Oleh: Dodi Faedlulloh
Konferensi Tingkat Menteri WTO telah usai tanggal 6 Desember 2013 kemarin. Indonesia pun berhasil menjadi “tuan rumah” yang baik. Soal “tuan rumah” yang baik, negeri ini memang jagonya. Ragam perhelatan yang menentukan strategi-strategi akselerasi pertumbuhan kapital yang dilaksanakan lintas organisasi internasional akan berjalan aman sentosa. Hospitalilty sepenuh hati dijamin diberikan kepada para tamu. Bila akhir-akhir ini rezim kerap memberi nasihat pada rakyat untuk berhemat, namun kondisi sebaliknya, kita sulit menemukan pemandangan demikian dalam tubuh pemerintah. Inefesiensi anggaran bukan lagi menjadi problem. Yang penting pesta meriah, dan para tamu senang memilih menu-menu apa saja yang dijual Indonesia.
Padahal tak jauh dari tempat perhelatan, di Denpasar Bali, gerakan-gerakan massa dari lapisan masyarakat serta mahasiswa menolak kehadiran WTO. Mereka menuntut Indonesia untuk putus hubungan dengan organisasi yang kerap mengkampanyekan liberalisasi ekonomi ini, bahkan menuntut pembubaran sebagai konsekuensi logis dari tidak ramahnya WTO terhadap perkembangan peradaban manusia.
Tentang jejak hitam WTO, dengan mudah bisa kita temukan dari warna-warni tulisan bernuansa kritis yang terhimpun di berbagai literasi. Konteks Indonesia dan koperasinya, kini pasar dalam negeri dikuasai asing pelak menjadi pemandangan sehari-hari, tentunya kondisi ini mempersulit gerakan koperasi dalam zona ekonomi di negeri sendiri. Setelah lama begabung dengan WTO, semakin lama Indonesia semakin tergantung pada produk pangan impor. Sebuah ironi. Cita-cita mewujudkan ideologi ekonomi berbasis koperasi bak jauh panggang dari api.
Menimbang Sikap Koperasi
Koperasi mengajarkan tentang kerjasama, namun bukan tentang kerjasama segilintir pihak yang bertujuan untuk akumulasi dan eksploitasi. Pendidikan dalam koperasi justru menentang keras kebebasan-kebebasan absurd khas neoliberalisme. Karena hakikat koperasi adalah penghargaan setinggi-tingginya pada manusia, bukan pemujaan pada kapital seperti yang ditawarkan WTO dalam bentuk politik eufisme; stabilitas, kompetisi global, privatisasi dll. Untuk itu koperasi secara jatidiri tidak sejalan dengan garis WTO. Tengoklah agenda liberalisasi ekonomi yang menancap di bumi pertiwi berhasil mengkapling segala bentuk resources untuk diserahkan kepada asing, dan implikasinya koperasi diluluh-lantahkan.
Dawam Raharjo berujar ihwal gerakan koperasi yang sejati selalu mendasarkan diri pada kesadaran diri para pendukungnya, terlebih pada kesadaran bekerjasama. Tanpa kerjasama dan semata-mata menyerahkan pada persaingan pasar, hanya akan menimbulkan kerugian. Koperasi sudah saatnya perlu menentukan sikap. Sudah terlalu lama koperasi tidur lelap sambil menunggu kucuran belas kasih negara yang pada praktiknya negara justru selalu berada di pihak pemilik kapital. Akan sungguh cantik bila pada rapat-rapat koperasi, para anggota koperasi bisa duduk dan menentukan agenda bersama. Mendiskusikan siapa musuh utama dan target yang diharapkan. Sudah saatnya koperasi berada di garda depan dalam perubahan, koperasi bisa bergerak secara radikal tidak melulu mengambil posisi nyaman. []
*) Tulisan ini sebelumnya dipublikasikan di Buletin Kopkun Edisi 30|12|13Volume III . Dipublikasi ulang untuk kepentingan pendidikan.
Konferensi Tingkat Menteri WTO telah usai tanggal 6 Desember 2013 kemarin. Indonesia pun berhasil menjadi “tuan rumah” yang baik. Soal “tuan rumah” yang baik, negeri ini memang jagonya. Ragam perhelatan yang menentukan strategi-strategi akselerasi pertumbuhan kapital yang dilaksanakan lintas organisasi internasional akan berjalan aman sentosa. Hospitalilty sepenuh hati dijamin diberikan kepada para tamu. Bila akhir-akhir ini rezim kerap memberi nasihat pada rakyat untuk berhemat, namun kondisi sebaliknya, kita sulit menemukan pemandangan demikian dalam tubuh pemerintah. Inefesiensi anggaran bukan lagi menjadi problem. Yang penting pesta meriah, dan para tamu senang memilih menu-menu apa saja yang dijual Indonesia.
Padahal tak jauh dari tempat perhelatan, di Denpasar Bali, gerakan-gerakan massa dari lapisan masyarakat serta mahasiswa menolak kehadiran WTO. Mereka menuntut Indonesia untuk putus hubungan dengan organisasi yang kerap mengkampanyekan liberalisasi ekonomi ini, bahkan menuntut pembubaran sebagai konsekuensi logis dari tidak ramahnya WTO terhadap perkembangan peradaban manusia.
Tentang jejak hitam WTO, dengan mudah bisa kita temukan dari warna-warni tulisan bernuansa kritis yang terhimpun di berbagai literasi. Konteks Indonesia dan koperasinya, kini pasar dalam negeri dikuasai asing pelak menjadi pemandangan sehari-hari, tentunya kondisi ini mempersulit gerakan koperasi dalam zona ekonomi di negeri sendiri. Setelah lama begabung dengan WTO, semakin lama Indonesia semakin tergantung pada produk pangan impor. Sebuah ironi. Cita-cita mewujudkan ideologi ekonomi berbasis koperasi bak jauh panggang dari api.
Menimbang Sikap Koperasi
Koperasi mengajarkan tentang kerjasama, namun bukan tentang kerjasama segilintir pihak yang bertujuan untuk akumulasi dan eksploitasi. Pendidikan dalam koperasi justru menentang keras kebebasan-kebebasan absurd khas neoliberalisme. Karena hakikat koperasi adalah penghargaan setinggi-tingginya pada manusia, bukan pemujaan pada kapital seperti yang ditawarkan WTO dalam bentuk politik eufisme; stabilitas, kompetisi global, privatisasi dll. Untuk itu koperasi secara jatidiri tidak sejalan dengan garis WTO. Tengoklah agenda liberalisasi ekonomi yang menancap di bumi pertiwi berhasil mengkapling segala bentuk resources untuk diserahkan kepada asing, dan implikasinya koperasi diluluh-lantahkan.
Dawam Raharjo berujar ihwal gerakan koperasi yang sejati selalu mendasarkan diri pada kesadaran diri para pendukungnya, terlebih pada kesadaran bekerjasama. Tanpa kerjasama dan semata-mata menyerahkan pada persaingan pasar, hanya akan menimbulkan kerugian. Koperasi sudah saatnya perlu menentukan sikap. Sudah terlalu lama koperasi tidur lelap sambil menunggu kucuran belas kasih negara yang pada praktiknya negara justru selalu berada di pihak pemilik kapital. Akan sungguh cantik bila pada rapat-rapat koperasi, para anggota koperasi bisa duduk dan menentukan agenda bersama. Mendiskusikan siapa musuh utama dan target yang diharapkan. Sudah saatnya koperasi berada di garda depan dalam perubahan, koperasi bisa bergerak secara radikal tidak melulu mengambil posisi nyaman. []
*) Tulisan ini sebelumnya dipublikasikan di Buletin Kopkun Edisi 30|12|13Volume III . Dipublikasi ulang untuk kepentingan pendidikan.
0 komentar:
Posting Komentar