Emosi dan Toleransi

Refleksi 30 November

Oleh : Dodi Faedlulloh

Rasa marah tiba-tiba memuncak, padahal sore itu masih lenggang. Saya pun tidak benar-benar sibuk, namun sudah meniatkan untuk berisitirahat. Angan-angan bersantai ria di sore hari sebelum nonton bola, kiranya seperti itu.

Padahal suasana sempat hangat, canda-tawa dan gempita menemani di tengah obrolan saya dan dia di kampus, depan pintu ruang enam. Entah apa yang merasuki, saat dia minta waktu menunggu satu jam lagi, karena dia ada pertemuan, yang dilanjutkan diskusi di ruang yang berbeda, saya mulai merasa tidak nyaman. Saya sempat menolak untuk menunggu, namun dengan intonasi tinggi plus laku berpaling muka, saya mengurungkan niat untuk pulang. Angan-angan bersantai setelah siang hari berpanas-panas ria mencari kontrakan tampaknya harus dipending. Agenda accindental sore itu bernama menunggu. Oke, cuma satu jam kok. 


Datang temannya, saya meminta dia untuk menemani saya, karena sore itu kampus cukup sepi. Satu jam tanpa teman ngobrol pasti membosankan. Teman saya yang juga teman dekatnya itu malah iseng memprovokasi. “Hanya orang bodoh yang mau menunggu waktu satu jam” kurang lebih singkatnya seperti itu. Sambil tertawa dia membeberkan tentang ulah pacarnya yang pernah menunggu sampai empat jam menunggu les mantan si pacarnya itu. Waktu pacarnya terbuang percuma hanya bermain game. Si teman saya merekomendasikan untuk pulang saja sejenak, lalu datang legi ke tempat semula untuk menjemput. Saya senyum-senyum aja. “Sial, ini anak malah ngompori!”, ujar saya dalam hati.

Tapi untungnya tidak jadi, karena ini Indonesia. Rapatnya sedikit diundur beberapa menit karena belum ada seorang pun yang datang ke tempat rapat yang dijanjikan. Setengah lima akhirnya dia memutuskan untuk pergi ke tempat diskusi. Dia sempat meminta untuk mengantar beli makan, tapi tidak jadi karena khawatir, agenda makannya terganggu oleh kejailan anak-anak di tempat diskusi. Sesampainya di tempat diskusi, yang juga kesekretariatan ormas, ternyata di sana masih kosong. Iya karena ini lagi-lagi di Indonesia. Akhirnya dia minta berbalik arah dan ngajak makan bareng. Lagi-lagi entah kenapa, saya tiba-tiba merasa tidak nyaman.

Pada dasarnya saya memang cendrung sederhana dan tidak meribetkan dalam perihal makan, di mana pun ayo saja. Warteg atau apapun. Namun ketika dia meminta makannya di tempat daerah dekat dengan kampus, dalam hati, “Kok jadi ribet gini?”. Angan-angan untuk bersantai yang semula dipending, dalam perjalanan menuju tempat makan dalam pikiran sudah membuat simpulan sementara, agenda bersantai tidak jadi. Saya tidak jadi pulang sesuai dengan yang diharapkan.

Saya ingin melakukan tindakan komunikatif, apa lagi dia sendiri memang pernah meminta, kalau ada yang tidak disukai mending dibicarakan langsung jangan disimpan-simpan. Saya bicara terus terang, “Ribet makan sama kamu!”. Dia pun jadi berwajah ketus dan musam.

Seperti penggalan lirik lagu Jamrud, 30 menit tanpa bicara. Di café tempat makan kami benar-benar membisu, saya mancing obrolan, dia pun tidak mengindahkan. Padahal saya sudah memulai perbicangan. Saya ingin ngobrol tentang alasan mengapa sampai berucap ribet makan dengan dia. Responnya kurang baik, wajahnya tetap ketus. Saya kembali megurungkan niat, benar-benar counter hegemoni. Saya yang ingin marah jadi tidak jadi, cukup dengan melihat wajah kesalnya saya memilih diam. Nanti saja saat dia sudah jernih.

Ada yang membuat kecewa, inkonsistensi dia. Saat saya ingin membicarakan hal yang saya tidak suka, saya benar-benar tidak diberi waktu. Cukup dengan wajah yang kesal sembari anteng dengan gadgetnya berhasil membuat saya mengurungkan niat. Ya sudah lah!

Toleransi

Kejengkelan saya reda dengan sendirinya. Karena pada dasanya saya tidak bisa berlama-lama dengan situasi yang tidak perlu. Bagaimana pun dia empat tahun lebih muda dari saya. Sepatutnya saya harus bisa mengatur ritme. Refleksi saja, toh itu pun karena kesalahan saya, andai saya bicara langsung, kalau saya ingin pulang sore itu, mungkin adegan konyol seperti di muka tidak perlu terjadi. Ini lah asyiknya belajar hidup bersama, ada nilai komitmen dan kebersamaan. Saling pengertian, saya yang tua harus bisa lebih memahami iklim, dan bodohnya saya lupa kalau dia sedang PMS. Ada kalanya ucapan jujur perlu distrategikan ulang. Jangan menjadi naïf!

Akhir November 2011

0 komentar:

 
Creative Commons License
All contens are licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-NoDerivs 3.0 Unported License.

Creative Commons [cc] 2011 Dodi Faedlulloh . Style and Layout by Dodi | Bale Adarma