Merisaukan, entah ada apa dalam kepala. Dari tadi terus berkeliling tanpa teraba dan tertebak apa itu. Bebankah atau semacam rasa bete hinggap di otak. Satu gelas es kopi nan unyu rasa strawberry habis tak bersisa, namun sesak itu masih ada. “Kurang nikotin,” ujar teman saya masuk di mention. Gelisah sih tidak, tapi lelah cukup ada. Perasaan baik saya memberi penjelasan mungkin karena efek bergadang bermain olah jari. Itu yang saya amini 17 jam ini. Makanya hari ini saya memilih berdiam di ruang kosan.
Bete menjadi pengganggu psikologis objektif, berdiri sendiri, seperti yang saya rasa dari seharian ini. Saya sendiri tidak bisa mendefinisikannya itu apa, yang jelas menghantui perasaan dan idea. Mungkin menyebut perasaan ini bête pun bisa saja keliru. Bila bête berelasi dengan kebosanan, atau mungkin malah sisi lain dari bosan itu sendiri, tapi hari ini saya sama sekali tidak merasa bosan. Biasa saja.
Saya membaca acak buku-buku di kamar: Problem Filsafat, Derrida-nya Al Fayadl, Materialisme Dialektis-nya Martin, sampai Kapital jilid satu saya baca acak tanpa arah. Tidak bertujuan untuk tahu, tapi mencari teman saja. Hasilnya lembaran-lembaran yang terbaca nihil. Tidak paham apa yang dibaca. Saya senyum-senyum sendiri, “Saya lagi bego!”
Tiga jam kemudian kopi hitam plus nikotin rekomendasi teman saya itu. Di depan kipas angin, laptop dan mengetik tidak karuan. Apa saja, curhatan mungkin. Produktifitas menulis saya lagi payah, imbasnya menulis pun jadi kaku. Saya hentikan ketikan jari di atas tuts keyboard. Menghela nafas dan bilang, “Ini karena lagi bête mungkin”, khusnodzon atas diri sendiri.
Tiga jam kemudian kopi hitam plus nikotin rekomendasi teman saya itu. Di depan kipas angin, laptop dan mengetik tidak karuan. Apa saja, curhatan mungkin. Produktifitas menulis saya lagi payah, imbasnya menulis pun jadi kaku. Saya hentikan ketikan jari di atas tuts keyboard. Menghela nafas dan bilang, “Ini karena lagi bête mungkin”, khusnodzon atas diri sendiri.
Pekerjaan relatif stabil, kuliah pun belum berjalan ketat. Tapi bête ini hadir dan hinggap di kepala. Jangan-jangan ini cuma sekedar pikiran saya saja. Saya sedang menjadi seorang idealis sekarang. Benak mendefinisikan segala yang ada di hadapan. Dua gelas kopi tadi mungkin bukan bawaan kebutuhan riil saya. Saya hanya mengejar hasrati saja. Sugesti-sugesti menerjemahkan semi-kesadaran saya. Oke, kopi bukan solusi!
Untung saya punya Nokia E63 dan si wireless yang transenden. Klik radio luar negeri, dari tetangga Australia, Inggris sampai USA dengan kategorisasi yang sama: oldies. Bete saya menginstruksikan telinga untuk mendengar dendangan tahun60’, 70’, dan 80’an. Musik yang syahdu yang tanpa saya kenali judul lagu apalagi penyanyinya tersebut menjadi penenang malam iini.
Hakikat manusia adalah bersosial. Pilihan berdiam di ruang kosan tampaknya sedang tidak jadi pilihan bijak untuk hari ini. Malah membawa, yang saya sebut bête itu, ke kepala. Saya keluar sekedar cari angin malam plus makan tentunya. Ternyata benar, bête mulai hilang ketika kaki mulai menginjak di luar. Melihat orang sibuk berlalu-lalang dengan ragam tujuan namun teralokasi di tempat-tempat yang sama. Ah jangan-jangan sebagian dari mereka juga seperti saya tadi: lagi bête. Bete yang tidak tahu bete apa itu. []
2 komentar:
kenapa gak ngumpul2 sama teman gitu mas?
keren nih artikelnya. heee
Posting Komentar