Oleh: Dodi Faedlulloh
Buruh selalu dalam posisi subordinat pada kebijakan yang terkait
dengan dirinya sendiri. Terbaru, beberapa serikat buruh di Ibu Kota
menolak upah murah rezim gubernur baru. Seperti biasa, janji (kampanye)
tinggalah janji. Inilah potret sehari-hari problem laten relasi buruh
dengan pemerintah dan perusahaan. Situasi ini kerap tidak berubah.
Alhasil, perjuangan buruh tidak bisa lepas dari permasalahan hak-hak
normatif mereka.
Hal ini menjadi sebab membicarakan hal ihwal di luar kotak hak
normatif menjadi rumit. Padahal, hak normatif merupakan hak dasar buruh
dalam relasi kerja yang dilindungi dan dijamin oleh regulasi yang
berlaku. Hak normatif tak lain adalah standar minimum, oleh karenanya
kehadirannya menjadi prasyarat penting untuk keberlangsungan hidup dan
penghidupan buruh. Hak normatif buruh itu sendiri ada yang bersifat
ekonomis, politis, medis dan juga sosial. Pada dasarnya hak-hak ini bisa
kembali dibedah, digali, dan dicari alternatif-altenatif kritis serta
solusi yang bisa ditawarkan berdasarkan pada kondisi objektif.
Menyoal hak normatif, salah satu hal yang masih jarang dibahas adalah
fasilitas makan bagi buruh. Memang, regulasi ketenagakerjaan yang
berlaku, Undang-Undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan
Kepmenakartrans No. KEP-102/MEN/VI/2004 Tahun 2004, hanya “mewajibkan”
perusahaan untuk menyediakan makanan bagi pekerja yang lembur dan
pekerja perempuan yang bekerja pada rentang pukul 23.00 sampai dengan
pukul 07.00. Namun tentunya hal tersebut bukanlah batas. Kita bisa
mendorong gagasan-gagasan baru sebagai terobosan, agar tidak terjebak
pada pakem yang sudah menjadi kebiasaan, khususnya tentang fasilitas
makan bagi buruh.
Nasib Proletar Desa
Di luar gedung pabrik, terdapat problem yang juga besar dihadapi oleh
“proletar desa”, yakni para petani kelas gurem. Lahan yang terbatas
karena tanah terus menerus dikuasai segelintir pihak, terdapat 56% aset
berupa properti, tanah, dan perkebunan dikuasai oleh 0,2% penduduk
Indonesia (Kompas, 2016), hasil tani yang dihabisi oleh para mafia
(pemasaran) pangan yang memiliki berbagai fasilitas dan modal yang kuat,
dan problem-problem lain yang terus memukul para petani. Petani tidak
memiliki posisi tawar yang rendah, harga pun dipermainkan.
Salah satu masalah yang kerap dihadapi para petani (kecil) adalah jalur pemasaran yang begitu panjang sehingga cost
yang dikeluarkan pun menjadi besar. Akan tetapi sebaliknya, bagian yang
didapat oleh petani menjadi lebih sedikit. Implikasinya, harga yang
harus dibayar oleh konsumen menjadi lebih tinggi. Padahal, sebagian
(besar) dari konsumen adalah para buruh yang selalu terkena dampak
kebijakan upah murah.
Selain itu, turunan dari problem gap pengetahuan dan informasi yaitu
menyoal “pasar” hasil tani. Petani bisa produksi, tapi tidak mampu
menjualnya. Para petani di desa akhirnya sulit menembus jaringan
pemasaran. Masalah menjadi semakin complicated bila jaringan tersebut telah dikuasi oleh kartel.
Makan (Bergizi) adalah Hak
Secara dialektis, hubungan dari situasi yang dihadapi oleh buruh dan
juga petani ini bisa melahirkan antitesis baru, yakni membuka peluang
untuk membangun ekonomi solidaritas dalam bentuk fasilitas makan hari
kerja bagi para buruh. Dalam hal ini, serikat buruh bisa mendorong
program makan layak dan bergizi bagi buruh di setiap perusahaan,
sehingga, misal fasilitas makan siang, menjadi bagian dari hak normatif
ekonomis bagi buruh.
Hal ini perlu dipertimbangkan sebagai bagian dari perjuangan untuk
mencapai kesejahteraan bersama buruh dan juga petani. Gagasan ini bisa
diuji-cobakan dalam bentuk katering makanan -yang diorganisir secara kolektif tentunya- bagi buruh. Hasil produksi
petani disalurkan dan diolah melalui katering, kemudian didistribusikan
ke setiap perusahaan-perusahaan. Dalam kerangka kerja ini, rantai jalur
pemasaran dipangkas, yakni dari produsen (petani) langsung kepada
pengolah (katering) kemudian konsumen (buruh), sehingga cost
yang dikeluarkan lebih minimal dan petani bisa mendapatkan harga yang
jauh lebih adil karena harga tidak diatur sepihak oleh tengkulak dan
jaringan mafia.
Program makan layak ini menjadi bagian penting dari kesinambungan
produksi pertanian di Indonesia yang selama ini menjadi lubang besar
yang selalu dimanfaatkan oleh mafia pemasaran. Melalui langkah ini,
masalah utama tentang makanan yang bergizi bagi buruh dan “pasar” yang
tetap dan berkelanjutan bagi para petani bisa teratasi.
Ide ini bukan tidak berdasar. Justru relevan dengan konteks perkembangan peradaban kemanusiaan. Hilal Elver (2016),
pakar pangan PBB, mencatat bahwa negara pada dasarnya memiliki
tanggungjawab untuk menjamin setiap warga negara mendapatkan makanan
bergizi. Karena ketersediaan makanan bernutrisi merupakan bagian dari
hak asasi manusia (right to food). Dalam kerangka hak asasi
manusia, negara bertanggungjawab memastikan hadirnya regulasi yang
efektif bagi industri makanan, pembuat kebijakan yang komprehensif yang
bebas dari intervensi swasta, dan melaksanakan kebijakan melawan
kekurangan nutrisi dalam segala bentuk.
Setiap warga negara perlu dijamin memiliki akses terhadap nutrisi
yang cukup. Untuk merespon tujuan ini, perlu koordinasi multi-sektor dan
dialog lintas aktor. Berarti selain negara, hal ini pun menjadi
tanggungjawab perusahaan. Yang tidak kalah penting juga adalah
tanggungjawab organisasi masyarakat sipil itu sendiri, dan tentunya
serikat buruh. Pada konteks ini, program makan layak perlu didorong dan
diperkuat dengan sistem ekonomi politik dan regulasi yang memungkinkan
kondisi ini bisa mewujud: sosialisme dan demokrasi ekonomi.
0 komentar:
Posting Komentar