Sekali Lagi, Koperasi dan Ideologi: Tanggapan Untuk Firdaus dan Suroto

Oleh: Dodi Faedlulloh

Dua tulisan menarik ditulis oleh Kawan Firdaus yang kemudian direspon  Kawan Suroto tentang relasi koperasi dengan ideologi. Dalam catatan pendeknya Firdaus memberi kritik tentang gagasan koperasi sebagai ideologi yang berdiri sendiri, yang sering di-campaign Suroto pada beberapa kesempatan. Hal ini ditolak Firdaus karena unsur konstitutif koperasi tidak memadai sebagai ideologi, khususnya dalam ranah penataan sosial-politik. Pendeknya, maka koperasi tak lain adalah bagian dari sistem yang lebih besar, atau ideologi tertentu.

Menanggapi kritik tersebut, Suroto menjelaskan justru koperasi adalah ideologi alternatif dan beyond dari ideologi-ideologi besar yang ada hari ini. Koperasi memiliki konsep nilai, oleh karenanya koperasi merupakan sistem pemikiran. Dengan kecenderungan fondasionalisme, meminjam analisa Macpherson, Suroto menjelaskan koperasi bisa diterima oleh semua ideologi: dari yang kanan mentok, sampai kiri mentok. Berarti koperasi itu flexible, memiliki kekenyalan sehingga bisa bertahan hidup lintas ideologi. Akhirnya koperasi menjadi penyelamat segala masalah, karena bagi Suroto, “ideologi koperasi ini memerangi kehilangan pertarungan besar dari perjuangan liberalisme, konservatisme, sosial demokrasi, marxisme dan juga anarkisme.”


Dalam risalah ini, saya mencoba menanggapi tegangan kreatif dari perdebatan tersebut. Ada beberapa yang perlu dianalisa lebih jauh. Menjadikan koperasi sebagai ideologi alternatif adalah langkah berani, namun minus refleksi. Uraian-uraian Suroto sebenarnya cukup eksplisit menjelaskan via a vis koperasi dengan sistem kapitalisme. Ada perbedaan yang mencolok di antaranya. Dengan kata lain koperasi adalah antitesa dari kapitalisme. Jadi adalah ambigu, kedua hal yang kontradiktif tersebut justru terdamaikan karena semata adanya upaya self-help khas koperasi yang memiliki semangat yang sama dengan liberalisme. Dengan nalar ini, berarti koperasi adalah bagian kecil dari liberalisme. Lucunya, situasi ini memunculkan terminologi yang rancu: koperasi sebagai liberalisme kolektif.

Kemudian kritik selanjutnya terhadap praktik sosialisme yang mewujud menjadi state-led capitalism. Sebagai ruang individualita, koperasi bergerak mengangkat harga diri manusia. Karenanya dengan praktik sosialisme yang menyerahkan pengendalian produksi oleh negara agar tidak lagi dikuasai oleh kaum kapitalis, justu akan kembali mengalienasi individu-individu. Anasir seperti ini sering saya temukan dalam berbagai zine kaum anarkis. Begitupula para pengusung liberalisme, seperti Hayek. Kritik tersebut tak sepenuhnya tepat. Karena pandangan sosialisme semacam itu tidaklah utuh. Diskursus paradigma sosialisme sampai hari ini masih diperdebatkan sana-sini.

Koperasi memang selalu memiliki hubungan yang tidak nyaman terhadap tradisi filsafat Marxis yang berkonsentrasi pada kepemilikian negara (Dobrohoczki: 2013). Tapi yang perlu kembali diingat sosialisme pun berbicara tentang partisipasi dari bawah. Partisipasi mensyaratkan presentasi, dan presentasi adalah tentang individu. Dalam hal ini, Alain Badiou –yang Marxis- cukup baik mengelaborasi tentang peran presentasi sebagai subjek yang militan dalam perubahan sosial. Berarti sosialisme, seperti halnya koperasi, juga sama-sama memiliki nilai luhur untuk mengangkat harga diri manusia lebih tinggi (dibanding kapital).

Kemudian yang sering menjadi sorotan adalah tentang kepemilikan pribadi. Diskursus yang dominan, sosialisme menolak konsep kepemilikan pribadi tersebut. Mengenai hal ini, menarik untuk menempatkan interpretasi dari Abdul (2013) tentang private property dalam gagasan Marx. Dalam kertas akademiknya, Krisis Kapitalisme dan Solusinya: Catatan Antropologi Ekonomi Politik, Abdul tidak menterjemahkan penolakan kepemilikan pribadi secara lugu. Yang menjadi masalah dalam kapitalisme bukan pada private proverty-nya tapi individual wealth accumulation melalui perampasan-perampasan hak publik. Inilah yang disebut Marx sebagai primitive accumulation dengan menggunakan cara dispossession. Dalam penjelasan ini, saya ingin menegaskan kembali bahwa sosialisme tidaklah bertentangan dengan ruang individualita dan kepemilikan pribadi yang selalu dibahas secara naïf.

Koperasi Akar dari Sosialime (Tak Lagi) Utopis

Sejarah mencatat Robert Owen (1771-1858) sering disebut-sebut sebagai bapak koperasi dunia. Ia mencoba mempraktekan model koperasi/ide komunitas-komunitas sebagai proyek percontohan dari masyarakat sosialis. Ia mengharapkan tatanan sosial yang lebih humanis untuk mengganti kapitalisme bentukan dari revolusi industri yang malah memperburuk kondisi sosial pada saat itu.

Sebuah pabrik tenun besar yang dipimpinnya di New Lanark, Skotlandia, pada tahun 1800-1829 menjadi lab untuk praktik humanismenya. Dengan 2500 buruh yang dipimpinnya itu dia menggariskan ketentuan dan terobosan yang sama sekali berbeda dengan rekanan manager yang ada di pabrik lainnya, terobosan itu mulai dari pemendekan jam kerja, pemenuhan kesejahteraan buruhnya berupa perumahan, jaminan kesehatan, hingga sarana rekreasi bagi para buruhnya, penerapan upah yang cukup, bahkan jaminan untuk tetap mendapatkan upah walau tidak melakukan prooduksi, sebagaimana yang terjadi saat krisis kapas terjadi pada waktu itu. Dengan keberhasilannya memberikan sumbangan dalam menciptakan tatanan masyarakat yang begitu menjungjung tinggi humanisme, maka New Lanark, pabrik yang dipimpinnya itu dijadikan sauri tauladan bagi seluruh masyarakat sampai keseluruh Eropa.

Walaupun bisa dikatakan telah berhasil dalam menciptakan tatanan baru bagi masyarakat, Robert Owen tidak langsung berpuas diri. Dia masih kecewa karena masih adanya budaya borjuis dan aristokratis kapitalistik yang menghegemoni. Maka dari itu Owen tidak patah semangat untuk kembali merealisasikan ide soasialismenya, hingga mendorong dirinya membangun sebuah ujicoba koloni masyarakat sosialis komunistis di Amerika Serikat, yang bernama New Harmony.

Namun dengan New Harmony-nya ini Owen mengalami kegagalan. Tetapi lagi-lagi dia tidak pernah menyerah begitu saja. Selama 30 tahun sisa usianya dia bersama gerakan sosial kelas buruh di Inggris tetap berjuang menuntut hak-hak demokratisnya guna terciptanya tatanan masyarakat yang sosialistik dan egaliter. Saat menjadi ketua Serikat Buruh Inggris dan Irlandia, ia pun mengusulkan serikat pekerja untuk mengambil alih manajemen produksi dan mengorganisirnya dengan cara koperasi. Semua usaha Robert Owen ini dikonseptualisasi pada zamannya sebagai sosialisme utopis. Lewat uraian historis ini, bisa dikatakan sosialisme utopis lah yang kali pertama mencetuskan tentang koperasi modern ke tengah-tengah peradaban manusia. Simpulannya koperasi lahir dari rahim semangat sosialisme.

Memang selanjutnya, duet Marx dan Engels mengkritik Robert Owen sebagai utopis. Dinilai utopis karena cara melawan kapitalisme Owen tidak sesuai dengan perkembangan kondisi material yang mencukupi untuk emansipasi proletariat. Prasyarat material untuk mewujudkan tatanan sosial yang digagas belum terpenuhi. Owen melihat realitas kapitalisme secara moral dengan pendekatan yang idealistik. Implikasinya, bagi pendiri sosialisme utopis, seperti Owen, mengkritik kapitalisme tidak berlandas pada kondisi konkret, tapi lebih kepada sentiment mental yang beranggapan sosialisme adalah sebentuk ekspresi dari rasa keadilan yang terlepas dari sejarah. Richard Schmitt (1997) meringkas kritik dari Marx dan Engels tersebut menjadi: Pertama, karena kapitalisme belum begitu berkembang pada tahun 1880, maka para pengusung sosialisme utopis ini tidak memahami apa itu kapitalisme; kedua, sebagai konsekuensinya, mereka tidak mengerti tentang perjuangan kelas; ketiga, sebagai gantinya mereka kemudian mengandalkan aksi-aksi pemimpin agung, keempat, kaum utopis ini tidak bisa mengerti hubungan antara yang dipikirkan oleh rakyat dengan kondisi material di mana pemikiran mereka itu muncul; dan kelima, kaum sosialis utopis ini gagal melihat bahwa perubahan-perubahan sosial itu hanya mungkin jika kondisi-kondisi bagi perubahan itu tersedia. Namun kritik-kritik tersebut, hari ini, justru malah mendorong utopia-nya Owen menjadi tak lagi Utopis.  Syarat material yang dulu dikritik karena belum memadai, justru pada abad 21 ini, kondisi material sudah memungkinkan untuk emansipasi rakyat pekerja. Secara empiris hadir di berbagai belahan dunia tentang best practices praktik koperasi. Kemudian tentang perjuangan kelas, koperasi memang tidak memilih jalur politik kelas, namun lebih menaruh perhatiannya kepada ranah sosial ekonomi yaitu persiapan masyarakat terhadap cara kerja yang sosialis melalui pemilikan dan kontrol alat produksi.

Mengapa Koperasi Sosialis?

Mendeklarasikan koperasi sebagai beyond dari ideologi perlu ditelusuri ulang. Saya masih ingat benar, salah seorang pemikir koperasi senior, Robby Tulus dalam sebuah diskusi menjelaskan posisi koperasi adalah sebagai alat perjuangan. Sebagai alat maka ia hanya menjadi senjata perjuangan untuk membangun tatanan sosial yang baru. Tatanan sosial yang baru tersebut, seperti yang telah disinggung sebelumnya, tak lain adalah sosialisme. Mengapa? Karena koperasi memilki nilai-nilai yang ekuivalen dengan sosialisme.

Sosialisme memang memiliki banyak variannya. Namun dalam tulisan ini sebagai pijakan kita bisa meminjam definisi Newman (dalam Zaki: 2013) yang dilandaskan pada ciri mendasar dari sosialisme untuk mencari ekuvalensi koperasi dengan sosialisme. Ciri mendasar yang pertama adalah bahwa sosialisme memiliki komitmen terhadap pembentukan masyarakat yang setara, dan relasi kepemilikan kapitalis dianggap sebagai hambatan struktural bagi penciptaan masyarakat yang setara itu. Koperasi berbicara tentang demokrasi ekonomi, oleh karenanya koperasi mengandaikan setiap individu memiliki kesempatan yang sama untuk mencapai pemenuhan dirinya tanpa hambatan yang bersifat struktural. Kemudian ciri yang kedua dari sosialisme adalah keyakinan atas kemungkinan untuk mewujudkan masyarakat yang setara berdasarkan nilai-nilai solidaritas dan kerjasama. Tentu ciri ini adalah apa yang diajarkan dalam praktik kehidupan berkoperasi.

Selanjutnya ciri yang ketiga, yaitu optimisme terhadap manusia dan kemampuannya untuk bekerjasama satu sama lain. Ciri ini senada dengan apa yang disitir Suroto sendiri tentang kehendak manusia yang secara natural untuk mengembangkan nilai kerjasama dari persekutuan besar manusia. Hal ini sejalan juga dengan yang dinyatakan oleh Ian Macpherson yang menjelaskan, “koperasi mengambil pandangan natural manusia secara optimistik dan percaya bahwa sejumlah besar orang dapat mengontrol persoalan ekonomi mereka”. Selanjutnya, ciri keempat dari sosialisme adalah keyakinan akan kemungkinan untuk membuat perubahan yang signifikan melalui agensi manusia yang sadar. Di sini sosialisme mengajarkan manusia untuk tidak pasrah terhadap keadaan. Hal ini tautologi dengan penjelasan Suroto tentang koperasi yang menghendaki adanya hidup harmoni dalam kerjasama dan menempatkan kebebasan manusia sebagai individu untuk menetapkan nasibnya sendiri. Dari ciri-ciri yang telah diuraikan menjadi terang, koperasi adalah bagian dari tatanan sosial sosialisme. Tentunya sosialisme yang tidak dibuat seram seperti yang dijelaskan Kawan Suroto. ***

Tulisan sebelumnya:

1. Tulisan Kawan. Suroto bisa dibaca di sini  
2. Tulisan Kawan Firdaus bisa dibaca di sini 

Referensi

Abdul, H. 2013. Krisis Kapitalisme dan Solusinya: Catatan Antropologi Ekonomi Politik,  diakses http://etnohistori.org/krisis-kapitalisme-dan-solusinya-catatan-antropologi-ekonomi-politik-oleh-hatib-abdul-kadir.html

Dobrohoczki, R. 2013. Co-operatives as Spaces Of Cultural Resistance and Transformation in Alienated Consumer Society. Third Conference on the Works of Karl Marx and the challenges of the 21st century

Schmitt, R. 1997. Introduction To Marx And Engels: A Critical Reconstruction, Second Edition (Dimensions of Philosophy). Westview Press

Newman, M. 2005. Socialism: A Very Short Introduction. New York: Oxford University Press

Zaki, M. 2013. Sosialisme Ilmiah, diakses http://indoprogress.com/2013/06/sosialisme-ilmiah/

0 komentar:

 
Creative Commons License
All contens are licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-NoDerivs 3.0 Unported License.

Creative Commons [cc] 2011 Dodi Faedlulloh . Style and Layout by Dodi | Bale Adarma