Tidak Sekedar Otonomi: Pengantar Tantangan dan Peluang UU Desa

Oleh: Dodi Faedlulloh

Desa harus jadi kekuatan ekonomi
Agar warganya tak hijrah ke kota
Sepinya desa adalah modal utama
Untuk bekerja dan mengembangkan diri
 (Iwan Fals)

Khazanah Administrai Publik Abad 21 melihat desentralisasi atau otonomi sebagai tuntutan dan tantangan yang tidak hanya sebatas legal formal (Utomo, 2009:39). Lebih jauh, desentralisasi pun dianggap sebagai syarat dari demokratisasi (Cohen dan Peterson: 1999). Bahkan desentralisasi pun dipercaya sebagai obat mujarab pemerintahan (Rondinelli dan Cheema: 2003). Walaupun dalam praktika kebijakan desentralisasi otonomi yang berlangsung di Indonesia masih setengah hati. Hal itu ditunjukkan dengan pola zig-zag antara sentralisasi dan desentralisasi dalam menyusun paradigma otonomi daerah (Raharjo: 2012), agenda desentralisasi tetap memiliki tingkat urgensitas yang tinggi yang menjadi prioritas.


Tanggal 18 Desember 2013 lalu menjadi awal sejarah bagi keberlanjutan perkembangan desentralisasi di Indonesia, yaitu disahkannya RUU Desa menjadi UU Desa. Inilah sebentuk kreasi atau upaya seperti yang dijelaskan dua dekade lalu oleh Conyer (1983), desentralisasi perlu diartikulasikan sebagai suatu yang dinamis yang terus menyempurnakan diri sejalan perkembangan ruang dan waktu. UU baru ini akhirnya menempatkan desa memiliki otonominya sendiri.

Semangat UU Desa serupa dengan UU Otda yaitu menyoal pembangunan yang lebih merata serta menciptakan kemakmuran masyarakat yang lebih luas. Penciptaan kemakmuran menjadi salah satu tujuan karena problem klise ketika membahas tentang desa, yaitu menu utama bernama kesenjangan dan kemiskinan. Terkait ini, Sahdan (2007) menginformasikan:

Sekitar 80% APBN Indonesia digunakan untuk memproteksi dan menjaga kemewahan orang kaya, melalui injeksi penanaman modal, bantuan kredit investasi, dan sebagainya. Hampir sebagian besar anggaran negara (sekitar 70%) dihabiskan untuk membiayai birokrasi pemerintahan dan tidak sampai 1% dialokasikan untuk masyarakat miskin. Dari 1% yang dialokasikan ke masyarakat miskin, 90%-nya beredar untuk memperkuat kehidupan masyarakat miskin di daerah perkotan dan hanya 10%-nya yang disisakan untuk masyarakat miskin di daerah pedesaan. Sekitar 80% uang di negeri ini beredar di daerah perkotaan, dan sisanya baru masuk ke daerah pedesaan. Hampir 80% kekayaan negeri ini dinikmati orang kaya yang hidup dari koneksinya dengan birokrasi (kapitalis rente) dan hanya 20% yang dinikmati oleh orang miskin melalui berbagai program yang dirancang oleh pemerintah, seperti program BLT (Bantuan Langsung Tunai), pendidikan murah yang dibiayai negara melalui dana BOS (Biaya Oprasional Sekolah), dan sebagainya. Sekitar 17% anggaran negara digunakan untuk operasional militer, seperti pembelian senjata baru, peningkatan kualitas dan kuantitas peralatan perang (kapal laut, pesawat tempur), pelatihan militer dan sebagainya. Sangat ironis bahwa senjata yang dibeli dengan pajak rakyat, bahkan digunakan secara keliru untuk menembak rakyat.

Informasi di muka mempertegas urgensinya regulasi yang mengatur secara seksama tentang kesejahteraan desa. Hadirnnya UU Desa ini bisa menjadi momentum untuk kembali menggagas masa depan desa yang dipahami sebagai keseluruhan kerja semua pihak untuk meningkatkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat desa. Karena pasca 68 tahun Indonesia merdeka, yang terjadi pada masyarakat desa masih saja terbelit dalam kemiskinan dan ketertinggalan. Berubah-ubahnya regulasi tentang desa ikut memengaruhi naik turunnya nafas desa. Kedudukan desa menjadi semakin kabur. Karenanya hal utama yang harus dilakukan adalah mempertegas posisi politik dan kewenangan desa. Jika posisi politik dan kewenangannya telah jelas, kemandirian desa akan semakin terjamin.

Lahirnya UU Desa membawa peluang dan tantangannya tersendiri. Peluang untuk mewujudkan desa yang sejahtera semakin terbuka, karena UU Desa akan mengatur 10% dari APBN akan disalurkan ke desa. Dengan anggaran tersebut, desa diberi kewenangan untuk menggunakan anggaran yang ada demi mewujudkan desa yang makmur. Bak dua sisi mata uang, antara harapan dan tantangan tidak bisa dipisahkan. Anggaran 10% dari APBN tentu bukan jumlah yang sedikit bagi pembangunan desa, maka dari itu  pengaturan dan pengelolaan anggaran tersebut menjadi tantangan yang tidak dibisa pisahkan. Potensi penyalahgunaan akan selalu ada. Belajar dari pengalaman, desentralisasi yang memberikan kewenangan yang ‘berlebihan’ kepada tingkat lokal dinilai sebagai suatu kebijakan yang tergesa-gesa. Terlebih merujuk para ilmuan yang tergabung dengan International Crisis Group (ICG) menyebut kebijakan desentralisasi yang mulai diimplementasikan tahun 1999 silam sebagai “The Big Bang” policy (Nugroho dalam Irawati: 2010). Tentunya UU Desa yang baru ini wajib berada di luar kotak hitam kesalahan-kesalahan otonomi di tingkat lokal sebelumnya. Dalam kesempatan tersebut penulis berupaya memberi kontribusi sebagai pengantar awal untuk menganalisa peluang serta tantangan dari UU Desa.

Tentang Desa dan UU Desa 

Penulis pernah berdiskusi langsung dengan ketua Pansus UU Desa, Budiman Sudjadmiko  tentang UU Desa ini. Melalui analogi yang diberikannya, anggaran ini disimbolisasi bak pohon yang berbuah, dan buah tersebut tak lain adalah hak bagi rakyat, khususnya rakyat desa. Namun situasi hari ini pohon itu justru terlalu menjulang tinggi bagi rakyat desa, sehingga mereka tidak bisa mengaksesnya. Akhirnya buah tersebut hanya dikonsumsi oleh segelintir pihak yang memiliki power untuk menggapainya. Padahal power inilah yang sejatinya perlu dimiliki oleh masyarakat desa (Hu: 2008) (Bierschenk dan Olivier: 2003). Oleh karena itu dengan adanya UU Desa ini, negara seperti memberikan fasilitas galah kepada rakyat untuk meraih buah tersebut.

Lahirnya UU Desa merupakan peluang bagi daerah untuk menjadikan desa sebagai pusat pertumbuhan dan kreatifitas sosial ekonomi masyarakat di desa. Pemerintah daerah akan sangat terbantu dalam memberikan sentuhan nyata dan merata bagi masyarakat desa di seluruh wilayah karena sudah ada kepastian anggaran negara yang dialokasikan langsung di setiap desa. Dalam implementasinya ke depan pemerintah daerah tinggal lebih mengefektifkan koordinasi imperative, sehingga tata kelola pemerintahan dan pembangunan bisa berjalan efektif dan tidak disorientasi.

Sebelum melangkah jauh, untuk memperkuat basis konseptual, ada baiknya mempelajari tentang tipologi desa yang ada di Indonesia. Merujuk Eko (2007) sekurangnya ada lima model tipologi desa yang ada di Indonesia:


Tabel 1. Tipologi Desa di Indonesia
Tipe Desa
Deskripsi
Daerah
Ada adat, tetapi tidak ada desa
Adat sangat dominan. Desa tidak punya pengaruh.
Papua
Tidak ada adat, tetapi ada desa
Pengaruh adat sangat kecil. Desa modern sudah tumbuh kuat.
Jawa, sebagian besar Sulawesi, Kalimantan
Timur, sebagian Sumatera
Integrasi antara desa dan adat
Adat (tradisionalisme) dan desa (modernisme) sama-sama kuat. Terjadi kompromi keduanya
Sumatera Barat

Dualisme/Konflik antara adat
dengan desa

Pengaruh adat (tradisionalisme) jauh lebih kuat ketimbang desa. Terjadi dualisme kepemimpinan lokal. Pemerintahan desa tidak efektif.
Bali, Kalimantan Barat, Aceh, NTT, Maluku.

Tidak ada desa tidak ada adat
Kelurahan sebagai unit administratif (local state government). Tidak ada demokrasi lokal..
Wilayah perkotaan
Sumber: Eko (2007)

Dari tipologi desa menginformasikan perbedaan karakter desa dan kekhasan lokalitas yang ada di Indonesia berkonsekuensi logis pada ragam langkah  yang perlu digunakan sesuai dengan konteks desa. Karena bila ini tidak diperhatikan, bisa memunculkan resistensi terhadap pada bukan hal yang substansial.  Kasus penolakan yang mulai muncul, misal desa adat Minangkabau, karena dinilai konsep desa tidak bisa dipakai di Sumatera Barat dan beberapa daerah lainnya. Namun bila mempelajarai secara teoritik, penolakan tersebut menjadi hal yang kontraproduktif karena dari tipologi desa demikian memiliki kewenangan generik atau kewenangan asli, yang sering disebut hak atau kewenangan asal-usul yang melekat pada desa (atau nama lain) sebagai kesatuan masyarakat hukum. Zakaria dkk (dalam Eko, 2010) menyebut kewenangan inilah sebagai property right komunitas untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri atau yang sering disebut sebagai wujud otonomi asli. Ada beberapa jenis kewenangan generik yang sering dibicarakan:

  1. Kewenangan membentuk dan mengelola sistem pemerintahan sendiri.
  2. Kewenangan mengelola sumberdaya lokal (tanah kas desa, tanah bengkok, tanah ulayat, hutan adat, dll).
  3. Kewenangan membuat dan menjalankan hukum adat setempat.
  4. Kewenangan mengelola dan merawat nilai-nilai dan budaya lokal (termasuk adat-istiadat).
  5. Kewenangan yudikatif atau peradilan komunitas (community justice system), misalnya dalam hal penyelesaian konflik lokal. Di Sumatera Barat, misalnya, terdapat lembaga Kerapatan Adat Nagari yang mempunyai kewenangan dalam menjalankan peradilan, terutama penyelesaian sengketa pusako. Di Jawa, dulu, ada dewan morokaki, sebuah wadah para tetua desa yang memberikan pertimbangan kepada lurah desa, sekaligus menjalankan fungsi penyelesaian sengketa lokal.

Kemudian, berbeda pada masa Orde Baru yang memberangus keberagaman  lewat peraturan yang menyeragamkan pluralitas budaya dan istiadat, bila mengacu pada UU Desa tersebut dalam pasal 95 mengatur pemerintah dan masyarakat desa dapat membentuk lembaga adat desa. Dan lembaga adat desa merupakan lembaga yang menyelenggarakan fungsi adat istiadat dan menjadi bagian dari susunan asli desa yang tumbuh dan berkembang atas prakarsa masyarakat desa. UU ini tetap mengakomodasi nilai-nilai dan kearifan lokal. Karena bagaimanapun pengembangan kearifan-kearifan lokal yang relevan dan kontekstual memiliki arti penting bagi berkembangnya suatu bangsa, terutama jika dilihat dari sudut ketahanan budaya, di samping juga mempunyai arti penting bagi identitas daerah itu sendiri (Darmadi dan Sukidin, 2009:311). Jadi penolakan terhadap UU tersebut, hemat penulis lebih kepada hal yang bersifat permukaan, lebih kepada konteks pemahaman konsep. Jadi masih terbuka pintu titik temu antara perbedaan sudut pandang tersebut. Dalam dinamika administrasi publik adalah suatu yang wajar bila pro-kontra selalu menyeleimuti pelaksanaan regulasi yang baru. Kedepan pun tidak menutup kemungkinan UU  Desa berpotensi memunculkan konflik atau permasalahan politik dan sosial terbatas di desa.

Sekurangnya ada lima isu strategis dalam UU Desa ini, yaitu 1) Pembangunan Desa, 2) Keuangan, Aset dan BUM Desa, 3) Pembangunan Kawasan Perdesaan, 4) Kerja Sama Antar Desa dan 5) Lembaga Kemasyarakatan Desa.

Tentang Tantangan

Tantangan yang kemungkinan besar muncul dengan adanya UU Desa ini adalah proses politik perebutan jabatan kepala desa menjadi lebih panas. Dengan gelontoran dana 10% dari APBN  yaitu sebesar Rp. 59, 2 triliun untuk 72 ribu desa di Indonesia, belum lagi adanya aturan 10% dari APBD, diperkirakan memancing aktor-aktor potensial desa untuk memperebutkan jabatan kepala desa termasuk jabatan perangkat desa secara tidak sehat. UU ini menciptakan gravitasi yang kuat bagi orang di desa untuk terlibat dalam kontestasi kepala desa. Di sini akan muncul berbagai persoalan seperti halnya pemilihan kepala daerah misalnya maslaah money politic akan muncul dalam bentuk transaksi suara. Berkaca pada desentralisasi di lingkup daerah, Utomo (2009) menjabarkan beberapa permasalahan dalam praktik desentralisasi di tingkat lokal sebagai:

  1. Bahwa otonomi atau desentralisasi dimaknakan sebagai lingkup “uang”
  2. Demikian juga munculnya arogansi daerah
  3. Munculnya ekslusivisme daerah, sehingga sering terjadi tekanan-tekanan disintegrasi.

Seperti halnya harapakan  ketika disahkan UU Otonomi Daerah N0. 32 tahun 2004 yang lalu. Semua pejabat dan aparat lokal bergembira dan seolah UU tersebut bak oase di padang pasir. Demikian pun para pejabat desa, ketika UU tentang desa disahkan maka pada saat yang sama mereka bergembira dan mengalami kegembiraan yang sungguh luar biasa. Kegembiraan tersebut tidak menutup kemungkinan mewujud dalam bentuk kegembiraan individu dari figur-figur di desa. Jangan sampai mengulang sejarah transisi sistem pemerintahan Indonesia dari sentalisasi menuju desentralisasi yang melahirkan raja-raja kecil di daerah. Begitupula UU Desa ini semoga bukan menjadi proses migrasi korupsi dari daerah ke desa. Kalau ini yang terjadi maka dapat dipastikan akan banyak penyalahgunaan anggaran dan wewenang, apalagi kemampuan manajerial desa yang masih rendah mengafirmasi keraguan akan keberhasilan UU Desa tersebut. Oleh karena itu UU Desa harus menjadi perhatian bersama para pengambil kebijakan baik pada tingkat pusat maupun daerah.

Pasca UU Desa ini disahkan, pemerintah desa sebagai birokrasi perlu mentrasformasi diri menjadi, seperti yang diulas Abdullah (1991) secara normatif,  1) birokrasi pemerintahan umum, yaitu rangkaian organisasi pemerintahan yang menjalankan tugas-tugas pemerintahan umum termasuk memelihara ketertiban dan keamanan, 2) birokrasi pembangunan yang memiliki fungsi pokoknya yaitu fungsi pembangunan (development function) atau fungsi adaptasi (adaptive function); karena hal yang melatarbelakangi terbitnya UU ini adalah masih adanya ketimpangan pembangunan di desa dan 3) birokrasi pelayanan, yaitu unit organisasi pemerintahan yang pada hakikatnya merupakan bagian atau berhubungan dengan masyarakat. Fungsi utamanya adalah pelayanan (service) langsung kepada masyarakat. Pelayanan di sini bisa dimaknai sebagai mengakomodasi langsung aspirasi masyarakat desa.

Lebih lanjut, untuk menjawab berbagai tantangan yang muncul dari UU Desa ini, maka sebagai awalan perlu sosialisasi UU Desa dan pendidikan politik secara massif dan holistik di seluruh desa dengan pendekatan dan metodologi yang tepat. Pendidikan politik ini diselenggarakan dalam kepentingan intervensi sosial dalam membangun kesadaran masyarakat, terutama dalam kesadaran kritis (Alfitri: 2011) sehingga ke depan partisipasi masyarakat dalam pemilihan kepala desa adalah partispasi yang kririts. Karena partisipasi merupakan indikator penting untuk mengukur perilaku keberhasilan masyarakat desa dan kepentingan dalam pemilihan kepala desa (Shi: 1997) (Manion: 1997) (Kent: 1997).

Selanjutnya yaitu pengalokasikan dana sesuai dengan kriteria untuk mendukung pembangunan dan kesejahteraan masyarakat desa yang sudah mencakup: jumlah penduduk, jumlah penduduk miskin, ketersediaan infrastruktur untuk akses dan pelayanan dasar, dll. Selanjutnya pada tahapan skema pencairan, pemanfaatan dan pertanggungjawaban dana harus dibuat dengan baik sehingga alokasi menjadi efektif yang mengedepankan transparansi dan akuntabilitas, sehingga mengarah pada good village governance. Menyoal akuntabilitas, Chhatre (2008) berpendapat bahwa akuntabilitas dalam desentralisasi, begitupula dalam konteks desentralisasi pada desa, tidak dapat dikonseptualisasikan atau dianalisis secara terpisah dari akuntabilitas lembaga tinggi representasi dan pemerintahan, sehingga akuntabilitas desa akan selalu berkait erat dan saling berkelindan dengan akuntabilitas daerah dan akuntabilitas negara yang harus juga ikut mengawal dari keberlaksanaan dari UU ini.

 Implikasi dari hal-hal yang telah dijabarkan di muka, maka desa sekarang harus mulai memiliki rekening desa yang dapat dikontrol langsung oleh desa, kemudian desa pun perlu mulai merintis dan mengembangkan sistem informasi dan akuntabilitas pengelolaan dana dan pembangunan desa. Kemudian yang tak kalah penting dalam konteks SDM desa, perlu dilakukan empowering  kepala dan perangkat desa, yang akan mengelola keuangan desa.

Tentang Peluang

UU Desa membawa harapan dan peluang besar. Cita-cita pemerataan pembangunan sebagai capaian mimpi dari kemerdekaan bisa terwujud. Ragam tantangan yang disinggung sebelumnya bisa dikonversi menjadi peluang. UU ini merupakan peluang bagi daerah untuk menjadikan desa sebagai pusat pertumbuhan dan kreativitas sosial ekonomi masyarakat di desa. Desa benar-benar menjadi subjek, tak lagi sekedar objek. Karena selama ini,  desa hanya selalu menjadi obyek pembangunan dan eksploitasi dari sistem pembangunan nasional. Padahal, segenap sumber daya agraria dan termasuk sumber daya manusia di pedesaan. Desa menjadi sumber pangan nasional tetapi tidak mendapatkan prioritas dalam kebijakan pembangunan nasional. UU ini secara progresif berupaya menurunkan semangat desentralisasi sampai ke tingkat desa, tak hanya di daerah. Dengan bahasa lain, UU Desa merupakan langkah maju dalam pembangunan pedesaan dan sebuah capaian riil dari desentralisasi di level grass root.

Kemudian UU ini bisa memajukan adat istiadat dan budaya masyarakat desa, membangun sistem pemerintahan lebih efektif dalam kerangka pelayanan masyarakat, memajukan perekonomian msyarakat desa serta memupus kesenjangan pembangunan nasional. Untuk mengoptimalkan peluang tersebut, maka strategi yang perlu diperjuangkan adalah mendidik rakyat desa, supaya memiliki kemampuan untuk mengorganisasikan dirinya (self help) dan memobilisasi semua sumber daya yang ada di desa. Inilah yang didefiniskan Dunhan (dalam Rukminto, 2003:217-218) sebagai pengembangan masyarakat yang menjadi upaya terorganisir yang dilakukan guna meningkatkan kondisi masyarakat, terutama melalui usaha kooperatif dan mengembangkan kemandirian perdesaan.  Penguatan kapasitas masyarakat desa dengan cara mendorong mereka untuk terlibat langsung dalam mengontrol dan mengawasi pemerintah desa, menjadi kata kunci untuk mencapai masyarakat desa yang makmur, adil dan demokratis. Tanpa itu, masyarakat desa tetap terbelit dalam persoalan jeratan kemiskinan.

Bukan Penutup

Bercermin pada sejarah, sejak dikeluarkannya UU No.22/1999 tentang Otonomi Daerah sampai dengan diterbitkannya UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, berbagai program pemberantasan kemiskinan yang bersumber dari APBN, mengalir dari pusat. Tetapi minimnya pengawasan dan kontrol terhadap birokrasi, terutama di luar Jawa menyebabkan dana-dana tersebut habis dikorupsi oleh pejabat-pejabat lokal. Bahkan ADD (Alokasi Dana Desa) yang diamanatkan oleh UU No.32/2004 dan diperkuat dengan PP No.72/2005 tentang Desa, di sejumlah desa di luar Jawa belum dijalankan. Ada missing link yang menganga antara dokumen kebijakan dengan praktik. Maka dari itu, UU Desa yang mana tak lain dari antitesis desentralisasi daerah yang masih belum menjawab permalasahan soal kemiskinan, perlu memperhatikan celah-celah tantangan yang mungkin muncul serta peluang yang bisa diwujud nyatakan.

Tantangan mendasar dari UU Desa ini yaitu adanya potensi korupsi, perebutan jabatan kepada dan perangkat desa yang tidak sehat, dan pengelolaan dana pembangunan yang tidak akuntabel. Maka diperlukan langkah sosialisasi dan pendidikan politik di seluruh desa. Kemudian pengalokasikan dana sesuai dengan kriteria untuk mendukung pembangunan dan kesejahteraan masyarakat desa yang mengedepankan transparansi dan akuntabilitas. Implikasinya, desa harus memiliki rekening desa yang dapat dikontrol langsung, desa pun perlu mulai merintis dan mengembangkan sistem informasi dan akuntabilitas pengelolaan dana dan empowering  kepala dan perangkat desa, yang akan mengelola keuangan desa.

Peluang dari lahirnya UU Desa ini yaitu akan menjadikan desa sebagai pusat pertumbuhan dan kreativitas sosial ekonomi masyarakat di desa. Desa benar-benar menjadi subjek, tak lagi sekedar objek. Harapannya pembangunan akan bisa lebih merata. Mungkinkah?

Referensi

Buku
Abdullah, Syukur. 1991. “Budaya Birokrasi di Indonesia”. Dalam Alfian dan Nazaruddin Sjamsudin (ed.). Profil Budaya Politik Indonesia. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Alfitri. 2011. Community Development Teori dan Aplikasi. Yogyakarta. Pustaka Pelajar
Cohen, John M and Stephen B Peterson .1999 . Administrative Decentralization- Strategies for Developing Countries, Kumarian Press,Connecticut USA
Darmadi, Damai dan Sukidin. 2009. Administrasi Publik. Yogyakarta. LaksBang Pressindo.
Rondinelli, Dennis A. and G. Shabbir Cheema. 2003. Reinventing Government for the Twenty-First Century. Kumarian Press.
Rukminto, Adi Isbandi. 2003. Pemberdayan, Pengembangan Masyarakat dan Intervensi Komunitas. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Utomo, Warsito. 2009. Administrasi Publik Baru Indonesia, Perubahan Paradigma dari Administrasi Negara ke Administrasi Publik. Yogyakarta. Pustaka Pelajar

Jurnal
Chhatre, Ashwini. 2003. Political Articulation and Accountability in Decentralisation: Theory and Evidence from India. Conservation and Society 6(1): 12–23
Conyers, D. 1983. Decentralization: The Latest Fashion in Development Administration? Public Administration and Development, Vol. 3.
Bierschenk, Thomas dan Olivier, Jean Piere. 2003. Powers in The Village: Rural Benin Between Democration and Decentralisation. Africa (2)
Eko, Sutoro. 2007. Mempertegas Posisi Politik dan Kewenangan Desa. Mudik Edisi VII Agustus.
Hidayat, Syarif. 2008. Desentralisasi Dan Otonomi Daerah dalam Perspektif State-Society Relation. Jurnal Poelitik Vol 1 No.1.
Hu, Zongze. 2008. Power to the People? Villagers’ self-rule in a North China village from the locals’point of view. Journal of Contemporary China, 17(57), November, 611–631
Irawati. 2010. Desentralisasi dan Demokrasi pada Tingkat Lokal Nagari sebagai Symbolic Democracy. Jurnal Visi Publik Vo. 7 No. 1 April 2010.
Kent M, Jennings. 1997. Political participation in the Chinese Countryside. American Political Science Review 91(2), pp. 361–372
Raharjo, Warsisto. 2012.  Inkonsistensi Paradigma Otonomi Daerah di Indonesia : Dilema Sentralisasi atau Desentralisasi. Jurnal Konstitusi, Volume 9, Nomor 4.
Sahdan, Gregius. 2007. Membebaskan Desa dari Jeratan Kemiskinan. Mudik Edisi VII Agustus.
Shi. 1997.  Village Committee Elections in China. American Political Science Review 91(2), pp. 361–372
Tan, Qingshan And Qiushui, Xin. 2007. Village Election And Governance: Do Villagers Care? Journal of Contemporary China, 16(53), November, 581–599
Manion. 1997.  The Electoral Connection in the Chinese Countryside. American Political Science Review 91(2), pp. 361–372
Niasse M. 1997. The Misunderstandings of Decentralization and Their Impacts on Local Governance: The Example of Senegal. United States Agency for International Development (USAID): Abidjan.

Internet
Lembaga Adat Minagkabau Tolak UU Desa, diakses dalam http://politik.news.viva.co.id/news/read/467693-lembaga-adat-minangkabau-tolak-uu-desa pada tanggal 11 Januari 2014
Tantangan Otonomi Daerah dan UU Desa, diakses dalam http://www.jurnas.com/news/119595/Tantangan_Otonomi_Daerah_dan_UU_Desa/1/Nasional/Opini#sthash.hN7VXyZx.dpuf diakses pada tanggal 11 Januari 2014

Ilustrasi Gambar diambil dari http://www.trisusanti.com/2010/11/kearifan-lokal-tenggang-rasa-masyarakat.html

0 komentar:

 
Creative Commons License
All contens are licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-NoDerivs 3.0 Unported License.

Creative Commons [cc] 2011 Dodi Faedlulloh . Style and Layout by Dodi | Bale Adarma