Oleh: Dodi Faedlulloh
Lebih dari satu setengah abad lalu, Marx menganalisis bahwa keberadaan para pekerja dalam kegiatan produksi industrial berada dalam kondisi terasing. Di bawah kapitalisme, para pekerja mengalami alienasi dari kemanusiaannya, karena dibuat sedemikian rupa bergantung pada para pemilik modal yang memberi mereka upah. Hal ini terjadi akibat dari hilangnya kontrol individu atas kegiatan kreatifnya sendiri dan produksi yang dihasilkannya. Pekerjaan dialami sebagai suatu keharusan untuk sekedar bertahan hidup dan tidak sebagai alat bagi manusia untuk mengembangkan kemampuan kreatifnya.
Lebih dari satu setengah abad lalu, Marx menganalisis bahwa keberadaan para pekerja dalam kegiatan produksi industrial berada dalam kondisi terasing. Di bawah kapitalisme, para pekerja mengalami alienasi dari kemanusiaannya, karena dibuat sedemikian rupa bergantung pada para pemilik modal yang memberi mereka upah. Hal ini terjadi akibat dari hilangnya kontrol individu atas kegiatan kreatifnya sendiri dan produksi yang dihasilkannya. Pekerjaan dialami sebagai suatu keharusan untuk sekedar bertahan hidup dan tidak sebagai alat bagi manusia untuk mengembangkan kemampuan kreatifnya.
Alienasi adalah suatu hubungan yang aneh, ketika bekerja tidak lagi
menjadi sebuah ekspresi dari tujuan hidup, namun kita merasa hubungan
tersebut (seakan-akan) bersifat alamiah. Alienasi dalam pendekatan
dialektis Marx merupakan kontradiksi dari kerja dalam naungan
kapitalisme, namun seiring berjalannya waktu, kapitalisme dengan sangat
cantik terus mengelaborasi cara bagaimana hubungan (alienasi) tersebut
tetap terjaga namun dalam bungkus yang lebih tampak ‘humanis’ tentunya.
Menurut Marx, alienasi akan berakhir bila manusia mampu mengungkapkan
secara utuh kegiatannya untuk diri mereka sendiri, sehingga ekspolitasi
dan penindasan tidak menjangkiti manusia lagi. Marx juga mengingatkan
alienasi tidak bisa dipecahkan hanya dalam pikiran, butuh obat radikal
dengan perubahan sosial yang benar-benar nyata.
Sekarang mari mulai bicara tentang obat tersebut. Jika Marx dulu
pernah berasumsi bahwa pada hakikatnya manusia membutuhkan bekerja
secara kooperatif, dalam kapitalisme, kooperasi (kerjasama) dihancurkan,
manusia dipaksa untuk bekerja bagi kapitalis. Nah, asumsi Marx
tersebut yang kini sedang saya coba bangun kembali, kooperasi dalam
artian koperasi, koperasi yang sering kita dengar (katanya) sebagai
sokoguru ekonomi di Indonesia. Bila pertanyaannya, seradikal itukah
koperasi hingga mampu menjadi obat penawar alienasi, saya jawab ‘iya!’
Dan jawaban lengkapnya adalah koperasi pekerja.
Koperasi Pekerja
Kita analogikan alienasi sebagai penyakit endemik dalam tubuh
kapitalisme. Untuk itu mari kita bawa alienasi ini ke ruang operasi dan
kita bedah bersama unsur-unsurnya. Untuk membedahnya, saya meminjam
penjelasan simple dari Ritzer (2011) yang mengungkapkan (kembali)
unsur-unsur dasar alienasi dalam sistem kapitalisme. Pertama, para pekerja teralienasi dari aktivitas produktif mereka. Kedua, para pekerja teralienasi dari tujuan aktivitas tersebut atau atas apa yang diproduksinya. Ketiga, para pekerja teralienasi dari kegiatan sosial dengan sesamanya. Dan keempat potensi kemanusiaan yang dimiliki oleh setiap pekerja menjadi tidak berarti.
Sebelum memulai pembedahan, saya akan memperkenalkan terlebih dulu
apa itu koperasi pekerja. Sederhananya koperasi pekerja adalah
perusahaan koperasi yang dimiliki dan dikontrol oleh para pekerjanya.
Tujuan utama dari koperasi pekerja adalah menjadikan pekerja-pekerjanya
sebagai anggota. Tiap-tiap anggota memberikan andil terhadap permodalan
perusahaan, dan tiap-tiap anggota, berapapun besarnya andil dalam modal
perusahaan, memiliki hak suara yang sama di dalam perusahaan. Harta
koperasi adalah kepemilikan kolektif dan surplus atau keuntungannya
dialokasikan kepada para pekerjanya, tergantung pada kebijakan yang
diambil oleh koperasi.
Dalam korporasi dikenal istilah one share one vote, semakin besar share saham, semakin tinggilah kedudukan suaranya. Atau dengan kata lain, si orang yang memiliki share
terbanyak inilah yang menjadi sosok kapitalis, dengan segala dalil
kebebasan, seolah-olah orang tersebut menjadi wajar bila berhak
mengkerangkeng para pekerjanya. Intinya, dengan segala kekuatan kapital
yang dimilikinya, semua bisa jadi ‘terserah gue!’.
Beda halnya dalam koperasi pekerja, tiap anggota memiliki satu suara,
berapapun jumlah ‘saham’ yang mereka miliki. Mereka memiliki suara yang
sama di dalam bisnis dan keputusan-keputusan yang diambil di tempat
mereka bekerja sehari-harinya. Para anggota mengkombinasikan
keahlian-keahlian, ketertarikan, dan pengalaman mereka untuk mencapai
tujuan bersama dengan cara menciptakan pekerjaan untuk diri mereka
sendiri, menciptakan demokrasi di tempat kerja.
Selanjutnya mari kita mulai membedah alienasi. Unsur pertama, para
pekerja teralienasi dari aktivitas produktif mereka. Kerja dalam sistem
kapitalisme adalah bekerja untuk kapitalis, yang mana tiap detik orang
yang menjadi bos atau si pemilik share saham bisa berubah-ubah. Hari ini si A, besok si B, lusa ada merger,
akuisisi atau apapun sebagai konsekuensi logis dari sebuah mimpi
bernama persaingan sempurna. Para pekerja bekerja tidak memproduksi
objek-objek berdasarkan ide mereka sendiri, mereka bekerja untuk si
kapitalis yang memberi upah untuk keberlangsungan hidup, tentunya dengan
cara yang diinginkan oleh si kapitalis. Ditambah dengan spesialisasi
dalam pembagian kerja, yang membuat pekerjaan mereka menjadi terasa
tidak terlalu berarti bagi keseluruhan produksi. Akhirnya para pekerja
teralienasi dengan aktivitas produktifnya yang-telah menjadi milik si
kapitalis. Lalu, bagaimana dengan koperasi pekerja? Dalam koperasi
pekerja aktivitas produktif murni adalah milik para pekerjanya, tidak
ada perebutan aktivitas produktif dalam koperasi.
Koperasi adalah kumpulan orang dengan tujuan yang sama, landasannya
adalah sukarela dan terbuka. Jika pekerja cocok dengan jenis kerja,
sesuai dengan kemampuan dan kesukaannya, pekerja secara sadar bisa
bergabung dan ikut berproduksi (dengan catatan rasionalisasi dan
efisiensi jumlah pekerja). Sebagai gerakan otonom, koperasi pekerja
bekerja untuk dirinya sendiri. Ide-ide mereka untuk berinovasi dan
berkreatifitas tidak terkekang oleh si kapitalis, karena dalam koperasi
pekerja, mereka bisa menciptakan perusahaan dan lapangan kerja baru dan
perusahaan itu dimiliki semua anggota/pekerjanya, tidak dimiliki oleh
segelintir orang saja. Dengan kekuatan kolektif dan otonomnya, para
pekerja bekerja memproduksi objek-objek berdasarkan ide-ide mereka
sendiri.
Unsur kedua, teralienasi dari tujuan aktivitas produksi, yaitu
produk. Dalam sistem kapitalisme, produk kerja para pekerja tidak
menjadi milik mereka, melainkan menjadi hak milik pribadi para
kapitalis. Kemudian kapitalis akan menggunakan hak miliknya untuk
menjual produk demi mendapatkan keuntungan. Dari pola ini, adalah sah,
misal, dari setiap produk sepasang sepatu Nike yang seharga satu juta rupiah, si pekerja cukup diberi upah lima ribu rupiah, karena produk sepatu Nike
bukan milik para pekerjanya, tetapi milik si kapitalis. Atau para
pekerja di sebuah pabrik roti yang bisa mati kelaparan, karena tidak
kuat membeli roti yang mereka bikin sendiri. Mereka harus menunggu
gaji/upah dari kapitalis untuk bisa membeli roti yang dibuatnya itu.
Dalam nalar koperasi pekerja, alienasi atas produksi ini diruntuhkan.
Sebagai anggota yang juga pemilik koperasi, si pekerja memiliki secara
utuh apa yang diproduksinya dengan cara mengontrolnya bersama dari mulai
bentuk, kuantitas, distribusi produksi dan sebagainya. Walau dalam epos
hari ini, epos kapitalisme, produk tersebut bisa terpeleset
bertransformasi menjadi komoditas karena ke-nilai tukarannya yang
dipaksa dengan didistribusikan ke pasar. Namun dalam tulisan ini,
penulis tidak akan memperdebatkan itu secara mendalam agar tidak
terjebak menjadi kontra-produktif tentang tawaran gagasan koperasi ini.
Maklum, perlu diakui, orang-orang kiri jarang menyentuh koperasi sebagai
suatu gagasan yang revolusioner. Namun sebagai jawaban sementara, dalam
terminologi gerakan koperasi, pasar yang diperkenalkan adalah fair market
sebagai pewujudan salah satu prinsip koperasi, yakni kerjasama antar
koperasi. Jadi, jejaring dalam gerakan koperasi merupakan jejaring
kerjasama yang tidak dominatif atau ber-ruh kompetisi.
Ketiga, yang menjadi soal adalah para pekerja teralienasi dari
kegiatan sosial dengan sesamanya. Film bernuansa kritik karya Charlie
Chaplin, Modern Time, begitu menggambarkan bagaimana para buruh
pabrik bak robot mekanis yang terus berulang melakukan aktivitas yang
sama. Tak ada komunikasi dan ihwal yang bersifat sosial berlaku dalam
pabrik, karena ngobrol antar pekerja di ruang produksi dianggap
bisa mengurangi produktivitas. Begitulah gambaran mode produksi
kapitalisme bekerja, yang pada intinya, tenaga kerja mengalami proses
alienasi atau keterasingan yang membuat kerja tidak lagi bagian dari
fitrah manusia, melainkan proses rutin yang menjemukan. Seiring dengan
perkembangan jaman, perubahan humanisasi di ruang kerja terus dibangun,
dengan kamuflase bernama profesionalitas dan semacamnya. Namun secara
esensi, jika diperhatikan, sebenarnya tidak ada perubahan. Dalam membaca
ini kita perlu sedikit hati-hati, karena ini bukan perihal teknis
semata tentang kedisiplinan kerja. Dalam diktum-diktum buku manajerial,
tidak sedikit yang membincangkan dengan klaim ‘akademik’ bahwa
kedisiplinan dalam aktivitas kerja itu penting, sehingga akan dianggap
lumrah bila para pekerja dilarang mengobrol ini-itu atau melakukan
sesuatu di luar SOP yang ditentukan. Namun, dalam hal ini, kita perlu
menarik ini lebih jauh lagi agar tidak terkatung di permukaan. Kiranya
kita perlu kembali mengingat, dalam Marxisme pun perlu penelaahan yang
ketat dan disiplin. Dengan kata lain, disiplin adalah bagian dari
Marxisme. Nah, dalam koperasi pekerja, tujuan aktivitas
produksinya merupakan hasil dari semangat kolektifitas serta segala
proses yang berjalan tiada lain merupakan kesepakatan bersama, termasuk
perencanaan dan pelaksanaan aturan-aturan harian dalam berproduksi.
Dalam telaah koperasi pekerja, para pekerja bisa bebas dari
keterasingan. Pasalnya, ketika kedisiplinan muncul sebagai aturan utama
dalam koperasi pekerja, hal itu tiada lain merupakan hasil ekspresi
bersama seluruh anggota. Dalam hal ini, pekerja tidak terlepas dari
ihwal sosialnya, aturan disiplin bukan merupakan dikte si pemilik modal.
Dalam koperasi pekerja, relasi yang terjalin di antara
anggota/pekerja tidak saling mengsubordinasi. Pekerja bekerja untuk
mengekspresikan diri, bukan untuk berkompetisi di antara para pekerja
seperti halnya yang seringkali terjadi di dunia korporasi, dimana si
kapitalis sering mengadu para pekerja agar berlomba untuk menjadi yang
lebih giat, rajin, dan cepat melakukan kerjanya. Belum lagi, hari ini
sistem kerja yang dibangun sangat menguntungkan kapitalis, seperti
hadirnya sistem kerja kontrak dan outsourcing. Si kapitalis
tinggal duduk kalem menonton para pekerja yang secara horizontal
dipertarungkan. Pekerja yang berprestasi dan paling produktif akan
diberi imbalan lebih, sementara yang kalah akan dibinasakan. Koperasi
pekerja adalah pembalikannya. Nilai kerjasama menjadi menu utama dan
keniscayaan dalam koperasi. Soal operasionalisasi nilai ini, koperasi
melangkah lebih maju dibanding dengan teriakan revolusi yang sering kita
dengar di jalan-jalan yang masih abstrak itu. Dalam perjalanannya,
sejak Robert Owen menggagas model koperasi sampai detik ini, koperasi
bisa berjuang dan bertahan hidup dengan caranya. Koperasi tidak mudah
terjebak dalam kata-kata brosur-pamflet yang retorik.
Kapitalisme adalah sistem ekonomi dimana sejumlah besar pekerja
memproduksi komoditas demi keuntungan segelintir kapitalis. Namun
kapitalisme bukan semata sistem ekonomi, yang lebih penting adalah bahwa
ia juga merupakan sistem kekuasaan. Rahasia kapitalisme adalah
kekuatan-kekuatan politis yang telah diubah menjadi relasi-relasi
ekonomi (Wood, 1995). Dalam praktiknya, para kapitalis bisa memaksa dan
sewenang-wenang ‘membunuh’ para pekerjanya dengan ancaman PHK, relokasi
atau menutup pabrik-pabriknya. Dengan kekuasaanya, bukan soal sulit bagi
para kapitalis untuk meruntuhkan potensi kemanusiaan yang dimiliki para
pekerjanya. Inilah persoalan alienasi selanjutnya, para pekerja
teralienasi dari potensi kemanusiaannya sendiri. Dalam kapitalisme
pekerja ditransformasikan menjadi mesin-mesin kerja. Semuanya sudah
diprogram sedemikian rupa termasuk senyum-senyum dan sapa hormat yang
diberikan para pekerja. Kerja sama sekali tidak lagi menjadi ekspresi
manusia, kebebasan manusia sangat terbatas. Terkait problem ini,
koperasi pekerja memiliki prinsip utama berupa sukarela dan terbuka.
Sukarela yakni tanpa paksaan, dan terbuka berarti koperasi senantiasa
wajib bersifat inklusif, beda halnya dengan korporasi yang sangat
ekslusif. Misal, para pekerja di Bakrie Group sama sekali tidak bisa
sekonyong-konyong menjadi pemilik perusahaan. Kesukarelaan dan
keterbukaan menjadi fundamen dalam gerak-gerik koperasi untuk menghargai
esensi kemanusiaan para pekerja. Dalam hal ini, sederhananya pekerja
bisa memilih ruang atau koperasi pekerja mana saja yang bisa menjadi
media aktualisasi dirinya. Orang yang senang A, ia harus menjadi anggota
koperasi A. Yang hobi B, dia harus bergabung dengan koperasi B.
Sedikit penjelasan di muka tentang koperasi pekerja yang ternyata mampu menjadi proyeksi untuk meng-counter
sistem ekonomi yang kapitalistik. Seperti yang dibahasakan sebelumnya,
koperasi bisa menjadi obat yang radikal. Namun, yang jelas perjuangan
ini tidak semudah membalik telapak tangan. Secara diskursus pun,
koperasi masih dipandang sebelah mata, baik oleh orang kiri, aktivis
atau akademisi. Bahkan ada beberapa di antaranya yang merasa alergi.
Apalagi melihat realitasnya, di Indonesia belum ada koperasi yang patut
menjadi contoh konkret. Namun optimisme harus dibangun, koperasi adalah
penciptaan momen dan kita harus setia terhadap momen yang diciptakan.
Koperasi adalah gerakan disiplin diri untuk membangun kesadaran serta
keinsyafan rakyat dan mengoordinasikan sumber daya yang penting untuk
perjuangan.
Marx mungkin bukan anggota koperasi dan tidak pernah memberi
penjelasan tentang koperasi, namun dari pembedahan kontradiksi internal
kapitalismenya, kita bisa menjadi paham syarat pembalikannya, dan
koperasi bisa menjadi anti-tesisnya. Satu lagi, dia pun pernah berseru
’Kaum Buruh Sedunia, Bersatulah!,’ bila begitu kenapa kita tidak sedikit
mengubahnya menjadi: ’Kaum Buruh Sedunia, Berkoperasilah!’***
Tulisan ini sebelumnya telah dipublikasikan di Jurnal Pergerakan Indoprogress
Tulisan ini sebelumnya telah dipublikasikan di Jurnal Pergerakan Indoprogress
1 komentar:
dan lagi-lagi,
kaum buruh dalam posisi terendah dalam pyramid strata,
kadang solidaritas buruh malah digunakan untuk kepentingan politik,
malah kalo udah berhasil naik memimpin buruhnya dilupakan kembali..
fiuh..
Posting Komentar