Oleh Dodi Faedlulloh
.
BIROKRASI adalah tulang
punggung pembangunan. Oleh karena itu, agenda reformasi birokrasi
selalu menjadi aktual. Namun sayang, birokrasi di Indonesia selalu
tampil sebaliknya. Alih-alih menjadi tulang punggung, malah jadi
penghambat. Citra kaku, ribet, lelet, mahal, bahkan korup masih melekat
pada wajah birokrasi kita. Hal ini sering kali terjadi karena birokrasi
masih dalam posisi pihak yang dilayani, bukan melayani. Oleh karena itu,
reformasi birokrasi yang sedang dan terus berjalan ini memiliki tugas
untuk mengembalikan inti birokrasi sebagai pelayan publik. Jalan
satu-satunya adalah dengan inovasi.
Ada beberapa catatan yang menjadikan
inovasi sebagai ihwal penting, di antaranya masih sedikit organisasi
publik yang berani keluar dari (manajemen) mainstream dan menciptakan
terobosan-terobosan baru. Konsekuensinya, penggunaan teknik manajemen
tradisional tersebut justru menggiring organisasi jatuh pada pola
rigiditas dan infleksibilitas. Selanjutnya, dampak dari inovasi yang
bisa dilihat dan dirasakan secara empiris pada kinerja dan keuntungan
organisasi di level bottom line (Farida, 2012). Bila budaya inovasi
telah menjadi praktik keseharian secara bottom-up, perubahan yang lebih
besar tinggal menunggu waktu.
Birokrasi tanpa inovasi ibarat zombi,
organisasi hidup namun tanpa roh. Hanya menjalankan rutinitas tanpa
pembaruan, kerja sebagai penggugur kewajiban, bahkan bisa menjadi benalu
perubahan. Padahal, mendapatkan pelayanan publik yang berkualitas
adalah hak warga negara. Lebih dari itu, warga negara memiliki hak untuk
mendapatkan perlindungan akan hak-haknya, didengar aspirasinya,
sekaligus diapresiasi atas nilai dan preferensinya (Denhart dan Denhart,
2003). Oleh karenanya, inovasi perlu dibangun dan dibudayakan untuk
menerobos pakem-pakem konvensional pelayanan publik yang sudah tidak
adaptif terhadap perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat.
Pada dasarnya, inovasi memiliki
unlimited areas dan dimensi. Perubahan melalui inovasi bisa dilakukan
pada dimensi proses, metode, produk, pelayanan, struktur organisasi,
hubungan, strategi, dan pola pikir (Ancok, 2012). Perubahan juga bisa
diimplementasikan pada dimensi proses, kelembagaan, produk/jasa,
konseptual, teknologi, governance, dan organisasi manajemen (Bekkers,
Edelenbos & Steijn, 2011).
.
Oase Perubahan
Di tengah kondisi birokrasi dan
pelayanan publik di Indonesia yang masih di luar harapan, terdapat oase
transformasi. Terbaru, salah satu inovasi penting yang bisa kita potret
sebagai bukti bahwa inovasi itu nyata dan terlaksana adalah hadirnya mal
pelayanan publik. Mal pelayanan publik merupakan tempat pelayanan
terpadu yang mana semua pengurusan dokumen dan izin dilakukan di satu
tempat. Ketika ada warga yang ingin mengurus administrasi seperti akta
kelahiran dan kematian, KTP, kartu identitas anak, BPJS Kesehatan, BPJS
Ketenagakerjaan, PDAM, pelayanan izin kendaraan di samsat, pembayaran
retribusi daerah, dan bermacam pengurusan izin tidak perlu mondar-mandir
ke banyak tempat. Cukup dilayani di mal tersebut. Pelayanan publik jadi
jauh lebih efisien dan tentunya lebih transparan: mengurangi pungli.
Beberapa daerah yang mulai menerapkan di antaranya Jakarta, Surabaya,
dan Banyuwangi.
Di antara daerah-daerah yang disebut di
atas, yang menarik perhatian adalah Kabupaten Banyuwangi. Dibanding
Jakarta dan Surabaya, Banyuwangi tentu ”hanyalah kota kecil”, tapi
komitmen terhadap inovasi pelayanan publik justru sangat besar.
Selanjutnya, hal yang lebih menarik, hadirnya mal pelayanan publik di
Banyuwangi sebenarnya ”di luar rencana” Kementerian Pendayagunaan
Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB).
Kehadiran mal pelayanan publik adalah
bagian integrasi dari reformasi birokrasi yang dilakukan Banyuwangi.
Dalam beberapa tahun ini, daerah yang berada di ujung Pulau Jawa ini
selalu melakukan ikhtiar dalam pelaksanaan reformasi birokrasi.
.
Sekali Lagi, Komitmen!
Rasa optimisme perubahan perlu dirawat.
Oleh karena itu, kabar baik ini harus diresonansi agar kekuatannya
semakin besar dan menyebar. Di sisi lain, reformasi birokrasi ibarat
perlombaan. Bukan dimaksudkan jadi arena saling mengalahkan, namun
justru dari masing-masing peserta lomba berupaya menggapai finis yang
sama. Dalam hal ini, capaian Banyuwangi bisa menjadi contoh.
Pada dasarnya, tidak ada kewajiban
inovasi itu harus serbabaru. Mal pelayanan publik yang diimplementasikan
Banyuwangi tak lain merupakan hasil adaptasi dari model pelayanan
publik di Azerbaijan dan Georgia. Trik yang digunakan Banyuwangi adalah
amati, tiru, dan modifikasi (ATM).
Yang menjadikan hal itu nyata tak lain,
sekali lagi, adanya komitmen. Dalam paradigma dynamic governance, setiap
proses perubahan memerlukan kapabilitas thinking across, yaitu
kemampuan melakukan benchmarking dan keterbukaan untuk melintas batas
agar dapat belajar dari pengalaman orang lain supaya dapat
memperkenalkan ide dan konsep baru yang kemudian disesuaikan kembali
dengan kondisi domestik (Neo dan Chen, 2007). Kemampuan inilah yang
wajib dimiliki para pemimpin daerah bila kita memang masih mengharapkan
birokrasi menjadi tulang punggung pembangunan.
*) Artikel ini sebelumnya sudah dipublikasikan di Jawa Pos 15/11/2017.
0 komentar:
Posting Komentar