Ini cerita yang sama. Seperti 2-3 tahun lalu, di Bulan
Ramadhan saya selalu menjadi penunggu terakhir di ruang kosan. Tanggal 15
Agustus, H-3 menuju lebaran risalah ini ditulis cuma ditemani gurauan angin dan
buku Penghancuran PKI-nya Olle Tornquist, karena tepat siang tadi dua kawan
kosan terakhir beranjak pergi ke Yogya, bermudik ria.
Ada yang membedakan puasa kali ini; pertama tentu status.
Sudah delapan bulan ini saya meninggalkan kemahasiswaan saya, tapi predikat
anak kosan, atau tepatnya seperti kelakar kawan saya, Wildan, kaum miskin kosan
masih melekat. Beda halnya dengan kakak saya yang jauh lebih sukses, saat
usianya sama dengan usia saya sekarang, sang inspirator ini sudah memiliki
rumah sendiri ditambah sukses menikah di usia muda. Saya masih berdomisil di
Purwokerto, ketika banyak satu generasi saya sudah kembali ke kota asal,
mencari penghidupan di kantor-kantor finansial. Sedang saya masih berbangga
menjadi pengurus di salah satu koperasi di kota satria ini.
Saya masih dalam kos yang sama, yang saya mulai tinggali 3
tahun terakhir ini. Seakan menjadi kebiasan, saya selalu mudik dalam posisi
terjepit, injury time, baik di saat
mahasiswa juga pasca-mahasiswa. Perlu diakui, Purwokerto telah menjadi rumah
kedua bagi saya. Pas bagi saya yang tidak terlalu suka dengan hingar bingar.
Dalam paragraph tiga ini saya ingin mengatakan, selanjutnya bisa-bisa saya juga
akan menjadi penghuni terakhir di kota ini, dengan standarisasi satu angkatan
saya. Ketika yang lain sudah berdasi di kota besar, saya masih bergaya ala
mahasiswa. Makanya saya tidak heran, masih banyak yang mengira saya masih
mahasiswa. Contohnya saat mengisi materi di beberapa acara kalau tidak menaruh
S.Sos di akhir nama banyak yang mengira saya mahasiswa.
Memang ada beberapa rencana yang menjadi alasan saya stay di
Purwokerto. Melanjutkan studi, itu alasan pertama. Sebenarnya per-Bulan
Februari lalu saya sudah diterima di pasca sarjana, tapi ternyata beasiswa yang
diharapkan tidak keluar. Dengan ekspetasi semester berikutnya beasiswa akan ada
lagi. Mengisi waktu saya milih beberapa aktivitas ini-itu. Ya, sekurang-kurangnya
mengisi waktu dan mengisi dompet yang mulai kering.
Juli kemarin, ada berita yang meluluhlantahkan. Semester
depan pun ternyata beasiswa dinyatakan tidak ada. Akhirnya saya memutuskan
untuk memilih jalur regular. Berkonsultasilah saya dengan keluarga, tepatnya
dengan kakak saya. Maklum ayah saya pensiunan jadi untuk membiayai kuliah tentu
agak sulit.
Sekurangnya saat semester empat lalu, melihat antusiasme
akademik saya yang tinggi, kakak pernah menyarankan untuk melanjutkan studi,
soal biaya akan diusahakan. Ya itung-itung menagih janji walau jujur agak malu
juga. Saya daftar, lalu saya test untuk keduakalinya.
Narasi mulai menawan. Rencananya 15 Agustus ini saya mau
mudik ke kota halaman, mengingat sudah ada panggilan-panggilan rutinitas
silaturahmi antar kawan SMA dulu. Empat bukber terakhir saya mengkoordinir,
implikasi dari jabatan ketua kelas yang masih mengakar sampai sekarang, tapi
kali ini dengan ke-so-sibuk-kan saya, saya memilih menjadi follower; saya ikut kapan dan di manapun, yang penting
ngumpul. Tampaknya memang sudah nasib, saya selalu saja menjadi penunggu terakhir. Namun
nasib kali semoga saja berujung senyum.
Kemarin pagi saya mendapat kabar dari Ketua Program, akan ada
lowongan beasiswa lagi untuk semester depan dan bagi yang masih berminat harus
ikut rapat koordinasi tanggal 16 Agustus siang. Oke, mudik tanggal 15
dipending, penguhuni terakhir kembali jadi stempel di jidat. Tapi tentu ini
jadi harapan kembali, semoga saja beasiswa itu benar-benar bisa diakses. Tentu
menunggu 8 bulan yang mengawang-awang itu sungguh menyebalkan, bukan?
Eh ternyata menjadi penghuni terakhir sama sekali tidak buruk.
Dari hasil mem-pending waktu pulang,
saya mendapat dua kabar yang asyik. Pertama fee
dari riset akan cair, kedua ternyata koperasi akan juga membagikan THR. Ah
lumayan, kalau sudah begini saya selalu meng-tweet,”semua selalu ada hikmahnya!” []
0 komentar:
Posting Komentar