Jembatan Gantung

Oleh: Dodi Faedlulloh

Merasa digantung memang tidak nyaman. Benar juga curhatan beberapa sahabat yang pernah merasa digantung oleh pacarnya. Beraneka ragam kejadian, ada yang digantung dengan status tapi perliaku sama sekali tidak seperti pacaran, acuh tak acuh. Ada pula yang digantung tanpa status, si dambaan hati memberi perhatian yang luar biasa tapi tak pernah member kepastian. Atau mengutip liriknya Slank, “kamu sempurna waktu lampu mati, tapi patah saat bicara soal hati”. Masing-masing memiliki bentuk kesakitan dan level berbeda dalam merasakan bagaimana rasanya saat digantung perasaan. Tapi initinya digantung sama dengan sakit.

Saya pun sekarang demikian, tapi maaf kasusnya berbeda. Ini bukan tentang cinta-cintaan atau penggalauan. Ini tentang perjuangan kecil dari seorang pembelajar yang ingin melanjutkan studinya. Pasca wisuda saya mencoba melakukan aplikasi beasiswa dari lembaga tertentu untuk melanjutkan kuliah di S2 di salah satu magister administrasi publik. Ya, linear dengan concern jurusan sebelumnya di S1, administrasi negara. Salah satu prasyarat harus diterima di salah satu pascasarjana. Saya pun ikut tes yang sebelumnya sudah menyerahkan segala rupa perlengkapan arsip administrasi. Bersyukur tes berhasil, dan LoA pun terbit sebagai bukti saya sudah diterima di pascasarjana tersebut.


Kegalaun versi akademis dimulai. Sebelumnya pihak pascasarjana memang sudah menginformasikan kuota beasiswa secara nasional dari lembaga tertentu untuk tahun 2012 turun, jadi ada kemungkinan yang mendaftar semester genap ini akan digabung Bulan Juli nanti, sekali lagi Bulan Juli 2012 nanti, tepat dari hitungan awal test masuk ada rentang waktu enam bulan. Inti informasi tersebut mengajak bagi para calon penerima beasiswa untuk selalu bersiap-siap kapan pun dan di mana pun untuk menanti kabar selanjutnya. Enam bulan tentu bukan waktu yang cepat, menunggu kabar yang bikin deg-degan bikin hidup menjadi absurd. Menunggu kabar diterima-tidak oleh sang dambaan hati juga deg-degan, apa lagi ini. Ternyata benar sampai sekarang, Bulan Maret, kabar diterima atau tidaknya aplikasi beasiswa masih belum jelas. Dalam analogi pacaran, “mau dibawa kemana hubungan kita?” pérsis dengan yang saya alami.

Dilemanya adalah ruang gerak serasa terbatas. Mau ke sana-sini agak susah. Jatuhnya menganggur tak jelas. Sampai sekarang saya belum menemukan ruang yang pas bagi saya untuk beraktualisasi kembali. Mengingat salah satu catatan bagi penerima beasiswa kuliah akan diadakan setiap pukul 07.00 pagi. Kemungkinan kecil bagi saya untuk membagi ruang dengan job formal-jam kantor umum. Ada tawaran-tawaran untuk kerja-dalam definisi umum; mencari nafkah- namun saya belum berani mengambilnya. Ya karena itu tadi, posisi saya belum jelas.

Untuk mengisi waktu sekedarnya, saya kembali membuka literasi dan mendalami beberapa kajian-kajian, baik yang sesuai dengan jurusan saya sebelumnya, ataupun yang lain. Kembali menulis ini-itu sebagai ruang refleksi. Walaupun terkadang terasa monoton, tapi ya sudah lah. Saya mengaggapnya sebagai proses perjuangan. Memotong cita-cita di tengah jalan itu sungguh pilihan yang tidak menarik bagi saya.

Untungnya saat ini saya bersama beberapa senior sedang menggagas project bersama, salah satunya bertujuan untuk membumikan karya-karya ilmiah di tanah air. Saya tentu bersemangat melakoninya. Sekurang-kurangnya jadi masih ada sela-sela untuk bernafas lega menghirup oksigen aktivitas produktif. Tapi sayang tetap tidak mengusir rasa tidak enaknya digantung. []

0 komentar:

 
Creative Commons License
All contens are licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-NoDerivs 3.0 Unported License.

Creative Commons [cc] 2011 Dodi Faedlulloh . Style and Layout by Dodi | Bale Adarma