Oleh: Dodi Faedlulloh
Selain sebagai pusat pemerintahan, Jakarta juga menjadi pusat perekonomian.
Peran ganda ini yang membuat kota ini terus diserbu pendatang dari
berbagai pelosok negeri ini. Mereka mengadu nasib, tak sedikit yang
hanya bermodal nekad. Tak ayal ibu kota semakin padat. Termasuk padat
oleh kemiskinan. Merujuk data yang disampaikan BPS DKI Jakarta, sampai
bulan Maret 2016 penduduk miskin di Ibu Kota mencapai 384,3 ribu orang
(3,75%). Angka ini meningkat dibanding saat bulan September 2015
sebelumnya yang mencapai 3,61%. Bicara tentang kemiskinan memang kurang
bijak bila mempermasalahkan hanya di soal angka. Karena kaum pinggiran
tidak begitu peduli dengan data, mereka lebih perlu fakta. Fakta tentang
apakah kualitas hidup mereka meningkat atau tidak? Data-data yang
sering tersaji tentang meningkatknya pertumbuhan ekonomi Jakarta yang
konon pada triwulan II tahun 2016 kali ini tumbuh 5,86% belum tentu
berjejak dengan realitas penduduk miskin. Terlebih mereka kerap menjadi
korban janji-janji politik yang semakin menambah ketidakpercayaan
terhadap pemerintah.
Peran sebagai pusat perekonomian secara tidak langsung menjadikan
Jakarta bak cermin bagaimana orientasi pembangunan ekonomi tanah air
dikelola. Bila yang pusat melaksanakan dengan suka cita ekonomi pasar,
tentu daerah-daerah periferi di Indonesia akan terimbas kebijakan
tersebut. Lantas, bagaimana kabar ekonomi kerakyatan?
Ekonomi kerakyatan merupakan sistem ekonomi yang berpondasi pada
kekuatan ekonomi rakyat. Dalam sistem ini, rakyat mendapatkan kesempatan
yang luas untuk berpartisipasi aktif dalam menyelenggarakan kegiatan
ekonomi yang berdasar pada asas kekeluargaan, yang mana produksi
dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah pimpinan atau penilikan
anggota masyarakat. Dengan kata lain ekonomi kerakyatan adalah demokrasi
ekonomi. Tujuan dari demokrasi ekonomi adalah meningkatkan dan
memberdayakan kapasitas rakyat dalam mengendalikan jalannya
perekonomian. Berarti dari, oleh dan untuk rakyat. Namun tujuan ini
tampaknya belum bisa tercapai, terbukti dengan data ketimpangan ekonomi
yang dilansir BPS DKI Jakarta tahun 2015 semakin meningkat. Rasio gini
2015 mencapai 0,46, angka ini meningkat dari indeks gini Jakarta tahun
sebelumnya yang tercatat sebesar 0,43. Hal ini menunjukan ada gap yang menganga. Kesenjangan antara orang kaya dan orang miskin di ibu kota semakin melebar.
Ekonomi kerakyatan adalah gagasan yang seusai dengan amanah
konstitusi sebagaimana yang tertuang dalam pasal 27, 28, 31, 33 dan 34
UUD 1945. Tentu, Jakarta sebagai pusat perekonomian seharusnya perlu
tampil terdepan dalam menjalankan roda ekonomi kerakyatan ini, bukan
malah sebaliknya. Hal inilah yang masih menjadi pekerjaan rumah bagi
Pemprov DKI Jakarta.
Menilik Anggaran Ekonomi Kerakyatan
Menyoal ekonomi kerakyatan tidak bisa lepas dari keberpihakan
pemerintah. Dalam hal ini, rakyat memiliki hak untuk melakukan evaluasi
terhadap apa yang telah dan akan dilakukan pemerintah. Salah satu hal
yang bisa disoroti dalam permasalahan ini adalah keberpihakan anggaran
yang dibuat Pemprov DKI Jakarta terkait dengan ekonomi kerakyatan. Kita
bisa melihat sejauh mana Pemprov DKI Jakarta yang pro terhadap ekonomi
kerakyatan berdasarkan pada program-program yang disusun.
Seolah menjadi kekeliruan yang diwarsikan turun menurun, ketika
membahas ekonomi kerakyatan maka entitas ekonomi yang selalu dirujuk
adalah Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) dan Koperasi dalam “satu
paket”. Padahal dua entitas tersebut berbeda. UMKM adalah klasifikasi
yang berdasarkan pada jumlah aset, sedangkan koperasi adalah sistem.
Bila menjelajah makna tentang ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi,
misal dari teks-teks Moh. Hatta, maka entitas yang mendukung dan
memadai atas istilah tersebut adalah koperasi. Hal ini kembali
mengingatkan UUD 1945 sebelum diamandemen yang menjelaskan bahwa ekonomi
yang disusun atas asas kekeluargaan adalah koperasi. Kekeliruan
paradigmatik ini yang kemudian menghasilkan kebijakan yang kadang
tumpang tindih antara UMKM dan koperasi. Begitupula yang terjadi di DKI
Jakarta.
Data koperasi akhir tahun 2015 di DKI Jakarta tercatat sebanyak
8.024 unit. Jumlah yang cukup besar sebenarnya, namun kontribusi
terhadap perekonomian Jakarta tidaklah signifikan. Terkait dengan hal
ini, memang sudah menjadi “permasalahan nasional”. Secara makro, seperti
yang diungkap langsung oleh Menteri Koperasi dan UMKM, Puspayoga,
kontribusi koperasi terhadap PDB hanya 1,7%. Kontribusi yang masih
sangat minim dari yang sering didengungkan sebagai sokoguru ekonomi
Indonesia.
Mencermati data APBD DKI Jakarta tahun 2016, anggaran yang
dialokasikan khusus untuk program pengembangan kelembagaan koperasi
adalah Rp. 3.283.821.180,- (tiga miliar dua ratus delapan puluh tiga
juta delapan ratus dua puluh satu ribu seratus delapan puluh rupiah).
Beda halnya dengan alokasi program pemberdayaan UMKM yang mencapai Rp.
74.578.555.827,- (tujuh puluh empat miliar lima ratus tujuh puluh
delapan juta lima ratus lima puluh lima ribu delapan ratus dua puluh
tujuh rupiah). Berarti anggaran untuk pengembangan koperasi hanya
sekitar 4% dari jumlah anggaran program pemberdayaan UMKM di DKI
Jakarta. Jelas, secara porsi sangat tidak berimbang. Dibandingkan dengan
jumlah APBD DKI Jakarta tahun 2016 yang mencapai Rp. 66,37 triliun,
angka sebesar Rp. 3,2 miliar tentu sangatlah kecil untuk program-program
(yang harusnya) penting untuk keberlanjutan ekonomi kerakyatan di
Jakarta.
Bila kita mengikuti cara pandang pemerintah yang menjadikan UMKM dan
koperasi “satu paket”, ada hal yang menarik untuk dicatat. Dari anggaran
Rp. 74,5 miliar untuk program pemberdayaan UMKM, Pemprov DKI telah
mengalokasikan Rp. 18.122.621.086,- (delapan belas miliar seratus dua
puluh dua juta enam ratus dua puluh satu ribu delapan puluh enam rupiah)
untuk penyelenggaraan berbagai kegiatan event/pameran. Inilah porsi
anggaran yang paling dominan dari program pemberdayaan UMKM.
Menyelenggarakan kegiatan pameran/event tidaklah salah, bahkan
termasuk bagian penting sebagai daya dukung promosi produk-produk UMKM
dan juga koperasi, namun langkah penyelenggaraan pameran akan lebih
ideal bilamana telah memenuhi syarat struktur dalam usaha yang
dijalankan oleh UMKM (dan koperasi) di Jakarta sudah stabil. Ada
loncatan proses yang terjadi dalam proyeksi pengembangan ekonomi
kerakyatan di Jakarta. Inilah problem yang kerap melekat dari cara
pandang birokrasi dalam menyelesaikan permasalahan publik. Pemberdayaan
tidak bisa mencukupi dengan cara melaksanakan berbagai acara seremonial
seperti ajang pameran. Pemerintah patutnya tidak mereduksi fungsi
menjadikan diri hanya sebagai event organizer.
Pemberdayaan adalah proses being, tak bisa dilakukan secara
instan. Butuh kesabaran ekstra untuk mewujudukan rakyat yang berdaya.
Secara prinsip, sistem ekonomi kerakyatan mencita-citakan demikian:
rakyat yang aktif dan berdaya. Namun dalam praktiknya seringkali kita
diperlihatkan kontradiksi. Ekonomi kerakyatan ibu kota masih terjebak
gegap gempita seremonial.
Dari informasi di muka, dapat ditarik benang merah bila nalar
pemberdayaan belum terinternalisasi dalam cara berpikir pemerintah DKI
Jakarta. Oleh karenanya ragam kegiatan pameran yang dilaksanakan
dianggap sudah mencukupi. Dengan kata lain, pemerintah lebih asyik
menghias etalase ekonomi kerakyatan, alih-alih melakukan transformasi
dan reformasi terhadap sistem ekonomi kerakyatan. Hal ini kerap
menghinggapi logika saat birokrasi bekerja. Alih-alih menjadi faktor
pendorong, anggaran justru menjadi sekadar medan pengguguran kewajiban.
Padahal ihwal yang lebih substantif adalah bagaimana pemerintah berpikir
secara imanen dalam laku gerakan koperasi dan ekonomi kerakyatan di
Jakarta. Sehingga memahami benar apa yang menjadi kebutuhan mendasar
untuk kemajuan ekonomi kerakyatan dan mampu menginterpretasikan
kebutuhan tersebut dengan bijak lewat politik anggaran yang berpihak.
Memutus Tradisi Seremonial
Problem yang telah diurai mengemukakan beberapa permasalahan anggaran. Pertama, soal keberpihakan. Pemprov DKI Jakarta belum menunjukan political will
dan komitmen terhadap pengembangan ekonomi kerakyatan. Hal ini
ditunjukan dari alokasi anggaran pengembangan koperasi yang masih minim.
Dengan kata lain, agenda ekonomi kerakyataan dinilai belum (atau tidak)
penting, alhasil tidak menjadi prioritas dalam arah kebijakan besar
Pemprov DKI Jakarta. Padahal Jakarta bisa menjadi garda depan dan
memberikan uswah kepada daerah-daerah lain. Namun yang perlu
ditekankan, menyoal keberpihakan ini lantas tidak bisa dijawab dengan
cara pemerintah memberi bantuan berupa pemberian modal/hibah yang justru
malah bisa mereduksi semangat kemandirian dari ekonomi kerakyatan.
Tentang hal ini, ada pelajaran yang bisa dipetik dari sejarah perkoperasian Indonesia. Ketika koperasi didirikan secara top-down
dan diberikan bantuan modal, seperti KUD, alih-alih berkelanjutan malah
banyak yang matisuri. KUD yang berdiri tidak berjatidiri dan memegang
prinsip-prinsip koperasi. Alhasil KUD hanya mengandalkan kebijakan dan
program pemerintah semata, KUD baru hidup lagi kalau ada “proyek” dari
pemerintah. Karena prosesnya yang top-down, KUD dikuasi oleh
segelintir pengurus saja. Tak heran, dulu ada anekdot di lingkungan
masyarakat yang mengena, KUD disingkat sebagai “Ketua Untung Duluan”.
Kedua, masalah keadilan anggaran. Hal ini merupakan
ilmpilkasi langsung dari persoalan keberpihakan anggaran yang masih
lemah. Komparasi antara alokasi anggaran untuk program pemberdayaan UMKM
bisa mencapai 74,5 miliar, sedangkan anggaran untuk pengembangan
koperasi 3,2 miliar. Hal ini bisa terjadi dimungkinkan, seperti
disinggung sebelumnya, karena kekeliruan paradigmatik pemerintah dalam
memandang ekonomi kerakyatan.
Permasalahan anggaran ketiga adalah soal keterlibatan masyarakat.
Mengambil keputusan dalam penyusunan dan penetapan APBD sebisa mungkin
melibatkan partisipasi aktif dari masyarakat, begitula dalam hal
penentuan anggaran untuk membangun ekonomi kerakyatan. Masyarakat
koperasi, para pedagang di pasar-pasar tradisional, pelaku UMKM di ibu
kota perlu dilibatkan dalam penyusunannya. Bahkan, sebenarnya bukan
hanya pelibatan, tapi juga pemerintah perlu aktif turun dengan hidup
bersama mereka agar memahami realitas dan kebutuhan ekonomi kerakyatan.
Selain permasalahan anggaran di atas, hal yang penting adalah memulai
untuk memutus tradisi memperbanyak program seremonial. Pemprov DKI
Jakarta harus mulai secara serius menyususun anggaran dan kebijakan yang
pro terhadap ekonomi kerakyatan. Alih-alih untuk membiayai kegiatan “event organizer”,
lebih baik anggaran dioptimalkan untuk program-program pendidikan
ekonomi kerakyatan kepada masyarakat. Menciptakan program-program
pemberdayaan dan penguatan kelembagaan ekonomi kolektif untuk mengurangi
kemiskinan dan meretas kesenjangan sosial-ekonomi yang masih tinggi di
Jakarta. Di tengah masifnya pendidikan yang beraroma kapitalisme, maka
pendidikan ekonomi kerakyatan menjadi hal yang tidak bisa ditawar lagi
untuk mengisi ruang pemahaman dan kesadaran bagi rakyat mengenai
pentingnya demokrasi ekonomi; ekonomi yang dibangun dari, oleh dan untuk
rakyat sendiri. Sebagai kota yang berperan menjadi pusat perekonomian,
sudah selayaknya Jakarta berdiri terdepan untuk mempraktikkan sistem
ekonomi yang sehaluan dengan konstitusi dan amanat para pendiri republik
ini, bukan? Semoga. []
0 komentar:
Posting Komentar