Oleh: Dodi Faedlulloh
KETIKA perusahaan melakukan ekspansi dan eksploitasi, maka di balik
layar selalu ada dukungan investasi dari lembaga-lembaga keuangan.
Sebuah relasi yang “wajar” dan memang begitu adanya sebagai syarat
berbisnis yang baik. Ada dana, maka aktivitas bisnis lancar. Wujud
tercanggih dari simbiosis mutualisme bagi institusi yang selalu
bergairah dalam memperbesar dan memperlancar sirkulasi kapital. Andre
Barahamin dalam tulisannya
tempo lalu menjabarkan dengan tegas relasi yang kuat mengenai
keterlibatan institusi perbankan dalam pengrusakan lingkungan di tanah
air. Dukungan pembiayaan melalui institusi perbankan menjadi narasi
tersendiri yang perlu diurai.
Tak hanya kasus Kendeng, praktik pengrusakan lingkungan yang dibiayai
institusi perbankan kerap terjadi ketika perusahaan mulai menjejakkan
kakinya di bumi. Bukan hanya soal semen, ada sawit, reklamasi, tambang,
atau bahkan mall-mall dan apartemen megah yang ramai berdiri di beberapa
daerah di Indonesia. Hal inilah yang menciptakan getir, di tengah
semangat serba-serbi pembangunan dan hegemoni kapitalisme akut, maka
kucuran dana perbankan adalah niscaya. Kolaborasi yang hendak sama-sama
menuju satu tujuan: akumulasi profit tanpa batas. Kemudian yang menjadi
pertanyaan penting, lantas adakah bentuk lembaga keuangan alternatif
yang bisa memutus adat istiadat kapitalistik semacam ini? Andre sempat
menyinggung soal “ekonomi alternatif” tersebut dengan praktik Credit
Union (CU). Karena CU memberi kemungkinan partisipasi masyarakat lebih
luas untuk mengendalikan aliran dana para nasabah dibanding bank. Dalam
kesempatan ini, saya mencoba memberikan sketsa gagasan tentang membangun
lembaga keuangan alternatif tersebut.
Lembaga keuangan partisipatif
Bank adalah bank. Kiranya kalimat ini sudah cukup mendeskripsikan.
Mengapa bank mau membiayai perusahaan yang merusak lingkungan? Karena ia
bank. Cukup. Mengharapkan green banking dalam tubuh bank-bank
yang ada saat ini bak mimpi siang bolong. Sebelas-dua belas dengan
cita-cita menunggu revolusi dengan cara bersantai di depan layar laptop.
Sejak tahun 2004 silam, Kementerian Lingkungan Hidup dan Bank Indonesia
sudah menandatangani MoU yang mendorong institusi perbankan menjadi
elemen yang turut serta menjaga lingkungan. Nota kesepahaman tersebut
diperbaharui tahun 2010 untuk penerapan UU No. 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). Tahun 2005 terbit
Peraturan Bank Indonesia No. 7/2/PBI/2005 dalam pasal 11, Bank diminta
memperhatikan komponen upaya debitur dalam memelihara lingkungan hidup.
Tujuh tahun kemudian diperbaharui melalui Peraturan Bank Indonesia
No.14/15/PBI/2012, ihwal pengelolaan lingkungan hidup kembali menjadi
penilaian dalam kredit bank. Sanksi pun sudah disediakan bagi bank yang
menyalurkan kredit terhadap perusahaan yang tidak ramah lingkungan. Tapi
sebagaimana yang kita saksikan sampai saat ini, tak ada best practices bank dalam perlindungan terhadap lingkungan.
Kita sebagai nasabah tidak berdaulat atas uang yang kita simpan.
Semuanya telah diatur oleh bank dan kita dipaksa untuk selalu percaya
atas kehendak baik bank. Sebagain besar nasabah mungkin tidak tahu
uang-uang yang ditanam di bank tersebut digunakan untuk merusak
lingkungan. Antara nasabah dan bank terbangun hubungan yang asimetris.
Inilah relasi konyol yang kerap dianggap sebagai ihwal yang biasa-biasa
saja. Tidak ada demokrasi sama sekali. Padahal kondisi demikian adalah
pintu awal bagi bank melakukan berbagai agenda untuk mewujudkan naiknya
digit profit tanpa harus kulo nuwun kepada para nasabah. Mendanai perusahaan yang merusak lingkungan, selama memiliki prospek bisnis yang bagus, ya jalani saja.
Pembalikkan dari situasi relasi asimetris antara bank dan nasabah
inilah yang perlu dipromosikan secara diskursus dan diprakarsai secara
praktik. Berarti ruang partisipasi dalam aktivitas lembaga keuangan
perlu dibuka selebar-lebarnya. Hal inilah yang sudah mulai dipraktikkan
secara perlahan oleh gerakan CU di Indonesia. Walau masih dalam cakupan
ekonomi mikro, akan tetapi CU mampu menunjukkan capaian secara sistemik
sebagai gerakan yang berangkat dari gerakan grassroot
partisipasi aktif para nasabah/anggotanya. Antitesa yang dilakukan CU
adalah memposisikan nasabah tidak hanya sebagai pengguna tapi juga
sebagai pemilik. Dengan kata lain, CU adalah praktik gerakan koperasi
(kredit) kontemporer. Alih-alih kumpulan uang, CU merupakan kumpulan
orang. Manusialah yang menjadi basis organisasi. Implikasi dari peran
anggota sebagai pemilik, maka para nasabah bisa turut mengendalikan
secara langsung kebijakan aliran uang yang dimandatkan ke CU. Hal inilah
yang minus dalam praktik bank konvensional, baik bank milik pribadi
ataupun bank milik negara.
CU adalah model alternatif dari sistem bank. Sisi kepemilikannya yang
inklusif mampu membuka ruang-ruang yang lebih demokratis dalam
menentukan kebijakan lembaga. Tidak bisa ditentukan secara elitis,
karena dalam CU suara anggota adalah struktur tertinggi dalam
pengambilan kebijakan. Tidak seperti bank yang kerap konsen pada “jual
beli” uang lewat kredit, yang mana saat profit lahir akan kembali kepada
para pemilik yang segelintir pihak saja itu, dalam CU aktivitas kredit
secara inheren di dalamnya melekat pendidikan. Karena CU melakukan
gerakan ekonomi melalui pendidikan, dan melakukan pendidikan melalui
ekonomi. Dari mulai pendidikan keuangan rumah tangga, pendidikan
keuangan anak, pendampingan usaha, pendidikan manajemen, sampai
pendidikan renstra, dsb. Tanpa memandang perbedaan agama, etnis, status
dan berbagai konstruksi sosial lainnya, banyak masyarakat (pinggiran)
setelah menjadi anggota CU menjadi berdaya dalam bidang keuangan
terutama dalam pengelolaannya.
Kemudian, dalam distribusi pendapatan, CU berlandaskan pada pembagian
dividen yang adil sesuai dengan perhitungan balas jasa simpanan dan
pinjaman yang digerakkan sistem perlindungan dana kembali (economic patrone refund)
(Suroto: 2011). Berarti secara sistem (yang humanis), CU berada lebih
depan. Tapi sayangnya hal ini ternyata belum cukup bila dihadapkan
dengan permasalahan lingkungan yang kompleks.
Gagasan nasabah sebagai pemilik pun belum mencukupi bila belum
diiringi dengan “etika bisnis” yang berperspektif ekologis. Karena
kepemilikan nir-perspektif ekologis akan menjadikan koperasi sebagai
konsepsi naif: kumpulan orang berjuang mencari keuntungan. Dengan
sekadar kepemilikan, semua teori dan praktik yang baik, bisa dibajak
oleh pelaku-pelaku di dalam organisasi. Tanpa ada nilai-nilai etis
ekologis yang dijangkarkan dalam aktivitas lembaga keuangan berbasis
kepemilikan oleh nasabah, maka lembaga tersebut akan sama saja dengan
sistem bank umum lainnya.
Rabobank merupakan bank yang berperan penting dalam pendanaan
bahan-bahan pangan dan pertanian di Belanda. Rabobank termasuk bank
terbesar di sana. Awalnya bank ini merupakan inisiasi koperasi kredit
yang dirintis oleh para petani yang kesulitan mendapatkan akses kredit
tahun 1898 silam. Dengan empat prinsip: customer participation, long-term relationship, sustainable society, dan solid basis,
memposisikan Rabobank sebagai bank yang berkelanjutan. Rabobank tidak
mendanai lembaga/perorangan yang mempekerjakan anak-anak, begitu juga
bank tidak mendanai kegiatan yang merusak lingkungan.
Kini Rabobank telah bertranformasi menjadi bank kelas dunia,
jaringannya merambah seluruh dunia, termasuk Indonesia. Karena terbentur
dengan regulasi, Rabobank di Indonesia berbadan hukum Perseroan
Terbatas dan berjalan sebagaimana mestinya bank lainnya. Hal yang
kontradiksi ketika bank ini jauh meninggalkan tempat lahirnya, Rabobank
telah sukses menjadi bagian penyokong dana dan termasuk 10 besar lembaga
keuangan asing yang mendanai perluasan industri sawit di Indonesia.
Salah satu industri yang menjadi andalan untuk mendorong pertumbuhuan
ekonomi, namun justru menjadi ancaman bagi masa depan hutan di Indonesia
karena kerap pengembangan lahan perkebunan kelapa sawit dibangun di
lahan hutan-hutan konversi.
Begitupula beberapa praktik CU di Indonesia. Ada beberapa CU yang
tidak hanya mendanai tapi juga “pemain”, yakni memoderasi para
anggotanya untuk memiliki lahan sawitnya sendiri. Ketika masih banyak
alternatif pertanian yang lebih ramah lingkungan, lalu mengapa CU
memilih sawit? Melalui pertanyan ini layaklah kekhawatiran muncul bila
gerakan CU terjebak pada pragmatisme dengan alasan memoderasi realitas.
Tautologis dengan bank, akhirnya tujuan CU jadi hanyalah uang. Padahal
CU dari awal lahir fokus pada pembangunan kualitas kehidupan manusia,
bukan uang.
Jadi, tantangan dalam gagasan membangun lembaga keuangan yang
partisipatif tetap memposisikannya selalu bersifat politis. Lembaga ini
harus ditarik sampai pada tataran “ideologi” yang mampu memberikan
kerangka analisis tatanan sosial (tentunya juga ekologis) yang menjadi
cita-cita bersama yang demokratis, sehingga kerangka tersebut bisa
diturunkan menjadi langkah-langkah kebijakan, strategi dan taktis yang
koheren agar proyek ini tidak mudah terkooptasi dengan gelombang yang
lebih besar seperti neoliberalisme.
Saat ini sudah mulai ada lembaga-lembaga di berbagai tempat yang
melakukan eksperimentasi dan mempraktikannya, di wilayah-wilayah
Kalimantan, Jawa, Jogjakarta, daerah kecil seperti Purwokerto dsb.,
CU-CU atau koperasi kredit yang tetap setia pada tujuan pembangunan
manusia bukan untuk melakukan kapitalisasi uang, tidak sudi bila uang
yang disimpan nasabah dijadikan alat untuk merusak bumi yang semakin
kritis. Mereka jatuh bangun untuk membalikan opini masyarakat umum yang
selalu memandang koperasi adalah hal yang kerdil. Perjuangan masih
sangat panjang. Semoga semakin besar dan terus berjejaring!***
0 komentar:
Posting Komentar