Bertahan untuk Menyerang

Oleh: Dodi Faedlulloh 

Teks ini bertutur tentang realitas. Bukan diktum idealita dari buku-buku kampus yang berjejal teori A sampai Z. Didengar-dengar ini seakan mirip anekdot, serangan-serangan tempo dulu tak berbunyi nyaring, bahkan tak bisa dibunyikan lagi. Bisa karena baterai sang pengisi energi habis atau memang mesinnya itu sendiri yang sudah rusak bahkan diganti. Dialih-fungsikan tepatnya. Hati untuk berontak menjadi hati yang bersabar.

 Bertemu dengan awak-awak muda memang menyenangkan, karena medan perjuangannya relatif longgar. Bisa kritik ini-itu, gas dan rem kapan saja. Variabel kehidupannya masih terbatas dan kesempatan berpikir cerdasnya masih luas, walaupun memang jumlahnya tidaklah banyak. Karena hari ini sebagian besar dari mereka yang disebut muda-mudi itu lebih memilih hingar bingar, namun mengkritik bukan main kepada rekan-rekannya yang bergulat berani menyerang sistem. Biasa, tradisi kelas menengah ngehe. So ngeritik tapi tidak tahu diri. Saya sering bertemu dengan tipekal demikian, dulu bahkan sampai sekarang, tapi mereka tidak tepat untuk diserang balik, biarkan karena kualitas suaranya tidak signifikan. Ya, walau bila ada kesempatan sesekali memberi irama khutbah tidaklah salah. Ini soal syiar. 


Realitas sudah di hadapan mata, ah tidak secara tak sadar justru perlahan sudah mulai masuk relung-relung dan syaraf kehidupan. Kawan-kawan muda yang masih belum dengan kondisi itu, wajar bila ocehan pedasnya terlontar, justru tidak wajar bila mereka tidak menyumbang kritiknya itu. Kontrakdiksi ini perlu dipikirkan lebih lanjut, harus ada relasi antara yang muda-mudi dan pasca muda-mudi dalam membangun kehidupan bersama. Tidak ada keturputusan. Ini yang perlu dibangun dan dirangkai dengan indah. Kita bisa tengok, bukan satu-dua cerita, sosok muda-mudi yang pemberani dan berkoar tanpa henti habis di tengah jalan saat sudah mulai masuk sistem, sistem busuk.

Lontaran kritik moral yang menyerang individu pun terus disampaikan: dulu ‘idealis’ sekarang kelimis. Bahkan kondisi ini seakan menjadi kesepemahaman. Padahal bila sedikit mencermati, keadaan yang mencipta kondisi para pasca muda-mudi itu adalah muasal dari kekeliruan berpikir ketika masih muda-mudi. Pola berpikir yang menyekat sejarah, pas muda-mudi berkoarlah, setelah itu: “bagaimana nanti!”. Itulah kekeliruan yang seakan terwariskan dari generasi satu ke generasi berikutnya. Dan hampir saja, saya terjebak dengan pola demikian. Semoga kawanan lain sudah mulai ada berpikir ke arah sana. Iya, semoga. 

Di antara kisah pesimis itu perlu ada mimpi baru. Mimpi yang menegasikan lara-lara yang seakan tak ada ujungnya. Benar, kompromisitas dan pragmatisme dalam beberapa hal menjadi pilihan tepat dan cerdas, karena berfungsi sebagai langkah survive; survive hidup dan survive perjuangan untuk tetap on the track. Sang Kiri pernah menggunakan metode dua tahap, koloborasi dengan non-kiri, masuk sistem dan sebagainya. Banyak yang menghujatnya, tapi entah naïf atau bagaimana, sisi refleksi tidak pernah mau dibaca oleh para kritikus. Kritik ya kritik. Selalu begitu. 

Konsistensi tidak bisa dinilai dari ruang mana dan bagaimana seseorang bekerja dan berjuang. Kemarin anti sistem, lusa masuk sistem. Dulu meniti hidup dalam sistem habis-habisan, minggu besok keluar kemudian mencaci-maki. Ya, itu sah-sah saja. Pengalaman transenden dan material orang selalu berbeda-beda. Bahkan bagi saya, niat baik tidak perlu selalu dengan cara yang baik. 

Kita tak hidup di ruang hampa, ada sikut-meyikut, ada konsolidasi, ada perpecahan, ada serangan, selalu ada yang mempengaruhi cita-cita. Bermain cantiklah, imani apa yang kita pikirkan dan selaraskan dengan tindakan itu menjadi kunci. Memang realitas itu berbanding terbalik dan hidup sedang tidak baik-baik saja, tapi tidak juga untuk ditakuti. Memilih bertahan sementara untuk kemudian menyerang balik, kenapa tidak? Memilih mundur satu langkah untuk kemudian berjalan sepuluh langkah lebih cepat atau bahkan berlari, kenapa tidak? 

Sekali lagi, inilah hidup. Carilah celah untuk melakukan perubahan, namun dialektis karena kondisi objektif selalu tak searah. Tidak perlu menghardik mereka yang “berubah”, tidak perlu cela kepada yang bertahan, karena bisa jadi pada titiknya justru mencipta peluang untuk melawan dan menyerang. Teks ini hanya gumanan boleh dicerna, boleh tidak.

2 komentar:

Mas Andes mengatakan...

memang benar adanya kalo hidup ini penuh pilihan. semua orang pasti menginginkan perubahan, tak puas jika masih bertahan dengan keadaan saat ini. namun semua patut di syukuri, dengan keadaan sekarangpun masih alhamdulillah dapat merasakan nikmatnya. tapi manusia masih diberi kesempatan untuk berusaha. selama masih bisa melawan kenapa tidak. hidup seperti orang di perkosa, kalo tidak melawan ya nikmati aja

jelita mengatakan...

semoga berhasil aja ya

 
Creative Commons License
All contens are licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-NoDerivs 3.0 Unported License.

Creative Commons [cc] 2011 Dodi Faedlulloh . Style and Layout by Dodi | Bale Adarma