Makan Siang Buruh

Oleh: Dodi Faedlulloh

Buruh selalu dalam posisi subordinat pada kebijakan yang terkait dengan dirinya sendiri. Terbaru, beberapa serikat buruh di Ibu Kota menolak upah murah rezim gubernur baru. Seperti biasa, janji (kampanye) tinggalah janji. Inilah potret sehari-hari problem laten relasi buruh dengan pemerintah dan perusahaan. Situasi ini kerap tidak berubah. Alhasil, perjuangan buruh tidak bisa lepas dari permasalahan hak-hak normatif mereka.

Hal ini menjadi sebab membicarakan hal ihwal di luar kotak hak normatif menjadi rumit. Padahal, hak normatif merupakan hak dasar buruh dalam relasi kerja yang dilindungi dan dijamin oleh regulasi yang berlaku. Hak normatif tak lain adalah standar minimum, oleh karenanya kehadirannya menjadi prasyarat penting untuk keberlangsungan hidup dan penghidupan buruh. Hak normatif buruh itu sendiri ada yang bersifat ekonomis, politis, medis dan juga sosial. Pada dasarnya hak-hak ini bisa kembali dibedah, digali, dan dicari alternatif-altenatif kritis serta solusi yang bisa ditawarkan berdasarkan pada kondisi objektif.

Menerobos Pakem Pelayanan Publik

Oleh Dodi Faedlulloh
.
BIROKRASI adalah tulang punggung pembangunan. Oleh karena itu, agenda reformasi birokrasi selalu menjadi aktual. Namun sayang, birokrasi di Indonesia selalu tampil sebaliknya. Alih-alih menjadi tulang punggung, malah jadi penghambat. Citra kaku, ribet, lelet, mahal, bahkan korup masih melekat pada wajah birokrasi kita. Hal ini sering kali terjadi karena birokrasi masih dalam posisi pihak yang dilayani, bukan melayani. Oleh karena itu, reformasi birokrasi yang sedang dan terus berjalan ini memiliki tugas untuk mengembalikan inti birokrasi sebagai pelayan publik. Jalan satu-satunya adalah dengan inovasi.

Ada beberapa catatan yang menjadikan inovasi sebagai ihwal penting, di antaranya masih sedikit organisasi publik yang berani keluar dari (manajemen) mainstream dan menciptakan terobosan-terobosan baru. Konsekuensinya, penggunaan teknik manajemen tradisional tersebut justru menggiring organisasi jatuh pada pola rigiditas dan infleksibilitas. Selanjutnya, dampak dari inovasi yang bisa dilihat dan dirasakan secara empiris pada kinerja dan keuntungan organisasi di level bottom line (Farida, 2012). Bila budaya inovasi telah menjadi praktik keseharian secara bottom-up, perubahan yang lebih besar tinggal menunggu waktu.

Setelah May Day dan Agenda ESOP

Oleh: Dodi Faedlulloh

Surat edaran dari Menteri Ketenagakerjaan B.122/M.NAKER/PHIJSK-KKHI/IV/2017 menyambut sebelum pelaksanaan May Day tahun 2017 kemarin. Dengan lembut, Sang Menteri menghimbau kepada seluruh kepala daerah dan kepala dinas ketenagakerjaan di Indonesia untuk “merayakan” May Day kali ini dengan cara kekeluargaan, aman dan harmonis. Rayakanlah May Day secara sejuk karena penyampaian pendapat di muka umum saat hari libur nasional, selain menggangu kepentingan umum, juga melanggar hukum! Perlu diingat, bagi pemerintah, segala permasalahan bisa diselesaikan dengan dialog (tidak perlu aksi).

Selain itu, dalam surat tersebut juga menekankan pekerja/buruh perlu dididik ulang tentang wawasan kebangsaan, nasionalisme dan cinta tanah air. Ya, bisa jadi dihadapan negara, pekerja dianggap belum paham tentang kebangsaan dan semacamnya. Pekerja kerap menjadi benalu dalam agenda pembangunan nasional. Kelas pekerja selalu menjadi biang keladi yang membuat para investor hengkang dari tanah air oleh karenanya buruh laik dicap sebagai pihak yang tidak berjiwa nasionalis.

Apa yang tidak asing dari hal di muka? Pembungkaman! Lagi, bukti Orde Baru ternyata belum mati. Namun hal tersebut tidaklah mengherankan. Tabiat negara memang demikian, selalu berorientasi pada pemuasan hasrat dirinya: pembangunan, stabilitas, infrastruktur, investasi dsb. Sedangkan kesejahteraan dan keadilan sosial hanya menjadi kata-kata yang dipakai sebagai pemanis untuk membingkai hasrat tersebut. At least, digunakan sebagai jargon politik.

Seremonial Ekonomi Kerakyatan Ibu Kota

Oleh: Dodi Faedlulloh

Selain sebagai pusat pemerintahan, Jakarta juga menjadi pusat perekonomian. Peran ganda ini yang membuat kota ini terus diserbu pendatang dari berbagai pelosok negeri ini. Mereka mengadu nasib, tak sedikit yang hanya bermodal nekad. Tak ayal ibu kota semakin padat. Termasuk padat oleh kemiskinan. Merujuk data yang disampaikan BPS DKI Jakarta, sampai bulan Maret 2016 penduduk miskin di Ibu Kota mencapai 384,3 ribu orang (3,75%). Angka ini meningkat dibanding saat bulan September 2015 sebelumnya yang mencapai 3,61%. Bicara tentang kemiskinan memang kurang bijak bila mempermasalahkan hanya di soal angka. Karena kaum pinggiran tidak begitu peduli dengan data, mereka lebih perlu fakta. Fakta tentang apakah kualitas hidup mereka meningkat atau tidak? Data-data yang sering tersaji tentang meningkatknya pertumbuhan ekonomi Jakarta yang konon pada triwulan II tahun 2016 kali ini tumbuh 5,86% belum tentu berjejak dengan realitas penduduk miskin. Terlebih mereka kerap menjadi korban janji-janji politik yang semakin menambah ketidakpercayaan terhadap pemerintah. 

Peran sebagai pusat perekonomian secara tidak langsung menjadikan Jakarta bak cermin bagaimana orientasi pembangunan ekonomi tanah air dikelola. Bila yang pusat melaksanakan dengan suka cita ekonomi pasar, tentu daerah-daerah periferi di Indonesia akan terimbas kebijakan tersebut. Lantas, bagaimana kabar ekonomi kerakyatan?

Menyoal Dana Eksploitasi Lingkungan

Oleh: Dodi Faedlulloh

KETIKA perusahaan melakukan ekspansi dan eksploitasi, maka di balik layar selalu ada dukungan investasi dari lembaga-lembaga keuangan. Sebuah relasi yang “wajar” dan memang begitu adanya sebagai syarat berbisnis yang baik. Ada dana, maka aktivitas bisnis lancar. Wujud tercanggih dari simbiosis mutualisme bagi institusi yang selalu bergairah dalam memperbesar dan memperlancar sirkulasi kapital. Andre Barahamin dalam tulisannya tempo lalu menjabarkan dengan tegas relasi yang kuat mengenai keterlibatan institusi perbankan dalam pengrusakan lingkungan di tanah air. Dukungan pembiayaan melalui institusi perbankan menjadi narasi tersendiri yang perlu diurai.

Tak hanya kasus Kendeng, praktik pengrusakan lingkungan yang dibiayai institusi perbankan kerap terjadi ketika perusahaan mulai menjejakkan kakinya di bumi. Bukan hanya soal semen, ada sawit, reklamasi, tambang, atau bahkan mall-mall dan apartemen megah yang ramai berdiri di beberapa daerah di Indonesia. Hal inilah yang menciptakan getir, di tengah semangat serba-serbi pembangunan dan hegemoni kapitalisme akut, maka kucuran dana perbankan adalah niscaya. Kolaborasi yang hendak sama-sama menuju satu tujuan: akumulasi profit tanpa batas. Kemudian yang menjadi pertanyaan penting, lantas adakah bentuk lembaga keuangan alternatif yang bisa memutus adat istiadat kapitalistik semacam ini? Andre sempat menyinggung soal “ekonomi alternatif” tersebut dengan praktik Credit Union (CU). Karena CU memberi kemungkinan partisipasi masyarakat lebih luas untuk mengendalikan aliran dana para nasabah dibanding bank. Dalam kesempatan ini, saya mencoba memberikan sketsa gagasan tentang membangun lembaga keuangan alternatif tersebut.
 
Creative Commons License
All contens are licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-NoDerivs 3.0 Unported License.

Creative Commons [cc] 2011 Dodi Faedlulloh . Style and Layout by Dodi | Bale Adarma