Oleh : Dodi Faedlulloh
Sepuluh-duapuluh tahun lalu siapa menyangka akan banyak manusia tergiring ke dalam dunia virtual yang sering kita pantengi setiap harinya, media sosial. Satu demi satu menemukan hipperealitasnya di dunia ini, dengan sukarela menggabungkan diri dan membuka sejernih-jernihnya biodata pribadi. Ruang privat dan ruang publik jadi bias. Ada kalanya kegalauan ditumpahkan secara sengaja dengan tendensi yang pelik, bisa ingin agar diperhatikan orang banyak, bisa pula demi ketentraman hati pasca mencurahkan keluh-kesah. Begitu juga dengan kegembiraan, capaian prestasi, dan segala rupa yang riang diteriakan di laman-laman profile. Entah untuk mencapai joussance atau sharing motivasi, dengan bahasa semacam “nih gue bisa gini, lo bisa ngapain?” atau kata-kata santun nan memikat ala nabi-nabi modern bak Mario Teguh. Tak lupa, yang datar-datar pun dikeluarkan dalam media sosial. Lagi makan, nonton film, kebelet pup pun diketik dan disebar-luaskan.
Di antara sekelumit kehidupan dunia maya, dengan mudah para penduduknya dibawa dalam satu isu tertentu. Bahasa isu mungkin terlalu berat, tapi intinya muncul sebuah topik yang asyik diperdebatkan/dibicarakan/digunjing/dihina/dikritisi oleh para netter, baik yang sengaja dibangun atau tak sengaja asal cuap tapi jadi tren tersendiri. Dengan adanya topik ini, mereka yang belum tahu jadi tahu atau menjadi sok tahu ikut-ikutan membincangkan hal yang sama. Memang wajar, karena dalam kehidupan sehari-hari, pribahasa ada gula ada semut, selalu terjadi begitu saja. Misal ketika sedang dalam perjalanan lalu tidak sengaja kita melihat kumpulan orang ramai di titik tertentu, sekurang-kurangnya ada rasa penasaran yang hadir, ingin ikut melihat ada apa dan mengapanya, tidak jarang kita pun bahkan memberhentikan kendaraan untuk sekedar menengok beberapa detik. Begtu pula dalam lintasan media sosial, ketika ada gula -gula apapun itu- orang-orang sering ingin ikut menuju suatu ranah yang ramai.
Dalam istilah twitter ada trending topics. Trending Topics adalah daftar topik yang paling ramai dibicarakan para pengguna twitter di saat tertentu. Tidak jarang menjadi panutan bagi para pengguna akun twitter dalam proses men-tweet apa hari ini. Biar gaul, update, atau realisasi keisengan belaka, selalu ada alasan untuk menyentuh topik-topik yang ngetrend. Tapi begitulah fungsinya, menderet orang-orang untuk ramai ngobrol asyik yang seragam.
Memang ada kriteria tertentu yang bisa menjadi hal-ihwal jadi trending topic. Tapi beruntunglah jika topik yang sedang ramai adalah seorang figur atau tentang berita positif. Contoh saat ada si artis yang sedang digosipkan, meningkatlah rating si artis itu. Pastinya sungguh sensasi yang luar biasa “berhasil” dibicarakan orang banyak. Tapi menjadi tidak lucu, ketika trending topic yang lagi in justru tentang seorang artis yang sudah tenggalam namanya karena kasus narkoba kemudian mencuat kembali pas dia wafat karena over dosis/bunuh diri atau lainnya. Sarkasnya jadi trend kok pas sudah mati, kemarin-kemarin kemana?
Sisi lain yang menggairahkan bahkan bisa jadi ajakan revolusi berjemaah. Beberapa negara timur-tengah pernah mengalaminya, si trending topic ini jadi salah satu stimulusnya. Di Indonesia pernah ada Indonesia unite, yang sekarang entah kemana. Setidaknya semangat bersatu itu pernah ada cukup lewat via hastags. Ada semangat, tapi semangat yang latah, tanpa pernah diiringi kesadaran yang utuh.
Trending topic telah bertransformasi jadi budaya poppuler, budaya poppuler yang masih terbatas di kalangan penghuni twitland. Dan di sinilah persoalannya, seorang sosiolog, Ben Agger (1992) menjelaskan budaya poppuler adalah budaya yang dibangun berdasarkan kesenangan namun tidak substansial dan mengentaskan orang dari kejenuhan kerja sepanjang hari dan merupakan budaya yang menetes dari atas. Kekhawatiran pun menjadi beralasan, apa yang sering dilakukan banyak orang sekedar menjadi koar-koar sampah. Waktu luang hanya dipenuhi dengan kicauan-kicauan yang tak menentu arah. Akhirnya ada semacam penyeragaman tanpa tuan lewat trending topic ini. Si yang serius dengan si yang bercanda, dan si yang tidak tahu apa-apa ketika mengobrolkan yang sama jadi bias, abu-abu dan tak jelas. []
1 komentar:
dengan kata lain membicarakan orang di dumay..ya mas.. kalau dulu pas.. arisan..sekarang.. dimana saja bisa..
Posting Komentar