Oleh: Dodi Faedlulloh
Surat edaran dari Menteri Ketenagakerjaan
B.122/M.NAKER/PHIJSK-KKHI/IV/2017 menyambut sebelum pelaksanaan May Day
tahun 2017 kemarin. Dengan lembut, Sang Menteri menghimbau kepada
seluruh kepala daerah dan kepala dinas ketenagakerjaan di Indonesia
untuk “merayakan” May Day kali ini dengan cara kekeluargaan, aman dan
harmonis. Rayakanlah May Day secara sejuk karena penyampaian pendapat di
muka umum saat hari libur nasional, selain menggangu kepentingan umum,
juga melanggar hukum! Perlu diingat, bagi pemerintah, segala
permasalahan bisa diselesaikan dengan dialog (tidak perlu aksi).
Selain itu, dalam surat tersebut juga menekankan pekerja/buruh perlu
dididik ulang tentang wawasan kebangsaan, nasionalisme dan cinta tanah
air. Ya, bisa jadi dihadapan negara, pekerja dianggap belum paham
tentang kebangsaan dan semacamnya. Pekerja kerap menjadi benalu dalam
agenda pembangunan nasional. Kelas pekerja selalu menjadi biang keladi
yang membuat para investor hengkang dari tanah air oleh karenanya buruh
laik dicap sebagai pihak yang tidak berjiwa nasionalis.
Apa yang tidak asing dari hal di muka? Pembungkaman! Lagi, bukti Orde Baru ternyata belum mati. Namun hal tersebut tidaklah mengherankan. Tabiat negara memang demikian, selalu berorientasi pada pemuasan hasrat dirinya: pembangunan, stabilitas, infrastruktur, investasi dsb. Sedangkan kesejahteraan dan keadilan sosial hanya menjadi kata-kata yang dipakai sebagai pemanis untuk membingkai hasrat tersebut. At least, digunakan sebagai jargon politik.
Kenyataannya, deretan masalah tetap dialami, bahkan memperburuk
kondisi kelas pekerja di Indonesia. Mulai dari PHK, sistem kerja
kontrak, sistem outsourcing, pemberangusan serikat pekerja, dan juga
politik upah murah tetap merajalela. Sialnya, kerangka kerja demikian
selalu berulang. Begitupula dalam konteks surat edaran tersebut, tak
lain adalah pengulangan kerja politik intervensi terhadap kebebasan
berpendapat yang sudah berlangsung jauh-jauh hari. Saat Orde Baru
berkuasa, melalui hubungan industrial pancasila, pemerintah berhasil
melakukan pembungkaman yang diiringi dengan kekerasan.
Inilah realitas yang menjadi situs perjuangan kelas pekerja di
Indonesia. Situasi demokrasi pun jadi keruh. Kelas pekerja dikondisikan
untuk selalu tampil sopan dan ramah terhadap kapital. Bila ada masalah
antara negara, perusahaan dan buruh maka harus menempuh jalur dialog
agar situasi tetap kondusif. Tapi, dialog tanpa kesetaraan adalah
sia-sia belaka. Inilah yang menjadi salah satu akar masalah, sehingga
hal tersebut terjadi berulang-ulang dan perjuangan tereduksi menjadi
rutinitas yang sudah diketahui hasil akhirnya.
Posisi negara dan perusahaan selalu lebih tinggi mensubordinasi kelas
pekerja. Akhirnya, energi besar yang telah dicurahkan kelas pekerja
hari demi hari dipolitisasi sedemikian rupa sehingga menjebak pekerja
pada isu yang sempit: tak jauh-jauh dari soal upah. Ketika bicara soal
pekerja/buruh maka akan bicara soal upah. Asumsi ini pun mau tidak mau
jadi melekat pada kesadaran masyarakat pada umumnya. Alhasil tuntutan
(politik) pekerja menjadi sebatas kenaikan Upah Minimum
Provinsi/Kabupaten. Dan tidak sedikit kelas pekerja (berikut serikat
pekerjanya) yang malah turut terjebak pada paradigma ini.
Dengan kata lain, jadi sebenarnya yang “memprakarsai” dan “mengatur”
isu pekerja dan juga aksi May Day tak lain adalah hasil jalinan kasih
negara dan perusahaan. Kondisi inilah yang menopang ketimpangan relasi
tersebut. Mau tidak mau, kelas pekerja ikut dalam alur yang sudah dibuat
mereka, walaupun alur tersebut sebenarnya sengaja dibuat menjadi jalan
buntu.
Untuk mendobrak kebuntuan tersebut maka kelas pekerja perlu mengambil
jalan lain. Oleh karenanya kelas pekerja perlu membagi fokus. Bila saat
ini disibukkan dengan perjuangan untuk melindungi dan menjamin hak
pekerja, maka ke depan kelas pekerja perlu juga fokus terhadap agenda
kepemilikan perusahaan oleh pekerja sebagai antitesis dari tatanan
ekonomi yang selama ini eksploitatif yang menjadi basis dari segala
ketimpangan.
Agenda kepemilikan perusahaan oleh pekerja tersebut dapat dipraktikkan melalui ESOP (Employee Share Ownership Plan) sebagai target antara. Bagi
para kritikus bertedensi kiri, tentu akan memproklamirkan gagasan ini
sebagai proyek yang tidak revolusioner karena hanya memberi jatah
sebagian saham kepada pekerja. Dengan kata lai: status quo. Sama sekali tidak merubah tatanan sosial yang ada. Atau yang lebih tendensius; ESOP adalah praktik kolaborasi kelas.
Namun ketidakrevolusioneran tersebut, bagi penulis, justru menanam
bibit kekuatan revolusioner bagi kelas pekerja di masa depan. Toh,
dulu pun perbaikan kondisi kerja dimulai dengan agenda yang tampak
kecil: mengurangi jam kerja. Kemudian seiring waktu, secara dialektis
perubahan dan perbaikan atas kondisi kerja mulai diraih oleh kelas
pekerja. Dari hal yang dinilai tidak mungkin menjadi mungkin dan
benar-benar terlaksana.
Memulai ESOP
Dalam riil politik kita sekarang, dengan dalih pertumbuhan ekonomi
dan pembukaan lapangan pekerjaan, negara selalu cenderung berpihak pada
kepentingan investor/perusahaan dan alfa terhadap potensi kemungkinan
kepemilikan perusahaan langsung oleh pekerja. Secara diskursus, perlu
diakui, ESOP masih sangat jarang menjadi porsi kajian, baik oleh
pemerintah, dunia akademik, maupun dari kalangan kelas pekerja itu
sendiri. Padahal, ESOP memungkinkan hubungan antara pekerja dan
perusahaan menjadi lebih seimbang.
Demokrasi di tempat kerja bisa lebih terbuka karena dua pihak yang
selalu berada dalam posisi dikotomis memiliki status yang sama: pemilik.
Tapi kepemilikan bukanlah tujuan final, tujuan program ESOP yang
penting adalah mendorong keterlibatan dan kontrol langsung oleh pekerja
dan pelaksanaan proses demokratisasi dalam produksi, dan (mulai)
mengikis relasi yang selama ini timpang. Serta secara pragmatis, ESOP
bisa menghadirkan rasa kepemilikan yang genuine, bukan sekadar “sense of belong”
sebagai konsep semu yang kerap didoktrinkan perusahaan kepada setiap
pekerjanya. Rasa kepemilikan ini berimplikasi pada tanggungjawab dan
profesionalitas pekerja.
Untuk menempuh jalur ini, suka tidak suka, (sialnya) masih perlu
dimediasi oleh negara. Tiada lain negara yang sama, yang selama ini
senantiasa lebih berpihak pada kepentingan perusahaan. Akan tetapi,
itulah kondisi objektif yang tidak bisa disangkal. Oleh karenanya kritik
sebagai pintu masuk untuk menembus jalan buntu ini yaitu melalui logika
negara, yakni via kebijakan publik. Hal ini yang masih bisa
diperjuangkan melalui kanal-kanal demokrasi yang masih tersedia.
Kelas pekerja bisa mendorong/memaksa negara untuk menjalankan
regulasi yang berlaku di Indonesia. Di antaranya, Indonesia mengenal
Pasal 33 UUD 1945 yang memberi amanah tentang pentingnya perekonomian
yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan. Bukan
bermaksud beromantisme, namun dalam pasal yang “sosialistik” ini,
menekankan hal yang sangat penting dan mendasar dalam menyoal tatanan
ekonomi di Indonesia.
Dalam konteks perusahaan/pabrik, tidak ada perbedaan dikotomis antara
pekerja dan pemilik modal/perusahaan, oleh karena itu kontrol dan
pelibatan pekerja dalam setiap pengambilan keputusan menjadi agenda yang
tidak bisa dinafikan sebagai manifestasi dari “usaha bersama”. Pada
titik inilah, program ESOP memiliki kapasitas sebagai instrumen
administrasi yang memberi peluang terhadap emansipasi pekerja.
Selanjutnya, ada pasal 4 ayat 2 UU No 21 Tahun 2000 tentang serikat
pekerja yang memberi amanah salah satu fungsi serikat pekerja adalah
untuk memperjuangkan kepemilikan saham di perusahaan. Regulasi inilah
yang bisa digunakan kelas pekerja sebagai acuan guna memperjuangkan
haknya dalam kepemilikan perusahaan.
Melalui kanal demokrasi seperti judical review, kelas
pekerja bisa mengajukan kritik terhadap regulasi yang inkonsisten,
bahkan cendrung deskriminatif terhadap kelas pekerja seperti UU No 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang sama sekali tidak menyatakan
hak kepada pekerja untuk dapat memiliki perusahaan di tempat ia bekerja.
Pada pasal 48 ayat 2 UU No 40 Tahun 2007 yang menjelaskan, “Persyaratan
kepemilikan saham dapat ditetapkan dalam anggaran dasar dengan
memperhatikan persyaratan yang ditetapkan oleh instansi yang berwenang
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” justru
memperkecil kesempatan pekerja untuk memiliki perusahaan. Berdasarkan SK
BAPEPAM LK No KEP-264/BL/2011 kemungkinan pekerja dapat memiliki saham
perusahaan hanya pada perusahaan yang berstatus perusahaan terbuka.
Bila program ESOP ini berhasil dilaksanakan dan diandaikan mampu
melatih kesadaran pekerja secara bertahap tentang pentingnya kepemilikan
kolektif dalam perusahaan, maka tidak menutup kemungkinan akan muncul
terobosan yang lebih progresif: koperasi pekerja. Seratus persen
perusahaan dimiliki oleh para pekerja.
Walau sudah ada himbauan pemerintah untuk tidak melakukan unjuk rasa
saat May Day, seperti yang diketahui bersama, kelas pekerja/buruh di
Indonesia tidak pernah mundur dan akan tetap kokoh pada pendirian untuk
aksi turun ke jalan. Karena May Day bukan hanya soal seremonial. Lebih
dari itu, May Day adalah tentang kemenangan kelas pekerja. Ya, walaupun
ada beberapa tindakan aksi saat May Day kemarin yang sama sekali tidak
mencerminkan tugas demokratis kelas pekerja dengan membakar karangan
bunga di Balai Kota Jakarta.
May Day hanya satu hari. Namun tugas dan perjuangan May Day akan
terus berlanjut. Membuka peluang demokrasi di tempat kerja sudah
selayaknya menjadi bagian tugas dan perjuangan kelas pekerja. Dan ESOP,
seperti yang dijabarkan di muka, memberikan peluang tersebut. Oleh
karenanya sudah saatnya kelas pekerja menuntut “hak pekerja untuk memiliki perusahaan.” []
0 komentar:
Posting Komentar