Dari Wall Street ke Jakarta : Potensi Revolusi ?

Oleh : Dodi Faedlulloh

Siapa menyangka bagi para korporat, di tengah langgengnya keserakahan mereka, tiba-tiba banyak masyarakat Amerika sebagai presentasi berbondong-bondong melakukan aksi bersama ‘meramaikan’ Kota New York. “Occupy Wall Street”, slogan dan juga yang dijadikan nama aksi yang pada awalnya diinisiasi oleh para pemuda di sebuah taman, Liberty Plaza Park. Tahun 1929 di tempat yang sama, Wall Street pernah menjadi sumber krisis dunia. Tempat yang berada di pinggiran kota Manhattan ini menjadi cikal permasalahan, saat itu  bursa saham Wall Street mengalami kejatuhan bursa saham, dan terciptalah Great Depression yang berhasil menghancurkan perkonomian, tak hanya di negara-negara maju, negara berkembang pun ikut kena imbasnya. Memang telah menjadi keniscayaan, kapitalisme sebagai sistem ekonomi akan menciptakan krisis-krisis di dalamnya. Begitu juga saat ini, hampir lebih dari dua minggu, tempat yang menjadi simbol keserakahan para kaum korporat atau dalam bahasa Naomi Klein, simbol pengambil-alihan demokrasi oleh korporasi, kembali mulai diguncang.


Apakah aksi ini menjadi multitude seperti yang dijelaskan oleh Hardt  dan Antonio Negri, yakni gerakan bak orchestra tanpa dirigen ? Lepas dari hal tersebut, imbas positif mulai dirasa, banyak masyarakat sebagai presentasi turun aksi dengan membawa tuntutannya masing-masing, bahkan di antaranya ada seorang ibu sambil menggendong anaknya dan mengangkat kertas tuntutan, ia turun aksi karena hanya ingin masa depan yang baik bagi anaknya, foto itu yang saya lihat dari banyak foto lain di forum media gerakan dunia. Ini menjadi bukti tahap kesadaran masyarakat sudah semakin kuat, hegemoni kapitalisme mulai retak dan menuju kepecahan.

Sampai sekarang, mereka yang menduduki Wall Street tak pernah menghentikan protes, bahkan mendapat dukungan dari banyak pihak, gerakan ini semakin menyebar dan menginspirasi. Los Angeles, Chicago, Boston, Ohio bahkan hingga Toronto, Kanada mengikuti aksi serupa. Tak hanya itu bahkan di negara-negara lain, Selandia Baru, Singapura, Hongkong, Jepang dan Indonesia pun tak luput ikut melakukan aksi yang serupa.

Keniscayaan Gagalnya Kapitalisme

Dosa-dosa kejahatan korporasi semakin terbongkar, ada baiknya kita belajar dari krisis-krisis yang pernah terjadi. Ramalan Marx tentang hancurnya kapitalisme yang sudah mulai dipandang secara sinis, bahkan oleh mereka yang mengklaim aktivis kiri, ada baiknya kita mulai renungkan. Sifat khas dari kapitalisme yang senantiasa menghisap kaum proletar, dan terus menerus memperkaya kaum borjuis, akan dengan sendirinya menggali liang kubur bagi dirinya sendiri. Kapitalis mewarisi daya self destruction, seperti yang diyakini Marx dan juga saya, sistem kapitalis adalah suatu sistem yang sudah busuk dari dalam dan tidak mungkin diperbaiki (reformis). Kapitalisme akan memasuki krisis mendalam akibat kontradiksi internalnya, yaitu antara nafsu penciptaan profit dari proses produksi dan realisasi profit dalam sirkulasi dan distribusi. Ini sering disebut dengan krisis over-produksi dan over-kapasitas. Dan kini walaupun dengan bentuknya yang semakin canggih dan tidak jarang dengan menggunakan wajah-wajah yang lebih halus, kapitalisme kekinian tetap dalam substansi yang sama; eksploitatif.

Kemarahan para pendemo adalah suatu hal yang wajar, bahkan harus. Watak serakah dari kapitalisme tentu tidak bisa dihentikan dengan sikap sabar dan diam, aksi menduduki Wall Street yang menjalar ke banyak arah menjadi salah satu tool penekan bahkan dengan slogan okupasi, tentu ada arahan yang lebih konkret yang diinginkan masyarakat, yakni perubahan sistem secara total.

Secara sederhana, mengulang penjelasan yang sudah dijelaskan dalam forum-forum diskusi, seminar, gazebo, café, atau bangku kuliah bahwa kapitalisme akan menghasilkan kesenjangan. Kesenjangan tercipta karena si borjuis untuk melakukan akumulasi kapitalnya selalu dengan cara yang eksploitatif, nilai lebih kerja dicuri, bahkan parahnya sebelum komoditas jatuh ke pasaran, si borjuis sudah mendapat untung dari hasil pencurian nilai lebih ini. Ada pertentangan atau antogonisme, antara si borjuis dan kaum proletar. Akhirnya si proletar pasti tidak hanya diam, lahirlah kesadaran akan keinginan untuk membebaskan diri dari penjara sistem yang menekankan pada profit oriented.

Kesadaran ini yang mulai hadir kembali, tidak hanya para pekerja- walau banyak juga pendemo di Amerika adalah para pekerja- yang mempunyai relasi langsung dengan corak produksi kapitalistik, tapi juga para proleter-proletar lain yang dengan sendirinya (akhirnya) menjadi sadar bahwa mereka juga korban dari sistem yang busuk ini. Krisis 2008, mereka tentu masih ingat dan kecewa yang masih membekas atas kecurangan dan keserakahan yang dibuat segelintir orang. Saat krisis bergejolak tidak sedikit dana yang dikeluarkan pemerintah untuk menolong korporasi-korporasi yang sedang kepayahan. Namun uang masyarakat dari pungutan pajak tersebut, misal perusahaan AIG yang mendapat kucuran 170 miliar $, malah digunakan untuk membayar bonus  para eksekuktif korporasi-korporasi tersebut. Berangkat dari permasalahan yang sejatinya bersumber dari segelintir orang ini, muncul lah slogan cerdas dan bernas, 99% melawan 1% yang mampu menarik dan cukup meningkatkan kesadaran para korban keserakahan korporasi.

Kemungkinan Itu Ada

 Moment ini tentu sangat berharga bagi yang menginginkan tatanan masyarakat yang lebih baik dan membebaskan. Mulai tanggal 19 Oktober 2011 kemarin, di Indonesia dengan undangan aksi lewat dunia maya melakukan aksi dari inspirasi “Occupy Wall Street” dengan nama yang hampir mirip “Occupy Jakarta”. Hemat saya, aksi okupasi Jakarta satu langkah lebih maju, karena dalam aksi yang diselenggarkan di depan kantor Bursa Efek Jakarta (BEJ) ini menyertakan dengan tegas kapitalisme sebagai biang keladi. Namun secara kuantitas, “Occupy Jakarta” masih belum menggelegar.

Aksi pendudukan Wall Street belum ada tuntutan yang spesifik karena berawal dari kemuakan masyarakat terhadap keserakahan korporasi semata. Belum lagi ancaman dari Kelompok-kelompok Ultra konservatif dan partai Republik telah membuat kampanye media serang "Occupy Wall Street", sebagai hipies penggila pesta seks bebas, komunis, anti-semit yang bisa saja mendis-orientasi gerakan. Kecendrungan menjadi suatu multitude berdampak aksi ini bisa menjadi tidak bersifat jangka panjang. Perlawanan multitude akan menjadi acak, tanpa arahan, asal ini-asal itu. Revolusi (yang gagal) Prancis tahun 1968 bisa menjadi tauladan tersendiri. Doug Lorimer dalam tulisannya, Pelajaran-Pelajaran dari Revolusi (yang Gagal) 1968, menjelaskan “ada kesenjangan kesadaran revolusiner (lack of revolutionary consciousness)” yang menyebabkan revolusi di depan mata menjadi gagal. Atau yang terdekat, Reformasi 98 di Indonesia bisa menjadi contoh reflektif, begitu juga aksi yang belum lama ini di Mesir, Yunani, Spanyol tak ada konsepsi alternatif setelahnya. Titik tolak politik emansifatif memang perlu dihargai, tapi ada tendensi ketragisan, semangat perjuangan bisa-bisa cepat berlalu dan mudah retak begitu saja. 

Tanpa perencanaan yang seksama, gerakan ini bisa klimaks dan anti-klimaks dalam jangka waktu yang tak lama. Inisiatif massa –walaupun bersifat kolektif- belum cukup untuk menggulingkan rezim dan sistem yang dominan. Perubahan mendasar akan baru tercipta bila kita sudah punya senjata, senjata yang fokus, bukan yang abstrak dan mengawang.

Politik bagi Alain Badiou (dalam Takwin) adalah kemungkinan untuk membebaskan ‘yang kolektif’ dari rezim apapun di luar dirinya atau something else is possible. Dalam Badiou, keterputusan politik dari sejarah bermula dari kejadian (event). Kejadian adalah hal yang luar biasa dan terputus dari masa lalu. Untuk menghentikan pengulangan, seperti aksi di Mesir, Yunani, dll, perlu kejadian sebagi interupsi agar kebaruan tercapai. Dalam hal menemukan kembali yang politik, Zizek mengambil jalan dalam arah yang ditempuh Badiou, yaitu gempuran total terhadap tatanan dominan, melalui suatu tindakan yang disebut the act. Act  pada Zizek berarti suatu tindakan historis yang mengubah suatu paradigma, dan menuai segala sesuatu dari baru. Nah, ini yang diperlukan, sesuatu yang tidak sama agar tidak terulang aksi-aksi yang mudah diretakan dan kembali jatuh dalam hegemoni sistem dominan. Intervensi terhadap "ketidakmungkinan" menjadi benar-benar tidak mungkin kalau hanya bermodal inisiatif dan efouria semangat.

Revolusi adalah something else is possible. Dan ini hanya dapat dicapai ketika sebuah kekuatan politik mampu menciptakan sebuah program alternatif dan menuai segala sesuatu dari bang baru. Agar emansipasi tidak sekedar emansipasi teriakan kosong, tapi justru mampu mempersatukan berbagai sektor beragam dari massa.Jadi untuk semakin menggairahkan moment agar bisa menjadi kejadian (event) mari mengakumulasi kekuatan dan sebuah platform yang jelas, agar gerakan tidak terurai kemana-mana. []

1 komentar:

tiwi mengatakan...

hmmm, sy pribadi lbh senang dg perubahan yg tdk radikal aka revolusi. Lbh baik membenahi diri sendiri dulu, berbuat banyak u kemanfaatan bnyk umat drpd sibuk menggalang gerakan utk sebuah 'perubahan', krn kondisi apapun, dimanapun akn berubah kalau msg2 individu mampu bertanggung jawab scr dewasa terutama thd dirinya sendiri..^_^ nice post

 
Creative Commons License
All contens are licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-NoDerivs 3.0 Unported License.

Creative Commons [cc] 2011 Dodi Faedlulloh . Style and Layout by Dodi | Bale Adarma