Oleh : Dodi Faedlulloh
Ada deretan 5 kursi paling berbeda di depan tribun Stadion Soesilo Soemarjan Unsoed. Tampaknya kursi-kursi tersebut memang dikhususkan untuk para pejabat kampus Fakultas yang sesuai dengan rencana akan melakukan pembukaan Dekan Cup yang dimulai tanggal 14 November, yakni pertandingan sepak bola antar fakultas dalam menyambut diesnatalis FISIP Unsoed ke 26. Deretan kursi tersebut menarik perhatian saya, padahal ada banyak kaum hawa yang berpenampilan elok berdatangan menyaksikan pertandingan, saya sebagai kaum adam bisa saja memfokuskan diri untuk agenda cuci mata, tapi tidak saya lakukan. Bukan hanya karena datang bersama pacar, tapi deretan kursi biru yang dipersiapkan khusus itu cukup memalingkan dunia saya. Pertanyaan dalam hati yang sempat hadir, “Kenapa harus ada kursi itu, padahal kursi tribun di depan masih banyak yang kosong dan bisa dikondisikan ?”.
Kursi VIP, saya menyebutnya. Sebagaimana yang diketahui, VIP akronim dari Very Important Person, jadi kursi-kursi itu adalah fasilitas bagi orang-orang yang dianggap penting. Ada dekan dan pembantu dekan III yang datang siang itu. Panitia mempersilakan orang-orang penting tersebut untuk duduk di sana. Mereka memberi sambutan dalam seremonial, duduk kembali sebentar menyaksikan lalu pergi. Kurang lebih 20 menit waktu efektif kursi tersebut digunakan.
Sudah menjadi tradisi, persiapan yang lebih ketika ada orang-orang yang dianggap penting datang dalam suatu acara. Sekitar seminggu sebelumya saya pun melakukan hal yang sama. Saya dan kawan-kawan membuat acara Seminar Sehari di salah satu restaurant yang cukup ternama karena eklusifitas dan ekspensivitasnya di Purwokerto. Saat itu memang kami mendesain acara tersebut se’megah’ mungkin, karena memang salah seorang pembicara itu sendiri orang ternama, Prof. Dawam Raharjo. Begitu pula tamu-tamu yang datang. Para professor dan doktor berdatangan hadir, dari kalangan dosen dan aktivis pun turut diundang. Kami bersepakat untuk memplot kursi-kursi khusus untuk orang-orang tertentu, kursi VIP.
Bagi seseorang yang sepakat dengan paham egaliter, penyediaan kursi VIP akan dianggap terlalu berlebihan, menunjukan perbedaan kelas dan pelayanan. Seolah-olah semakin memperkuat tentang adanya disparitas sosial. Saya pun semula sama berpandangan demikian. Namun saya mencoba open mind, tidak memaksakan untuk mengukung diri dari kekakuan egalitarian. Hak-hak manusia adalah sama, saya mengamini itu. Tapi kita pun harus pula menginsyafi tentang posisi objektif, orang ‘berbeda’ maka pelakuannya pun harus dibedakan.
Sederhananya, lihat konteks ruang dan waktu. Kedua acara di muka, pembukaan Dekan Cup dan Seminar Sehari, penyediaan kursi VIP memungkinkan. Penyediaan kursi VIP ini bukan bertujuan untuk memfragmentasikan atau kotakisasi kelas, tapi lebih tepatnya sebagai bentuk apresiasi dan rasa hormat. Toh, Maslow pun mengumandangkan dalam salah satu hierarki kebutuhannya adalah adanya kebutuhan harga diri (esteem needs). Kursi-kursi VIP saat Dekan Cup memang tidak ada tulisan VIP-nya, tapi perbedaan jenis kursi cukup merepresentsasikan itu adalah kursi khusus. Lalu kursi VIP saat seminar sehari sejatinya kursi-kursinya sama denga kursi para peserta lain, yang membedakan cuma tulisan VIP yang berada di atas meja. Nah, di sini saya membayangkan orang-orang yang berada duduk di sana senang merasa dihargai walau hanya diberi predikat VIP dalam kursinya. Selama orang-orang yang mendapat fasilitas predikat VIP secara track record dipertanggungjawabkan, hemat saya, tidak ada masalah. Anggap saja sebagai penghargaan bagi orang-orang yang telah berprestasi. Dan saya kira tidak akan setiap saat, di acara tertentu si A yang bergelar doktor, profesor dan bla-bla lainnya bisa saja mendapat kursi VIP tapi di acara lainnya belum tentu.
Tentang kursi VIP, seperti yang ditulis di muka, kembali pada konteks ruang dan waktu. Intinya tetap harus ada penyesuaian. Menjadi sah-sah saja bila untuk acara-acara tertentu. Misalnya dalam acara tertentu kita mengundang tamu dan orang-orang penting lainnya, atau untuk skala yang lebih besar, misal acara kenegaraan, bisa saja tamu yang datang adalah tamu dari negara lain. Nah, sebagai tuan rumah sepatutnya kita wajiib memuliakan tamu yang diundang. Bukan seperti itu ?
Tapi saya berpendirian tidak untuk VIP dalam akses public goods, baik VIP yang berlabel secara legal seperti pelayanan rumah sakit yang berkelas-kelas atau VIP yang non-label seperti dalam pelayanan pendidikan -SBI yang bernominal tinggi bagi saya VIP untuk pendidikan. VIP semacam ini perlu didekontruksi. Tidak ada tolerir untuk hal ini, kebutuhan dasar kesehatan dan pendidikan tidak layak untuk didesain denga sekat VIP, karena titik pembicaraannya bukan lagi pada aras penghargaan diri tapi telah beranjak pada konsistensi dalam pemberian pelayanan publik yang bisa berdampak pada kesenjangan sosial. Bagi saya Yes untuk Kursi VIP, No untuk VIP dalam public goods ! []
2 komentar:
Wah, ada perbedaan kasta ya :D
Lagian mana mau pejabat duduk di kursi biasa, yang ada takut pantatnya sakit dan gak bisa tidur #eh :))
Udah hal biasa sih, gak mengherankan :D
tapi tetep lebih nikmat nongkrong diatas tikar..hehe
salam kenal yah...
visit my blog oke!
Posting Komentar