Masokis

Oleh: Dodi Faedlulloh

Kerja dalam atmosfer kapitalisme adalah alienasi. Detik per detik dan setiap keringat yang keluar adalah eksploitasi karena para pekerja dicuri nilai lebihnya. Tapi alineasi itu bisa menjadi sekedar rasa. Toh, banyak dari pekerja yang turut ikhlas dari memiliki sense of belong yang tinggi terhadap perusahaan. Jadi apapun kerjanya, seberapa lama lemburnya itu hanyalah secercah proses pencarian rezeki. Bagi para sang kritis, inilah yang disebut-sebut sebagai kesadaran palsu. Semangat yang menggebu para pekerja tak lain merupakan bentuk kesadaran yang telah termanipulasi sedemikian rupa.

Bagi orang-orang yang paham dengan hal ikhwal kesadaran palsu ini bila bertemu dengan kerja maka yang tercermin adalah penderitaan. Di balik penderitaan itu kadang ada perlawanan dari pekerja, baik terorganisir maupun sendiri-sendiri, untuk merubah. Merubah dengan menciptakan retakan-retakan kecil sambil berharap ada revolusi tiba.


Tapi kapitalisme tetaplah kapitalisme. Sistem ini memaksa umat yang ada dihadapannya untuk senantiasa tunduk.  Melawan lalu kalah, melawan lagi kalah lagi, semakin melawan semakin kalah. Keterbiasaan kalah bagi pejuang pekerja yang tak militan mendorong untuk pasrah. Bagaimana tidak, tuntutan dapur untuk terus ngebul lebih nyata di depan mata dibanding ekspetasi cahaya perubahan yang belum tentu itu. Inilah permukaan yang terjadi yang disajikan kapitalisme. Kalau sudah begini, hal yang paling berbahaya bisa saja muncul. Penderitaan akhirnya dinikmati.

Hegemoni level dewa terjadi ketika kaum pekerja akhirnya, yang awalnya berapologi, merasakan kesenangan dengan penderitaan dan rasa sakit yang diciptakan kapitalisme. Pekerja menjadi masokis. Apa yang harus dilawan justru dinikmati. Ketika hadir instruksi kerja di luar kewajiban, di luar standar, melebihi energi, atau kerja-kerja tidak wajar hanya direspon dengan gempita tawa. Kadang tertawa sinis, namun tidak menutup kemungkinan bisa tertawa riang altruis. Kapitalisme berhasil menuntut negasi diri, manusia akhirnya bersedia berkorban untuk tujuan-tujuan di luar dirinya. Kesadaran palsu yang disadari dengan cara dinikmati. Hal ini terjadi karena isi kepala pekerja sudah babak belur dipukul paradigma kapitalisme. Yang awalnya berjuang mencari titik kesalahan bergeser menjadi ungkapan “apa salahnya” dari kapitalisme. Gara-gara kognisi dari pekerja yang sudah terpengaruhi, ramalan Marx tentang hancurnya kapitalisme sampai saat ini tidak pernah terjadi.

Untuk mengatasi ketidakberdayaan ini perlu kembali membuka nasihat lama: pekerja harus berserikat. Membangun posisi tawar yang setara ditengah serbuan modal. Walaupun tidak sedikit serikat pekerja yang ada justru berkembang menjadi organisasi yang birokratis yang tak lagi memikirka nasib pekerja, bukan berarti pilihan berjuang dengan berorganisasi adalah keliru. Justru itulah untuk kembali menguji nyali dan komitmen pekerja. Karena konon, umat hanya bisa berubah selama umatnya itu sendiri mau bergerak untuk berubah. Super Man hanya ada dalam cerita, problem kapitalisme tidak bisa dilawan sendiri, berorganisasilah dan melawan bersama!

0 komentar:

 
Creative Commons License
All contens are licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-NoDerivs 3.0 Unported License.

Creative Commons [cc] 2011 Dodi Faedlulloh . Style and Layout by Dodi | Bale Adarma