Menghapus Sikap Nasionalisme Musiman

Oleh : Dodi Faedlulloh

Siapa sih yang tidak tahu Indonesia ? Bangsa besar yang sangat kaya dengan sumber daya alamnya dan mempunyai keanekaragaman budaya yang menjadi ciri khas Indonesia. Dari Sabang sampai Merauke memilik corak masing-masing yang menjadi identitas dan kekuatan budaya Indonesia. Setiap kebudayaan yang dimiliki setiap daerah mempunyai kekuatan masing-masing dan menjadi daya tarik daerah tersebut. Jenis tari-tarian, nyanyian, ataupun juga bahasa disetiap daerah mempunyai karakter tertentu yang bisa dijadikan andalan daerah tersebut. Memang sungguh kaya Indonesia kita tercinta!

Negara Indonesia disatukan atas dasar perbedaan dan keanekaragaman budaya, bahasa, suku, dan agama. Tapi justru dari sana yang semakin membedakan Indonesia dengan negara lain pada umumnya. Indonesia dikenal dengan rakyatnya yang ramah tamah terhadap para pendatang. Murah senyum dan sangat enak untuk diajak bicara itulah juga rakyat Indonesia.


Tapi kini kekuatan dan semangat yang telah dipaparkan oleh penulis dimuka seakan menjadi melemah dan menuju jurang kematian saja. Entah bagaimana awalnya ”tiba-tiba” saja rakyat yang dikenal dengan keramahtamahannya dan rasa mencintai negaranya dengan total berubah menjadi orang-orang yang mudah sekali disulut kemarahan dan ”seakan” tak lagi mencintai perbedaan yang ada di sekelilingnya. Etnosentrisme yang berlebih mungkin, satu suku dengan yang lain saling mengklaim bahwa mereka adalah yang paling baik. Atau ketidakmerataan pembangungan di Indonesia menyebabkan semangat kebangsaan bekurang. Semuanya tersaji dalam satu paket alasan yang tidak bisa dilepaskan satu sama lain.

Rasa nasionalime memudar, semangat bhineka tunggal ika menghilang. Perbedaan yang dulu dianggap sebagai suatu keistimewaan berubah menjadi jurang dan sekat pemisah antara satu golongan dengan golongan yang lain. Perang saudara didalam negeri sudah merupakan bukan hal yang tabu lagi dan menjadi tontonan disetiap berita yang muncul di televisi. Hanya karena berbeda pendapat maka kerusuhan dan pertikaian antara golongan tercipta. Nama dan simbol agamapun berubah menjadi alat perusak. Perbedaan ideologi juga bisa jadi penyebab suatu permasalahan nasional. Ironis memang segala hal dan sekecil apapun permasalahan bisa menjadi sumber perpecahan.

Nasionalisme seolah menjadi kata yang jauh dari pikiran rakyat kita. Nasionalisme kita hanya tak lebih dari berupa kata suka saja terhadap Indonesia tanpa memberikan bukti kalau memang kita itu suka dan sayang kepada bangsanya. Terlalu banyak menuntut menjadi salah satu penyakit kita, minta ini-itu tapi kita sendiri cuma hanya bisa diam . ”Negara kita memang sudah memberi kita apa?”, mungkin itulah pertanyaan yang ada dalam benak kita saat ini sehingga dengan pikiran rasional tertanam dalam hati kita statement untuk apa harus bercape-cape ria bekerja keras untuk Indonesia toh negara juga belum bisa memberi apa-apa ? Tak salah memang bila pertanyaan tersebut muncul dari mulut kita secara sadar karena bila melihat disekliling kita kemiskinan dan kebodohan menjadi pemandangan utama bangsa kita tercinta. Tapi menunggu agar permasalah itu selesai bukanlah jawabannya, kenapa bukan kita sendiri yang merubah dan membuat Indonesia tersayang menjadi lebih baik ? Kita baru boleh menuntut kalau kita sendiri sudah mencoba untuk bergerak.

Sedikit flash back melihat sejarah yang pernah terjadi beberapa puluh tahun yang lalu ketika bangsa kita masih terjajah. Yang mempersatukan Indonesia tiada lain adalah semangat nasionalime itu sendiri. Nasionalisme menjadi suatu ideologi bersama, seluruh lapisan masyarakat waktu itu merasakan hal yang serupa bahwa jalan satu-satunya untuk maraih kemerdekaan adalah nasionalisme. Kalau para pendahulu kita begitu antusiasnya mengedepankan sikap dan semangat nasionalisme kenapa kita saat ini tidak ? Atau kita harus ”dijajah” dulu agar semangat itu kembali muncul ?.

Seharusnya pertanyaan tersebut tidak patut untuk dilontarkan oleh penulis, tapi apa daya dan apa mau dikata karena keadaan memang tampaknya mengarah kesana. Nasionalisme kita saat ini baru muncul dan seakan-akan kembali bersemangat kalau ada satu pihak yang menyerang nama Indonesia. Kita bisa lihat kejadian yang beberapa kali terjadi karena ulah nakal negara tetangga kita. Masyarakat (seolah-olah) bersatu dan berteriak lantang untuk mengatakan ganyang dan hancurkan pihak yang telah mencuri budaya dan asset Indonesia. Pergerakan disana-sini, disemua lokasi di Indonesia melakukan kegiatan hal yang serupa sesuai dengan jalannya masing-masing, ada yang berdemonstrasi, mengkampanyekan anti ini-itulah, berkoar-koar secara online ataupun dengan ulah nakal beberapa pihak dari kita dengan sedikit memberi pelajaran kepada mereka yang ”mengganggu” Indonesia misalnya dengan aksi reaktif dari beberapa kalangan yang melakukan razia warga negara yang telah mencuri budaya kita yang terjadi beberapa waktu lalu atau dengan cara kepintaran para pemuda Indonesia di bidang teknologi untuk menghack beberapa web-web penting yang ada di negara tetangga. Gerakan-gerakan tersebut bisa kita anggap dan kita masukkan dalam kategorikan sebagai sikap nasionalisme. Tapi dari sana satu pertanyaan muncul, apakah sikap nasionalisme tersebut bisa disebut nasionalisme yang sesungguhnya atau justru hanya nasionalisme reaktif saja yang kemudian di waktu yang akan datang semangat itu bisa saja kembali menjadi pudar ?.

Sudah selayaknya dan sangatlah wajar bila kita marah, bahkan penulis pun sempat merasa marah dan kecewa karena kejadian tersebut. Bagaimana tidak marah kekayaan budaya yang seharusnya menjadi sumber penghidupan oleh masyarakat kita diklaim oleh negara lain. Tapi menjadi suatu hal yang tidak bijak bila suatu permasalahn muncul tanpa adanya intropeksi diri. Marilah kita sedikit berkaca diri, apakah sebelum adanya pencurian budaya dan asset-asset lain yang ada di Indonesia, kita sebagai warga Negara Indonesia telah menjaga dan melestarikannya ? Dari yang penulis tahu dan sering lihat di sekeliling dalam kehidupan sehari-hari penulis yang juga masih dikategorikan sebagai pemuda, kini mayoritas sahabat-sahabat remaja di Indonesia lebih cendrung memilih kehidupan ala barat untuk meraih gengsi dan dicap gaul oleh kerabatnya. Tidak sedikit para remaja Indonesia yang merasa malu bila bersentuhan dengan budaya aslinya sendiri. Dan begitu bersemangatnya mengolok-olok bila ada sahabatnya yang lain akan melestarikannya budaya lokalnya. ”Ga gaul banget sih, hari gini masih doyan kaya gituan !”, kurang lebih pernyataan seperti yang muncul untuk melemahkan semangat para remaja aktifis di bidang budaya.

Dengan alasan moderintas, tidak sedikit orang yang tidak lagi mempedulikan budaya lokal Indonesia. Mungkin tak hanya budaya, nilai moral pun juga ikut memudar . Life style barat lebih banyak dipilih, bukan karena selera atau kebutuhan tapi tepatnya karena untuk mengejar gengsi. Ironis memang, bagaimana ”pohon” nasionasilisme akan tumbuh bila akarnya saja kita tidak menanamnya.

Nasionaslime yang ada untuk saat ini penulis melafalkannya sebagai nasionalisme musiman. Tak ada maksud buruk apapun atau berprasangka negatif dari penulis kepada semangat nasionalisme yang telah ada sekarang. Tapi cobalah tengok beberapa waktu lalu sebelum ada pihak yang ”menyerang” Indonesia, apakah ada rasa kebangsaan kita seperti saat ini?. Ibarat sedang musim satu jenis buah disalah satu tempat, misalkan buah mangga di kota A. Bila sudah musimnya buah mangga tersebut mudah dicari dan murah harganya, tapi bila musim itu telah habis masanya dengan otomatis buah tersebut menjadi sulit dicari dan harganya tentu menjadi tambah mahal. Itu juga yang penulis khawatirkan nasionalisme kita seperti nasib musim buah mangga lama kelamaan terkikis dan sulit lagi untuk mendapatkannya, perlu menunggu waktu yang lama agar musim itu datang lagi.

Bukanlah sikap pesimisme dari penulis tentang nasionalisme yang telah ada saat ini tapi penulis hanya bermaksud menegur saja dan sedikit mengingatkan. Masih segar dalam ingatan kita, ketika Indonesia menjadi salah satu tuan rumah Piala Asia 2007, begitu antusiasnya rakyat kita sampai-sampai seluruh suporter di penjuru Indonesia yang asal mulanya adalah pendukung tim kesebelasan daerahnya menuju ke Stadion Utama Senayan dengan tujuan yang sama yaitu mendukung Indonesia. Tak ada lagi perbedaan warna, semua bersepakat untuk menjadi ”merah-putih”. Dukungan yang sangat ruar biasa diberikan oleh para suporter, tak hanya yang ada di Stadion Utama Senayan, diluar stadion pun bersemangat berkumpul untuk mendukung tim merah putih. Memanglah nasionaslime tersebut hanya besifat simbolik semata tapi karena dukungan yang total dari seluruh warga, tim merah putih bisa bermain dengan baik saat melawan kesebelasan-kesebalasan asing.

Setelah Piala Asia usai apa yang terjadi ? Karena “musimnya” sudah berganti para suporter yang baru kemarin bersatu menjadi ”merah-putih” kembali kedaerahnya dan mendukung kesebelasan daerahnya lagi. Semangat kebersamaan yang tampak seperti saat mendukung kesebelasan merah putih itu seolah-olah hilang begitu saja, pertikaan dan kerusuhan antar suporter kembali lagi terjadi. Tak ada lagi kata bersatu dalam benak suporter. Jangan jauh jauh melihat pertikaian antar suporter kesebelasan berbeda pulau dalam satu wilayah saja bila ada perbedaan dalam hal mendukung tim kesebelasan kerusuhan bisa saja tercipta. Sederhananya bagaimana semangat nasionalisme kita bisa muncul, karena hal sepele seperti perbedaan tim kesayangan bisa menghasilkan permusuhan ? Mari kita renungkan !.

Nasionalisme bukanlah suatu faham utopis atau imajinasi kosong yang tak berarti apa-apa. Semangat rasa kebangsaan bisa kita raih dengan tangan kita. Kita harus bisa lebih arif dan bijaksana dalam memandang perbedaan yang ada. Perbedaan justru adalah sebuah anugerah yang sangat indah yang telah diberikan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa kepada kita semua. Alangkah baiknya justru kita harus bisa lebih bersyukur karena kita berbeda karena hal ini bisa dijadikan suatu point yang sangat penting yang dapat dilihat oleh mata internasional. Jangan sampai terlintas dalam hati kita untuk merasa malu dalam melestarikan budaya dan kearifan lokal, karena hal-hal itu adalah ujung tombak yang bisa kita andalkan untuk semakin menguatkan Indonesia. Tak perlu menunggu pihak yang mengusik bila ingin menunjukan sikap nasionaslisme kita, kita bisa menunjukannya setiap hari. Cukup dengan hal yang ringan-ringan saja sebagai langkah awal tapi selama hal tersebut terus berkelanjutan dan dengan tahap yang semakin meningkat tentu rasa kebangsaan itu akan terus berkembang. Contoh kecil dengan mencintai budaya sendiri adalah hal yang lebih bijak daripada sekedar mencaci tanpa pernah mencoba. Akan tetapi jangan pernah sekalipun menganggap budaya lokal dan suku kita sendiri adalah yang paling tinggi karena satu sama lain saling bersinambungan dan terikat, tidak bisa dipisahkan sebagai satu nama budaya Indonesia. Sekali lagi bhineka tunggal ika adalah tujuan kita. Harapan penulis semoga risalah kecil ini tak hanya jadi wacana tapi harus bisa diimplementasikan secara konkret oleh kita semua dan tak ada lagi kata nasionalisme musiman di tanah air kita, nasionaslisme sesungguhnya yang tak kenal tempat dan waktu adalah harapan kita semua.

4 komentar:

Zippy mengatakan...

Hmmm, susah rasanya menarik kembali perhatian masyarakat muda untuk tetap memiliki rasa nasionalisme...
Sepertinya hal seperti tiu emang musiman...
Giliran ada yang tersakiti baru misah misuh...
Hanya panas2 taik ayam :D

Anonim mengatakan...

Perbedaan hanya akan memunculkan dua kemungkinan, yaitu: cekcok dan sinergi.
Jika cekcok menimbulkan masalah besar, tp jika sinergis akan menjadi kekuatan besar.
Maka inilah tugas kita yg sadar akan hal ini untuk membantu mensinergiskan perbedaan2 tsb.
Mari kita sama2 berjuang!!!

Pandu Wicaksono

Anonim mengatakan...

Satuju pisan dod, urang kedah bangga jadi urang indonesia, salah sahiji carana urang jaga kalestarian basa Sunda, hok urang sunda ulah sok isin ngangge basa sunda!

(Sangat Setuju dod, kita harus bangga jadi orang indonesia, salah satu caranya kita jaga kelestarian bahasa sunda, Ayo Orang sunda jangan malu menggunakan bahasa sunda!)

Dan tentunya ini berlaku untuk semua suku,jangan anggap roaming, buruk sangka ato apalah ketika ada teman kita yang menggunakan bahasa daerahnya jika berbicara dengan sesama daerahnya (justru klo sesama daerah, gunakanlah bahasa daerah, biar yang lain daerah jadi belajar bahasa daerah yang lain,.apa susahnya sih belajar dan saling mengajarkan!!..biar lebih yakin: misal kita pergi ke luar negeri,.apa bisa kita larang2 orang2 pake bahasa negaranya masing2 dan harus pake English!! ga kan?!),.tentu kita gunakan bahasa persatuan bahasa indonesia jika antar daerah,.flexibellah,liat situasi,.MERDEKA!!...

Andi Nurdin Khoerulfalah

dallco mengatakan...

yang penting ak cinta indonesia..

 
Creative Commons License
All contens are licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-NoDerivs 3.0 Unported License.

Creative Commons [cc] 2011 Dodi Faedlulloh . Style and Layout by Dodi | Bale Adarma