Dua tulisan menarik ditulis oleh
Kawan Firdaus yang kemudian direspon Kawan Suroto tentang relasi
koperasi dengan ideologi. Dalam catatan pendeknya Firdaus memberi kritik
tentang gagasan koperasi sebagai ideologi yang berdiri sendiri, yang
sering di-campaign Suroto pada beberapa kesempatan. Hal ini
ditolak Firdaus karena unsur konstitutif koperasi tidak memadai sebagai
ideologi, khususnya dalam ranah penataan sosial-politik. Pendeknya, maka
koperasi tak lain adalah bagian dari sistem yang lebih besar, atau
ideologi tertentu.
Menanggapi kritik tersebut, Suroto menjelaskan justru koperasi adalah ideologi alternatif dan beyond
dari ideologi-ideologi besar yang ada hari ini. Koperasi memiliki
konsep nilai, oleh karenanya koperasi merupakan sistem pemikiran. Dengan
kecenderungan fondasionalisme, meminjam analisa Macpherson, Suroto
menjelaskan koperasi bisa diterima oleh semua ideologi: dari yang kanan mentok, sampai kiri mentok. Berarti koperasi itu flexible,
memiliki kekenyalan sehingga bisa bertahan hidup lintas ideologi.
Akhirnya koperasi menjadi penyelamat segala masalah, karena bagi Suroto,
“ideologi koperasi ini memerangi kehilangan pertarungan besar dari
perjuangan liberalisme, konservatisme, sosial demokrasi, marxisme dan
juga anarkisme.”
Dalam risalah ini, saya mencoba menanggapi
tegangan kreatif dari perdebatan tersebut. Ada beberapa yang perlu
dianalisa lebih jauh. Menjadikan koperasi sebagai ideologi alternatif
adalah langkah berani, namun minus refleksi. Uraian-uraian Suroto
sebenarnya cukup eksplisit menjelaskan via a vis koperasi
dengan sistem kapitalisme. Ada perbedaan yang mencolok di antaranya.
Dengan kata lain koperasi adalah antitesa dari kapitalisme. Jadi adalah
ambigu, kedua hal yang kontradiktif tersebut justru terdamaikan karena
semata adanya upaya self-help khas koperasi yang memiliki
semangat yang sama dengan liberalisme. Dengan nalar ini, berarti
koperasi adalah bagian kecil dari liberalisme. Lucunya, situasi ini
memunculkan terminologi yang rancu: koperasi sebagai liberalisme
kolektif.
Kemudian kritik selanjutnya terhadap praktik sosialisme yang mewujud menjadi state-led capitalism.
Sebagai ruang individualita, koperasi bergerak mengangkat harga diri
manusia. Karenanya dengan praktik sosialisme yang menyerahkan
pengendalian produksi oleh negara agar tidak lagi dikuasai oleh kaum
kapitalis, justu akan kembali mengalienasi individu-individu. Anasir
seperti ini sering saya temukan dalam berbagai zine kaum
anarkis. Begitupula para pengusung liberalisme, seperti Hayek. Kritik
tersebut tak sepenuhnya tepat. Karena pandangan sosialisme semacam itu
tidaklah utuh. Diskursus paradigma sosialisme sampai hari ini masih
diperdebatkan sana-sini.
Koperasi memang selalu memiliki
hubungan yang tidak nyaman terhadap tradisi filsafat Marxis yang
berkonsentrasi pada kepemilikian negara (Dobrohoczki: 2013). Tapi yang
perlu kembali diingat sosialisme pun berbicara tentang partisipasi dari
bawah. Partisipasi mensyaratkan presentasi, dan presentasi adalah
tentang individu. Dalam hal ini, Alain Badiou –yang Marxis- cukup baik
mengelaborasi tentang peran presentasi sebagai subjek yang militan dalam
perubahan sosial. Berarti sosialisme, seperti halnya koperasi, juga
sama-sama memiliki nilai luhur untuk mengangkat harga diri manusia lebih
tinggi (dibanding kapital).
Kemudian yang sering menjadi
sorotan adalah tentang kepemilikan pribadi. Diskursus yang dominan,
sosialisme menolak konsep kepemilikan pribadi tersebut. Mengenai hal
ini, menarik untuk menempatkan interpretasi dari Abdul (2013) tentang private property dalam
gagasan Marx. Dalam kertas akademiknya, Krisis Kapitalisme dan
Solusinya: Catatan Antropologi Ekonomi Politik, Abdul tidak
menterjemahkan penolakan kepemilikan pribadi secara lugu. Yang menjadi
masalah dalam kapitalisme bukan pada private proverty-nya tapi individual wealth accumulation melalui perampasan-perampasan hak publik. Inilah yang disebut Marx sebagai primitive accumulation dengan menggunakan cara dispossession.
Dalam penjelasan ini, saya ingin menegaskan kembali bahwa sosialisme
tidaklah bertentangan dengan ruang individualita dan kepemilikan pribadi
yang selalu dibahas secara naïf.
Koperasi Akar dari Sosialime (Tak Lagi) Utopis
Sejarah
mencatat Robert Owen (1771-1858) sering disebut-sebut sebagai bapak
koperasi dunia. Ia mencoba mempraktekan model koperasi/ide
komunitas-komunitas sebagai proyek percontohan dari masyarakat sosialis.
Ia mengharapkan tatanan sosial yang lebih humanis untuk mengganti
kapitalisme bentukan dari revolusi industri yang malah memperburuk
kondisi sosial pada saat itu.
Sebuah pabrik tenun besar yang dipimpinnya di New Lanark,
Skotlandia, pada tahun 1800-1829 menjadi lab untuk praktik
humanismenya. Dengan 2500 buruh yang dipimpinnya itu dia menggariskan
ketentuan dan terobosan yang sama sekali berbeda dengan rekanan manager
yang ada di pabrik lainnya, terobosan itu mulai dari pemendekan jam
kerja, pemenuhan kesejahteraan buruhnya berupa perumahan, jaminan
kesehatan, hingga sarana rekreasi bagi para buruhnya, penerapan upah
yang cukup, bahkan jaminan untuk tetap mendapatkan upah walau tidak
melakukan prooduksi, sebagaimana yang terjadi saat krisis kapas terjadi
pada waktu itu. Dengan keberhasilannya memberikan sumbangan dalam
menciptakan tatanan masyarakat yang begitu menjungjung tinggi humanisme,
maka New Lanark, pabrik yang dipimpinnya itu dijadikan sauri tauladan bagi seluruh masyarakat sampai keseluruh Eropa.
Walaupun
bisa dikatakan telah berhasil dalam menciptakan tatanan baru bagi
masyarakat, Robert Owen tidak langsung berpuas diri. Dia masih kecewa
karena masih adanya budaya borjuis dan aristokratis kapitalistik yang
menghegemoni. Maka dari itu Owen tidak patah semangat untuk kembali
merealisasikan ide soasialismenya, hingga mendorong dirinya membangun
sebuah ujicoba koloni masyarakat sosialis komunistis di Amerika Serikat,
yang bernama New Harmony.
Namun dengan New Harmony-nya
ini Owen mengalami kegagalan. Tetapi lagi-lagi dia tidak pernah
menyerah begitu saja. Selama 30 tahun sisa usianya dia bersama gerakan
sosial kelas buruh di Inggris tetap berjuang menuntut hak-hak
demokratisnya guna terciptanya tatanan masyarakat yang sosialistik dan
egaliter. Saat menjadi ketua Serikat Buruh Inggris dan Irlandia, ia pun
mengusulkan serikat pekerja untuk mengambil alih manajemen produksi dan
mengorganisirnya dengan cara koperasi. Semua usaha Robert Owen ini
dikonseptualisasi pada zamannya sebagai sosialisme utopis. Lewat uraian
historis ini, bisa dikatakan sosialisme utopis lah yang kali pertama
mencetuskan tentang koperasi modern ke tengah-tengah peradaban manusia.
Simpulannya koperasi lahir dari rahim semangat sosialisme.
Memang
selanjutnya, duet Marx dan Engels mengkritik Robert Owen sebagai
utopis. Dinilai utopis karena cara melawan kapitalisme Owen tidak sesuai
dengan perkembangan kondisi material yang mencukupi untuk emansipasi
proletariat. Prasyarat material untuk mewujudkan tatanan sosial yang
digagas belum terpenuhi. Owen melihat realitas kapitalisme secara moral
dengan pendekatan yang idealistik. Implikasinya, bagi pendiri sosialisme
utopis, seperti Owen, mengkritik kapitalisme tidak berlandas pada
kondisi konkret, tapi lebih kepada sentiment mental yang beranggapan
sosialisme adalah sebentuk ekspresi dari rasa keadilan yang terlepas
dari sejarah. Richard Schmitt (1997) meringkas kritik dari Marx dan
Engels tersebut menjadi: Pertama, karena kapitalisme belum
begitu berkembang pada tahun 1880, maka para pengusung sosialisme utopis
ini tidak memahami apa itu kapitalisme; kedua, sebagai konsekuensinya, mereka tidak mengerti tentang perjuangan kelas; ketiga, sebagai gantinya mereka kemudian mengandalkan aksi-aksi pemimpin agung, keempat,
kaum utopis ini tidak bisa mengerti hubungan antara yang dipikirkan
oleh rakyat dengan kondisi material di mana pemikiran mereka itu muncul;
dan kelima, kaum sosialis utopis ini gagal melihat bahwa
perubahan-perubahan sosial itu hanya mungkin jika kondisi-kondisi bagi
perubahan itu tersedia. Namun kritik-kritik tersebut, hari ini, justru
malah mendorong utopia-nya Owen menjadi tak lagi Utopis. Syarat
material yang dulu dikritik karena belum memadai, justru pada abad 21
ini, kondisi material sudah memungkinkan untuk emansipasi rakyat
pekerja. Secara empiris hadir di berbagai belahan dunia tentang best practices
praktik koperasi. Kemudian tentang perjuangan kelas, koperasi memang
tidak memilih jalur politik kelas, namun lebih menaruh perhatiannya
kepada ranah sosial ekonomi yaitu persiapan masyarakat terhadap cara
kerja yang sosialis melalui pemilikan dan kontrol alat produksi.
Mengapa Koperasi Sosialis?
Mendeklarasikan koperasi sebagai beyond dari
ideologi perlu ditelusuri ulang. Saya masih ingat benar, salah seorang
pemikir koperasi senior, Robby Tulus dalam sebuah diskusi menjelaskan
posisi koperasi adalah sebagai alat perjuangan. Sebagai alat maka ia
hanya menjadi senjata perjuangan untuk membangun tatanan sosial yang
baru. Tatanan sosial yang baru tersebut, seperti yang telah disinggung
sebelumnya, tak lain adalah sosialisme. Mengapa? Karena koperasi memilki
nilai-nilai yang ekuivalen dengan sosialisme.
Sosialisme
memang memiliki banyak variannya. Namun dalam tulisan ini sebagai
pijakan kita bisa meminjam definisi Newman (dalam Zaki: 2013) yang
dilandaskan pada ciri mendasar dari sosialisme untuk mencari ekuvalensi
koperasi dengan sosialisme. Ciri mendasar yang pertama adalah
bahwa sosialisme memiliki komitmen terhadap pembentukan masyarakat yang
setara, dan relasi kepemilikan kapitalis dianggap sebagai hambatan
struktural bagi penciptaan masyarakat yang setara itu. Koperasi
berbicara tentang demokrasi ekonomi, oleh karenanya koperasi
mengandaikan setiap individu memiliki kesempatan yang sama untuk
mencapai pemenuhan dirinya tanpa hambatan yang bersifat struktural.
Kemudian ciri yang kedua dari sosialisme adalah keyakinan atas
kemungkinan untuk mewujudkan masyarakat yang setara berdasarkan
nilai-nilai solidaritas dan kerjasama. Tentu ciri ini adalah apa yang
diajarkan dalam praktik kehidupan berkoperasi.
Selanjutnya ciri yang ketiga,
yaitu optimisme terhadap manusia dan kemampuannya untuk bekerjasama
satu sama lain. Ciri ini senada dengan apa yang disitir Suroto sendiri
tentang kehendak manusia yang secara natural untuk mengembangkan nilai
kerjasama dari persekutuan besar manusia. Hal ini sejalan juga dengan
yang dinyatakan oleh Ian Macpherson yang menjelaskan, “koperasi
mengambil pandangan natural manusia secara optimistik dan percaya bahwa
sejumlah besar orang dapat mengontrol persoalan ekonomi mereka”.
Selanjutnya, ciri keempat dari sosialisme adalah keyakinan akan
kemungkinan untuk membuat perubahan yang signifikan melalui agensi
manusia yang sadar. Di sini sosialisme mengajarkan manusia untuk tidak
pasrah terhadap keadaan. Hal ini tautologi dengan penjelasan Suroto
tentang koperasi yang menghendaki adanya hidup harmoni dalam kerjasama
dan menempatkan kebebasan manusia sebagai individu untuk menetapkan
nasibnya sendiri. Dari ciri-ciri yang telah diuraikan menjadi terang,
koperasi adalah bagian dari tatanan sosial sosialisme. Tentunya
sosialisme yang tidak dibuat seram seperti yang dijelaskan Kawan Suroto.
***
Tulisan sebelumnya:
1. Tulisan Kawan. Suroto bisa dibaca di sini
2. Tulisan Kawan Firdaus bisa dibaca di sini
Referensi
Abdul, H. 2013. Krisis Kapitalisme dan Solusinya: Catatan Antropologi Ekonomi Politik, diakses http://etnohistori.org/krisis-kapitalisme-dan-solusinya-catatan-antropologi-ekonomi-politik-oleh-hatib-abdul-kadir.html
Dobrohoczki, R. 2013. Co-operatives as Spaces Of Cultural Resistance and Transformation in Alienated Consumer Society. Third Conference on the Works of Karl Marx and the challenges of the 21st century
Schmitt, R. 1997. Introduction To Marx And Engels: A Critical Reconstruction, Second Edition (Dimensions of Philosophy). Westview Press
Newman, M. 2005. Socialism: A Very Short Introduction. New York: Oxford University Press
Zaki, M. 2013. Sosialisme Ilmiah, diakses http://indoprogress.com/2013/06/sosialisme-ilmiah/
0 komentar:
Posting Komentar