IMAJINASI politik[1]
jadi ihwal yang minus dalam kerangka pemikiran sebagian banyak orang.
Menerobos sesuatu hal yang (dianggap) tak mungkin, langsung ditebas
semenjak dalam pikiran. Tampak mustahil mengandaikan suatu sistem
ekonomi, politik, sosial dan budaya selain dari sistem yang hari ini
begitu hegemonik: kapitalisme. Tentang imajinasi, patutnya para aktivis,
intelektual, dan seluruh elemen gerakan sosial mampu menjaga harapan
rakyat dengan terus menyemai gagasan-gagasan yang konsisten antara teori
dengan praktik, antara gagasan dan perilaku, serta antara cita-cita dan
jalan yang ditempuh. Memang, bak nasihat klise. Namun dalam situasi
yang fluktuatif, galauisme serta demoralisasi yang kerap menyerang para
aktivis sosial, kata-kata ini perlu kembali diperhatikan, bahkan
direnungkan.
Hancurnya imajinasi politik, ekonomi, sosial dan budaya perlu kita
bangun kembali. Merupakan tugas bersama merajut gagasan-gagasan
sosialistik yang tercecer. Dalam konteks sosial ekonomi, tak sedikit
para pemikir yang mencurahkan energinya terjebak dalam slogan-slogan
besar sosialisme dan teriakan ‘lawan!’ tanpa memperhatikan apa yang akan
diperbuat selanjutnya selain melawan. Sehingga, celakanya, predikat
imajinasi dalam gagasan sosialis bergeser makna menjadi imajinatif
(utopis). Lebih lanjut, masih dalam zona sosial ekonomi, membicarakan
koperasi di tengah hiruk pikuk kapitalisme yang riuh, tampaknya akan
dianggap bukan menjadi pilihan yang menarik. Oke, bila ada yang masih
beranggap demikian, untuk sementara saya nilai sebagai sesuatu yang
wajar, karena lagi-lagi gara-gara imajinasi politik yang tak
terpelihara.
Membicarakan Koperasi Sekali Lagi
Ketika kapitalisme menjunjung tinggi kekuatan kapital dan pemitosan
‘kebebasan individu,’ koperasi berjuang sebaliknya. Harkat diri manusia
diangkat pada tempat sebagaimana mestinya manusia. Secara dialektis,
koperasi lahir di dunia bukan sebagai badan hukum yang sering
dikumandangkan negara melalui undang-undangnya[2]
dan hanya berfungsi menjadi sedikit pembeda dengan bentuk badan usaha
lainnya. Melampaui salah-kaprah itu, koperasi justru berangkat dari
situasi material ketimpangan ekonomi sosial saat revolusi industri.
Pengusungnya, yang sering disebut sebagai Bapak Koperasi Dunia, Robert
Owen, selalu dikategorisasi sebagai sosialis utopis. Namun saya tidak
akan terlalu menyoal itu, karena Owen telah melakukan uji coba koperasi
sebagai bagian dari pengetahuan. Ujicoba ini menjadi inspirasi dan
membuktikan tentang imajinasi politik; bahwa alternatif sistem sosial
yang lain selain kapitalisme itu mungkin.
Sejenak mari tinggalkan romantisme cerita perjuangan Owen. Dalam
situasi hari ini, membayangkan koperasi ideal masih jauh panggang dari
api. Belum ada cerita menarik yang tersaji dalam pengalaman di
Indonesia, yang ada hanya koperasi-koperasi yang berjalan tanpa ruh,
koperasi proyek negara dan koperasi papan nama. Namun itulah justru
letak perjuangannya, kita perlu mengandaikan koperasi terlepas dari
cerita-cerita kelam, kita perlu mengambil posisi koperasi di luar
situasi yang dianggap mungkin dan normative, yakni koperasi sebagai
sistem atau koperasi sebagi corak produksi. Mengapa tidak?
Sebelumnya, kajian karya Prasetyo[3] dan Yakob[4]
memberi kontribusi inspiratif bagi saya untuk menuangkan gagasan
koperasi pada kesempatan ini. Bagaimana kedua penulis itu mengemukakan
tentang praktika koperasi serta gagasan titik temu aliansi antara buruh
dan petani dalam menyelenggarakan demokrasi ekonomi pasca reformasi
agraria yang sangat potensial untuk eksis. Imajinasi politik pun mulai
terajut.
Dalam beberapa diskusi, saya kerap temui pandangan tentang koperasi
yang berjalan di dalam stuktur masyarakat kapitalistik tak lain adalah
kapitalisme juga, kapitalisme yang moderat. Karena ihwal produk/jasa
yang dibuat koperasi pun akan sama-sama dilempar kepada pasar. Namun
nalar itu, hemat saya, menemui polemiknya; seolah perlawanan hanya
dengan kerja revolusi menumbangkan sistem, kekuasaan dan rezim secara
total. Padahal yang perlu ditekankan tanpa menjadi naïf, epos hari ini
merupakan epos kapitalisme, sulit menjumpai sesuatu yang tidak berkait
dengan relasi kapital. Kopi pagi yang diminum, jelas di dalamnya ada
relasi kapital, ada curahan kerja para petani kopi dan buruh-buruh yang
dikontrol kapitalis. Rokok, sepatu, baju, gadget dan hampir semua produk
dan jasa telah disentuh kapitalisme, termasuk gorengan yang kerap
dimakan sebagai teman diskusi perjuangan di angkringan itu pun tak lepas
dari relasi kapital. Hampir selalu! Dengan situasi demikian,
menjelaskan koperasi yang ada dalam kapitalisme tak lain merupakan
bagian dari kapitalisme menemui kontradiksinya. Padahal nuansa
perjuangan koperasi sejati adalah proses bottom-up rakyat yang mengorganisir diri menjadi anggota koperasi. Dengan kata lain, koperasi adalah people power.
Koperasi secara evolutif bisa berjejaring dan bekerjasama antar
koperasi dan berpotensi bertransformasi menjadi kekuatan yang bisa
menjadi countervailing dari kapitalisme. Koperasi memiliki kemampuan ‘gerilya’ ekonomi dan menusuk langsung jantung kapitalisme.
Guna memperluas dan meliarkan konsep koperasi, kita perlu
mengekstrapolasi koperasi ini sebagai sebuah sistem. Inilah muasal
gagasan koperasi progressif. Sebagai sistem, koperasi bekerja lintas
organisasi, apapun nama/bentuk organisasinya. Tidak terjebak pada badan
hukum, bahkan tanpa badan hukum pun sebenarnya koperasi (sebagai sistem)
bisa bekerja. Pendidikan seperti ini yang perlu disampaikan ke khalayak
luas,[5] sehingga tidak memperpanjang kesalah-pahaman masyarakat terhadap koperasi yang telah ter-sterotype.
Hal ini pun perlu dipahami secara serius oleh gerakan-gerakan kiri,
jangan sampai beranti-pati terhadap koperasi karena hanya menilik masa
lalu koperasi yang pernah menjadi produk rezim tapi tanpa pernah
meluangkan waktu untuk mempelajarinya. Analoginya, lantas apa bedanya
sikap demikian dengan pihak-pihak yang menolak komunisme karena menilai
komunisme itu seperti yang ditayangkan dalam film propaganda buatan orde
baru?
Bila mempelajari secara mendalam dan imanen, ada ‘hikmah’ yang bisa didapat dari tadarus koperasi. Misal saat tuntutan harian buruh dalam aksi mayday adalah
tentang kenaikan upah, maka secara inheren koperasi justru satu langkah
lebih depan dalam tuntutan; yaitu ‘saham’ harus dimiliki oleh kelas
pekerja. Sehingga pekerja bisa melakukan kontrol terencana terhadap
produksinya.[6]
Dengan kontrol kolektif sang pekerja memiliki secara utuh apa yang
diproduksinya dan bersama-sama mengatur bersama dari mulai bentuk,
kuantitas, distribusi produksi dan sebagainya.
Menakar Koperasi yang Kiri dan Progressif: Pengalaman Lapangan
Koperasi dalam konteks kekinian (sejatinya) memiliki kecenderungan
kiri. Kiri karena menolak kemapanan dari sistem yang hari ini hadir
secara hegemonik. Kemapanan dari sistem kapitalisme yang monopolistik
dipertanyakan ulang melalui kacamata demokrasi ekonomi koperasi.
Ketimpangan ekonomi-sosial yang terjadi akibat dari sistem ekonomi yang
tidak berkeadilan ini perlu didrive dalam keperluan imajinasi
untuk mencari alternatif sistem yang lain. Imajinasi dalam arti menembus
batas nalar-nalar konservatif, meliarkan gagasan lepas dari kotak hitam
bernama kapitalisme. Karena saat ini yang menjadi problem, seperti
disinggung di awal, adalah miskinnya imajinasi politik. Sulit
mengimajinasikan kehidupan di luar (yang sudah dianggap) kebiasaan.
Seolah tak ada lagi jalan hidup selain dari kapitalisme.
Mengimajinasikan sistem ekonomi berbasis koperasi menjadi alternatif
jalan yang bisa eksis bagi umat manusia tampak seperti lelucon siang
hari. Maka dari itu, gerakan koperasi sejati memiliki sifat progressif.
Progresif karena mengimajinasikan adanya loncatan ke masa depan (futuristic) yang lebih baik, lebih berkeadilan sosial, dan tentu lebih humanis.
Berjalannya sistem ekonomi yang berlandas pada koperasi (yang kiri
dan progressif), kita bisa berkaca pada situasi tahun 2001 di Argentina,
yang saat itu terkena badai krisis ekonomi yang dahsyat yang diikuti
dengan krisis politik akibat dari dampak diterapkannya sistem
neoliberalisme. Karena alasan stabilitas maka banyak pabrik dan
perusahaan yang ditinggalkan oleh pemiliknya sehingga menyebabkan jutaan
jiwa kehilangan mata pencahariaannya. Singkat cerita, para pekerja
terbangkitkan kesadarannya lalu melakukan pemberontakan dan perebutan
pabrik dan perusahaan yang ditinggalkan oleh pemiliknya yang
kabur. Pengalaman ini divisualisasi secara apik melalui film dokumenter
berjudul The Take yang dibuat oleh Naomi Klein dan Avi Lewis.
Setelah pendudukan perusahaan dan pabrik yang dilakukan para pekerja,
mereka pun menjadikan perusahaan dan pabrik tersebut menjadi koperasi
pekerja, manajemen dalam perusahaan swakelola didesain horizontal,
setara. Untuk posisi yang penting agar tidak terjadi sentralisasi
kekuasaan mereka melakukan penggiliran dalam penempatan posisi tersebut.
Di pabrik-pabrik yang diduduki dan diambil alih, sebuah bentuk hubungan
sosial baru dibangun. Di tingkat perusahaan dibentuk komite antar
perusahaan guna mengirimkan delegasinya untuk menjalin koordinasi di
tingkat wilayah. Para pekerja mempraktekkan swakelola, di mana pekerja
mengontrol seluruh jalannya produksi tanpa campur tangan para kapitalis
pemilik lama, politisi dan partai politik, bahkan negara.
Melalui pengelolaan manajemen langsung oleh para pekerja, upah pun
meningkat. Secara riil masyarakat langsung menerima kemanfaatannya,
barang yang diproduksi secara kolektif ini menjadi lebih murah. Kemudian
secara perlahan semangat koperasi menyebar, tidak hanya di tingkat
pabrik bahkan para guru dan pelajar juga menduduki sekolah-sekolah dan
kampus untuk mengujicobakan pengelolaan pendidikan di tangan kolektif.
Praktek-praktek swakelola juga melebar ke klinik dan pusat-pusat
kesehatan, perusahaan otomotif, garmen, serta dapur-dapur umum yang
kesemuanya dikelola secara otonom.
Mereka membangun solidaritas dengan buruh-buruh pabrik,
karyawan-karyawan di perusahaan yang telah diduduki untuk memberikan
pelayanan kepada masyarakat, bekerja sama dengan komite popular,
dewan-dewan komunitas, untuk mengorganisasikan masyarakat dalam struktur
yang sama sekali berbeda dengan sebelumnya. Inilah bentuk konkret
imajinasi politik tentang pembangunan sistem kehidupan alternatif yang
dirangkai oleh warga sendiri.
Sampai saat ini, masih pabrik banyak yang terus beroperasi dengan
sistem swakelola pekerja walaupun tidak sedikit juga diantaranya harus
kalah karena tindakan represif yang dilakukan oleh negara dan tentunya
kaum kapitalis.
Bukan Penutup
Contoh gerakan pekerja yang berkoperasi di Argentina bukan untuk dicopy-paste.
Karena Argentina bukan Indonesia. Ada kondisi obyektif materil yang
berbeda di antaranya, namun paling tidak hal ini perlu disuguhkan untuk
membuka mata. Ternyata koperasi bisa dibangun secara progresif. Koperasi
berpotensi sebagai media juang perlawanan rakyat. Oleh karena itu,
mempelajari bersama-sama koperasi (baik secara ideologi, politik, dan
organisasi) itu menjadi perlu bagi kelas pekerja, bagi petani, bagi
nelayan, bagi mahasiswa, bagi semua elemen masyarakat yang berjuang
melawan kapitalisme. Tentunya belajar dan berjuang untuk
mempraktikkannya.***
Penulis beredar di twitterland dengan akun @Dodi_Fdh
Tulisan ini sebelumnya dipublikasikan di Indoprogress tanggal 3 Januari 2014. Dimuat ulang untuk pendidikan.
[1] Hilmar Farid : Warisan Kunci Politik Orde Baru adalah Kemiskinan Imajinasi Politik, Sosial, dan Kultural! Diakses di http://indoprogress.com/lbr/?p=1364&fb_source=pubv1
[2] Di Indonesia koperasi diatur pemerintah melalui UU No. 25 Tahun 1992 yang dilanjutkan UU No. 17 Tahun 2012 yang kontroversial.
[3] Prasetya, Wisnu. Media Kooperasi Alternatif di Era Konglemerasi Media? Diakses di http://indoprogress.com/media-kooperasi-alternatif-di-era-konglomerasi-media/
[4] Yakob, Emilianus. Aliansi Kelas Pekerja dan Reformasi Agraria di Indonesia. Dapat diakses di http://indoprogress.com/aliansi-kelas-pekerja-dan-reformasi-agraria-di-indonesia/
[5] Dalam bahasa cantiknya perlunya pendidikan filosofis, nilai-nilai dan jatidiri koperasi sejati
[6] Tentang Koperasi Pekerja bisa baca artikel saya sebelumnya di Semangat Anti-Alienasi dalam Koperasi Pekerja http://indoprogress.com/koperasi-pekerja-dan-semangat-anti-alienasi/
1 komentar:
setuju, koperasi sangat dibutuhkan masyarakat indonesia
Posting Komentar