknya untuk mendengarkan lagu-lagu, menonton film, atau berselancar didunia maya. Lebih-lebihnya membuat situasi jadi kontraproduktif. Proposal penelitian tidak terjamah, tugas-tugas di kantor jadi molor, laporan magang untuk kegiatan wirausahapun terbengkalai. Termasuk untuk menulis artikel terkait beberapa isu-isu hangat yang terjadi beberapa waktu ini.

Saya menyadari kalau ketidakberadaan laptop bukanlah hal yang prinsipil sebagai pembenaran kalau saya jadi tidak bisa bekerja dan menjadi faktor penghambat untuk menulis. Apalagi empat kawan kosan saya masing-masing memiliki mesin ketik modern yang bisa saja saya pinjam. Agak sedikit lebay mungkin, tapi itulah yang saya alami. Saya memiliki penyakit aneh, yakni tidak bisa bekerja secara total kalau tidak bekerja menggunakan laptop sendiri. Sampai saat ini saya kurang tahu alasannya, sugestikah atau memang justru rasa malas saja. Saya tidak bisa mendefinisikannya.

Diluar itu saya masih mengklaim ketergantungan teknologi saya tidak terlalu akut. Saya hanya jadi sedikit tergantung dengan laptop sendiri, saya pun masih merasa aneh dengan yang rasakan ini. Ketika disodorkan laptop lain saya masih bisa bekerja tapi tidak total. Tapi setidaknya ketergantungan ini tak seperti yang dinyatakan oleh Hikmat Budiman, bahwa ketergantungan akan teknologi tersebut bisa menyebabkan amputasi sosial. Bentuk-bentuk komunikasi tanpa muka dan tanpa keterlibatan fisik dalam budaya simulasi komputer berpotensi besar menyebabkan relasi-relasi sosial yang telah kehilangan banyak afeksi psikologis. Hanya lalu-lintas data digital yang berpindah dari satu tempat ketempat lain tanpa keterhuhubungan yang konkret dengan kehidupan masyarakat (Budiman, 2002 : 96). Saya masih mampu dan mau bersosialisasi dengan lingkungan sekitar. Konteks keresahan saya pun hanya disaat posisi berada di ruang sempit bernama kamar kosan. Hasrat ketika ingin berkontemplasi sendiri, bekerja atau sekedar ingin menulis ini-itu didalam kamar, saya jadi tidak bisa pasca kepergian sang laptop. Tapi toh itupun tidak setiap saat, kalau memang kondisinya benar-benar stuck, saya tinggal membuka pintu kamar kosan dan kembali berinteraksi dengan kawan-kawan kosan atau pergi keluar untuk mencari kegiatan. Karena bagi saya interaksi sosial dan hidup bermasyarakat adalah hal yang penting.

Mati Gaya, kiranya kata tersebutlah yang tepat untuk mendeskripsikan kegiatan saya hari-hari ini ketika dikamar kosan. Jadi merasa kaku sendiri. Tapi untunglah matinya gaya saya tidak seburuk matinya gaya seperti di plot salah satu iklan provider yang jadi bengong tidak karuan. Setidaknya kini sudah ada dua buku baru terbitan resist book yang akan menemani saya berdialetika ketika sedang dikamar kosan. Ah, semoga saja rezeki yang jadi prasayarat itu segera datang agar saya tidak lagi mati gaya. []

Referensi

Budiman, Hikmat. 2002. Lubang Hitam Kebudayaan. Kanisius : Yogyakarta.

1 komentar:

Yudi Darmawan mengatakan...

izin follow gan

 
Creative Commons License
All contens are licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-NoDerivs 3.0 Unported License.

Creative Commons [cc] 2011 Dodi Faedlulloh . Style and Layout by Dodi | Bale Adarma