Fenomena Whistle Blower: Apa dan Bagaimana?

Oleh: Dodi Faedlulloh

Pengantar: Mengenal Whistle Blower 

Whistle blower, paduan kata yang kiranya tidak asing lagi di telinga kita. Kata yang pertama kali dipopulerkan oleh Ralph Nader, seorang aktivis di Amerika Serikat untuk menghindari konotasi negatif terhadap istilah informan atau pengadu ini, pernah kita dengar dalam beberapa kasus yang sempat menghangat ke permukaan yang diberitakan ragam media di tanah air, ketika ada beberapa orang internal organisasi yang memberanikan diri, baik itu politikus atau pejabat publik yang ‘bernyanyi’ tentang keburukan organisasinya yang tidak diketahui publik. Sebagaimana bunyinya, peluit memang kencang dan keras, metafora ini kiranya sangat tepat untuk menggambarkan seseorang yang mencoba membongkar kasus-kasus endemik dalam satu instansi tertentu. Karena begitu kencang, tak heran tidak sedikit orang yang malah benci mendengarnya. 


Dua akademisi, Michael W. Austin dan Michael A. Harper mencoba membedah secara serius ihwal whistle blower ini dalam karya mereka yang berjudul Whistle-Blowing: Corporate and Public Policy yang diambil dari salah satu bab buku antologi tulisan ilmiah para akademisi adminsitrasi publik yang judul besarnya Encyclopedia of Public Administration and Public Policy. Kedua akademisi yang berasal dari Amerika Serikat ini berupaya memetakan fenomena whistle blower yang terjadi di dalam korporasi dan bagaimana hendaknya kebijakan atau cara yang harus diambil untuk meresepon fenomena tersebut. Dalam intro paper tersebut, mereka mencoba memulai memaparkan konsep whistle blower yang dipinjam dari definisi yang diuraikan Jubb (1999) yang menjelaskan ‘‘Whistle-blowing is a deliberate nonobligatory act of disclosure, which gets onto public record and is made by a person who has or had privileged access to data or information of an organization, about nontrivial illegality or other wrongdoing whether actual, suspected, or anticipated, which implicates and is under the control of that organization, to an external entity having potential to rectify the wrongdoing.’’ Dan mengkomparisikan dengan definisi normatif dari Davis (2003) yang menguraikan sang whistle blower sebagai: 

You are morally required to reveal what you know to the public (or to a suitable agent or representative of it) when: (C1) What you will reveal derives from your work for an organization (C2) You are a voluntary member of that organization (C3) You believe that the organization, although legitimate, is engaged in a serious moral wrong (C4) You believe that your work for that organization will contribute (more or less directly) to the wrong if (but not only if) you do not publicly reveal what you know (C5) You are justified in beliefs (C3) and (C4) (C6) Beliefs C3 and C4 are true.

Dalam kedua konsepsi di muka, kita bisa berpijak pada beberapa hal yang selalu berkaitan dengan whistle blower. Yang utama ialah tentang dilematika. Secara kultural, tidak jarang orang-orang yang bekerja di satu organisasi tertentu dituntut untuk memiliki rasa keterikatan sosial baik dengan organisasi atau orang di sekitar yang menjadi rekan kerjanya. Alasan tersebut menjadi habit organisasi yang sebenarnya bisa berpengaruh buruk terhadap kesehatan organisasi yang berwujud pada loyalitas buta. Sedangkan yang akan dihadapi sang whistle blower tidaklah kecil. Pernyataan kebenaran kepada publik umum justu bisa menjadi bumerang bagi dirinya sendiri. Karena realita seringkali terjadi sebaliknya, sang pengungkap justru malah dihukum oleh instansi, ada penurunan pangkat, bahkan pengucilan dari rekan-rekannya yang tiba-tiba berubah menjadi musuh. Resiko yang harus ditanggung para peniup peluit amat berat, mulai dari ancaman kehilangan pekerjaan sampai kemungkinan munculnya intimidasi tidak hanya terhadap mereka tetapi juga terhadap anggota keluarganya. Tuduhan-tuduhan semacam “so suci” akan menjadi santapan tersendiri bagi si “pembuka aib”. Itulah ironisnya, realitas kini bertransformasi menjadi terbalik, yang benar belum tentu menjadi “benar” bagi pihak-pihak tertentu. Seorang pahlawan akan menjadi benalu di antara para mafia, yang putih justru dianggap “hitam” di antara lingkungan yang hitam legam.

Dilematika ini yang coba diproblematisir oleh kedua penulis. Dilema etika antara loyalitas terhadap organisasi tempat seorang bekerja atau loyalitas terhadap dirinya sebagai seseorang yang memiliki idealisme kuat yang ingin membongkar permasalahan yang dirahasiakan. Dalam hal ini penulis sedikit meloncat dari teks-teks Austin dan Harper dengan meminjam hasil kajian Glazer dan Glazer (1986) yang pernah melakukan studi terhadap 55 peniup peluit untuk mengungkapkan motif mereka meniup peluit meski mereka sadar akan risiko yang harus dibayar. Hasilnya, mayoritas peniup peluit mengungkapkan bahwa mereka memutuskan untuk meniup peluit berdasar keyakinan individual (www.antikorupsi.org) walaupun berkonsekuensi logis akan dianggap sebagai orang yang tidak loyal karena menjatuhkan perusahaannya sendiri atau mengungkapkan keburukan dari perusahaannya. Ada yang perlu diperjelas, dalam beberapa pandangan umum whistle-blowing sering disamakan begitu saja dengan membuka rahasia perusahaan, padahal substansinya sangat berbeda. 

Sebuah kebenaran tetaplah kebenaran, ketika dirasa sulit untuk mengungkapkan dan membenahi dari dalam maka permalasahan tersebut harus diungkapkan kepada pihak eksternal/publik, point ini lah yang ditekankan kembali oleh Austin dan Harper lewat penjelasan Jubb. Maka kedua ilmuan yang berasal dari University of Colorado at Boulder dan University of Arkansas berupaya menggeser paradigma loyalitas tersebut, agar tidak semata-mata terjebak dalam kerangka dilema loyalitas saja, yakni digeser menuju sebuah pemahaman yang lebih kompleks terkait keikutsertaan atau keterlibatan sang whistle blower, dalam bahasa Davis whistle blower disebut agen, dalam permasalahan tertentu. Titik pentingnya sampai mana keterlibatan sang agen tersebut dalam indikasi tindakan kecurangan atau pelanggaran yang dilakukan organisasi di tempat ia bekerja, yang tentunya hal ini berimplikasi pada sejauh mana keyakinannya tentang pemetaan kesalahan yang terjadi dalam organisasi tersebut, sehingga saat melaporkan indikasi kecurangan, data yang didapat bisa lebih valid, lebih-lebih semakin dalam keterlibatannya memungkinkan semakin kuat pula akses informasi tersembunyi yang bisa didapat. Bagi Austin dan Harper melalui uraian Davis, soal keterlibatan ini dianggap penting karena secara tidak langsung menjelaskan ikatan sang agen dengan tindakan internal organisasinya. Beda hal bila ada kasus, sang pelapor kecurangan namun tidak terlibat langsung, secara moral ini dibenarkan namun cendrung menjadi bias, karena biasanya pelaporan tersebut berangkat dari desas-desus dan sebatas kesaksian inderawi yang mana bukti-buktinya tidak lengkap. 

Menyoal Nasib Sang Peniup Peluit 

Hal penting dalam pembahasan whistle blower tak semata membincangkan kualitas kicauannya, namun ada hal yang lebih substansial, yakni bagaimana nasib sang peniup peluit setelah “bernyanyi”. Sebagaimana diketahui, untuk menjadi pengungkap aib harus memiliki keberanian yang luar biasa, karena apa yang akan dihadapinya di masa depan tidaklah ringan. Tak hanya sang pelapor atau sang agen, problem ini tidak menutup kemungkinan merambat kepada nasib keluarga sang pelapor. Tekanan-tekanan dan ancaman justru malah bisa tertuju pada keluarga sang pelapor. Inilah yang menjadikan permalasahan whistle blower ini begitu kompleks. 

Seperti yang disinggung sebelumnya, Austin dan Harper dalam papernya ini lebih menyorot fenomena whistle blower dalam studi korporasi/perusahaan. Maka dari itu hal-hal yang menjadi pertimbangan dalam penjelasannya selalu dikaitkan dengan bagaimana kondisi perusahaan. Meminjam penjelasan Jensen (1987), kedua penulis berupaya menguraikan kembali pertimbangan sang whistle blower untuk memilih berkicau atau tidak dari sisi psikologis dan finasial pribadi sang agen, misal konsekuensi akan dikucilkan rekan-rekan kerja, serangan terhadap keluarga, kehilangan pekerjaan, tidak mendapat pendapatan untuk penghidupannya, ketidak-percayaan publik karena biasanya sang whistle blower juga ada pelaku kecurangan, sampai pada pertimbangan kondisi internal organisasi baik untuk jangka pendek atau jangka panjangnya. Dalam soal ini ada baiknya memperhatikan hasil kajian dari Ana Radelat (dalam www.antikorupsi.org) yang memaparkan kajian berdasar survei terhadap 233 peniup peluit, di mana 90 persen dari mereka harus kehilangan pekerjaan setelah meniup peluit. Hal ini yang menjadi ketegangan moral dan patutnya kita jadikan PR bersama jika kita memiliki komitmen yang tinggi untuk memberantas pelanggaran yang selalu terjadi di organisasi publik/swasta yang bisa merugikan publik. Sekurangnya ada lima isu substansial yang diungkap Jensen menyoal ketegangan moral whistle blower, yakni: 

Moral obligations to organization and colleagues Ethical standards of, and obligations to, a profession Adverse effects of the action on family or primary groups Moral obligations toward oneself Ethical obligations toward the general public Effects on bedrock values.

Tentang Kebijakan: Mencari Titik Temu 

Selanjutnya menu utama dari tindak lanjut fenomena ini adalah menjembatani dan menjawab problem ini lewat produk hukum, baik berupa kebijakan publik yang dirilis pemerintah yang bisa melindungi sang pelapor atau keputusan yang dikeluarkan instansi tertentu untuk menciptakan atmosfer kondusif, misal diwujudkan dalam whistle blowing system. Kedua penulis menguraikan bagian ini melalui penjelasan DeGeorge (1982) dalam karyanya Business Ethics.

DeGeorge menawarkan tiga kondisi fenomena whistle blower ini bisa dibenarkan. Pertama, permasalahan yang terjadi bisa membahayakan publik. Misal yang dicontohkan oleh kedua penulis ketika ada salah satu karyawana tahu jika perusahaan tempat kerjanya memproduksi ban yang berkualitas buruk dan dapat membahayakan penggunanya, maka pengungkapan kepada publik perlu dilakukan. Kedua, sebelumnya permasalahan tersebut dilaporkan langsung kepada pimpinan dengan tujuan mungkin masih bisa ditangani secara internal, dengan klaim loyalitas dan citra perusahaan pun tetap terjaga. Ketiga, jika tidak ada itikad baik secara internal organisasi, sang pelapor bisa mengungkapnya ke pihak eksternal, bisa kepada publik, media, atau pun pemerintah yang bisa memberi tekanan pada perusahaan. DeGeorge, menurut kedua penulis, menekankan pada pentingnya hukum. Karena baginya hal inilah yang memungkinkan bisa dirubah dibanding praktik-praktik yang terjadi di setiap perusahaan yang setiap tempatnya memiliki perbedaan. DeGeorge berkomentar tentang keharusan membuat kebijakan publik yang melarang perusahaan memecat sewenang-wenang sang whistle blower dan menciptakan sebua media atau ruang publik yang bisa diakses, dalam paper ini disebut inspektur jenderal yang memiliki fungsi mencari praktik-praktik kecurangan yang terjadi di organisasi-organisasi, baik organisasi publik atau swasta dan memiliki fungsi ganda sebagai pusat pelaporan aspirasi. Akan tetapi kedua penulis juga sadar perlakuan aturan tersebut tidak semudah membalik tangan. Mengingat hal-hal yang bersifat politis itu selalu rumit, yang ada justru sebalinya: sang peniup peluit malah bisa diberikan sanksi dengan cara yang lebih halus oleh perusahaan yang bersangkutan. Maka strategi lain yang diperlukan untuk mendorong dan melindung whistle blower adalah pembentukan serikat kerja dan sebuah organisasi professional yang memberikan akses pelaporan. 

Kemudian dalam paper ini, kedua penulis sempat menjelaskan tentang pentingnya pembentukan program etika sebagai wujud dari komitmen perusahaan untuk mencegah kecurangan-kecurngan yang bisa terjadi, dan program ini pun menjadi pertimbangan tersendiri bagi pemerintah dalam menilai tanggung jawab perusahaan dalam menangkal kejadian-kejadian yang tidak diinginkan. Ketika kecolongan dan indikasi pelanggaran tetap terjadi, maka perusahaan harus segera melaporkan ke pemerintah serta segera memodifikasi etika program yang telah dibuat untuk menghindari masalah yang sama di masa depan. 

Idealita selalu berbanding terbalik dengan realita. Hal ini pun diungkapkan kedua penulis, melalui analisa hasil riset dan Near dan Dworkin (1998). Undang-undang nasional yang ada di beberapa negara perihal perlindungan whistle blower sampai saat ini bisa dikatakan belum efektif. Hasil riset tersebut membuka tabir karyawan merasa kebijakan tersebut tidak terasa sama sekali, dengan kata lain kebijakan tersebut tidak efektif dan tidak protektif. Ketidak-efektifan terlihat ketika banyak perusahaan di negara-negara yang sudah memiliki undang-undang perlindungan whistle blower, sama sekali tidak membentuk mekanisme internal dalam pelaporan kesalahan. Maka untuk memperbaiki situasi ini, Near dan Dworkin merekomendasikan untuk membentuk undang-undang yang secara efektif mampu mendorong karyawan yang sadar terhadap kesalahan pribadi dan organisasnya untuk berani mengungkapkannya dan pemerintah harus mendorong perusahaan untuk membangun saluran internal untuk whistle blower. 

Dalam hal ini, sekali lagi titik tekan kebijakan yang perlu dibuat adalah perlindungan terhadap pelapor dan penciptaan sistem di dalam tubuh perusahaan yang tidak semata hanya membenarkan adanya whistle blower tapi juga mendorong agar para pelapor lebih berani mengungkap permasalahan. 

Tinjauan Kasus Empiris

Ulasan dari paper Austin dan Harper ini lebih menyoroti fenomena whistle blower di dalam tubuh perusahaan, dan porsinya secara locus lebih banyak membahas peristiwa yang terjadi di Amerika Serikat. Namun secara umum sebenarnya hal ini pun juga terjadi di banyak tempat, tak terkecuali Indonesia. Agar tidak terlalu mengawang, penulis dalam kesempatan sub terakhir ini akan menjelaskan hasil review/ulasan dari paper di muka dengan kontekstualisasi Indonesia. Dengan harapan ulasan singkat ini bisa menjadi tinjauan akademis dan memberi sumbangsih gagasan dalam melihat fenomena whistle blower di tanah air. 

Membicarakan whistle blower memang memiliki kerumitan tersendiri. Di Indonesia sendiri istilah ini sempat menjadi trending topic pemberitaan di media massa. Masih ingat dalam ingatan kita nama Susno Duadji yang melaporkan dan mengungkap tentang adanya mafia pajak dan skandal di tubuh kepolisian. Ia disebut-sebut sebagai sang whistle blower. Lalu bagaimana respon penegak hukum melihat fenomena tersebut? Pada perkembangan terakhir, Mahkamah Agung melalui Surat Edaran Mahkamah RI Nomor 4 Tahun 2011 memberikan terjemahan whistle blower sebagai pelapor tindak pidana yang mengetahui dan melaporkan tindak pidana tertentu dan bukan bagian dari pelaku kejahatan yang dilaporkannya. Sedangkan salah satu pelaku tindak pidana tertentu, mengakui yang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan disebut justice collaborator. Dalam surat edaran ini memang memiliki perbedaan definisi whistle blower dengan definsi-definisi yang sudah dipaparkan sebelumnya. Namun agar tidak terbentur pada masalah konsepsi yang malah kontra-produktif, kita perlu menarik ini jauh kepada substansi yang lebih penting, yakni pada ranah tentang pelaporan pengungkapan pelanggaran dari seseorang baik itu (dalam definisi surat edaran) whistle blower atau justice collaborator yang sama-sama memiliki resiko yang besar. 

Surat edaran tersebut menyebutkan tindak pidana tertentu yang dimaksud adalah tindak pidana korupsi, terorisme, tindak pidana narkotika, tindak pidana pencucian uang, perdagangan orang, maupun tindak pidana lainnya yang bersifat terorganisir. Sehingga, tindak pidana tersebut telah menimbulkan masalah dan ancaman serius bagi stabilitas dan keamanan masyarakat. Surat edaran tersebut juga merupakan kebijakan yang mengatur peringanan hukuman bagi whistle blower Keringanan hukuman ini, lanjutnya, tergantung pada penilaian hakim di pengadilan tingkat pertama. Surat edaran ini merupakan hasil dari respon dari tuntutan yang begitu bernas dan masif dari publik tentang pentingnya landasan hukum perlindungan bagi sang pengungkap kasus. 

Dalam paper yang telah diulas sebelumnya, Austin dan Harper secara eksplisit menjabarkan tentang pentingnya integrasi pemerintah dan pihak perusahaan dalam menanggapi whistle blower. Jadi kebijakan yang dirilis tiada lain merupakan hasil konsensus dan bentuk komitmen dari semua pihak. Tak hanya berpusat pada desakan pemerintah tapi juga kebijakan yang berasal dari perusahaan itu sendiri. Mencari contoh konkret kasus whistle blower di Indonesia memiliki problem tersendiri. Karena unsur perlindungan masih sangat minim, misal pada kasus Susno Duadji pun masih debatable. Apakah sang pelapor, dalam hal ini Susno Duadji telah dilindungi agar tidak ada pihak tertentu yang menekan bahkan mengancamnya. Surat Edaran Mahkamah Agung ini pun lahir jauh hari setelah kasus tersebut muncul, yang sampai detik ini kasus tersebut tidak jelas penyelesaiannya. Maka dalam sub ini, agar tidak keluar dari penjelasan paper Austin dan Harper, penulis memilih memaparkan tentang studi kasus instansi tertentu di Indonesia yang merespon fenomena ini dalam wujud penciptaan sistem whistle blowing. 

Sebenarya sebelum istilah whistle blower populer pasca kasus Susno Duadji, pada tahun 2008 lalu Pertamina telah lebih dulu membangun dan menerapkan sistem whistle blower sebagai salah satu mekanisme kontrol atas jalannya perusahaan. Sistem ini diluncurkan pada 12 Agustus 2008. Merujuk pada buku Mengenal Whistle Blower yang disusun oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), ada beberapa hal penting yang menjadi topik di dalam sistem whistleblower di Pertamina adalah sebagai berikut: 
  1. korupsi; 
  2. kecurangan; 
  3. conflict of interest; 
  4. code of conduct; dan 
  5. peningkatan kedisiplinan 

Sistem ini merupakan salah satu bagian yang dibangun dalam rangka pelaksanaan Pertamina Clean, yang ditujukan untuk membangun atau menciptakan etika bisnis yang baik di lingkungan Pertamina. Sistem whistle blower ini merupakan komplementer dari mekanisme kontrol Pertamina yang telah ada. Pelaporan diusahakan dilakukan menggunakan sistem kontrol internal yang berlaku selama ini, baru jika memang tidak tersedia mekanismenya, maka dapat melalui sistem whistle blower ini. Prinsip-prinsip sistem whistle blower di Pertamina adalah sebagai berikut: 

  1. cepat dan tepat, maksudnya adalah penanganan adanya laporan terhadap pelanggaran, korupsi, dll di Pertamina harus ditangani dengan cepat dan tepat. 
  2. komunikatif, maksudnya Pertamina harus melakukan komunikasi terhadap pelapor terkait dengan perkembangan laporannya. 
  3. rahasia, maksudnya semua laporan yang masuk ke sistem ini adalah bersifat rahasia, termasuk identitas pelapor akan dirahasiakan. 
  4. akurat, maksudnya penanganan yang dilakukan terkait dengan hal-hal yang akurat bukan berdasarkan asumsi atau analisa pribadi tertentu. 
  5. itikad baik, maksudnya bahwa pelapor harus memiliki itikad yang baik dan bukan berdasarkan dendam atau orientasi tertentu pelapor untuk melaporkan pelanggaran seseorang. 
  6. proteksi, maksudnya semua orang yang melaporkan pelanggaran-pelanggaran atau kecurangan di Pertamina akan dilindungi oleh Pertamina. 
  7. tidak ada diskriminasi, maksudnya semua orang dapat melaporkan dan tidak ada diskriminasi penanganan atas laporan-laporan tersebut. 

Mengenai bentuk dan mekanisme pelaporan di Pertamina bisa bermacam-macam, bisa berbentuk pesan singkat melalui telepon seluler, telepon, surat, email, kotak surat, situs, dan fax yang penting laporan harus memuat 5W (what, when, where, who ,why ), dan 1H (how). Setelah ada laporan tersebut, pihak Pertamina akan mengirimkan pin kepada pelapor. Pin ini selanjutnya digunakan pelapor untuk mengecek perkembangan pelaporannya. Namun perlu diketahui, di lapangan meski laporan-laporan tersebut telah memuat unsur 5W dan 1H, tidak semua merupakan laporan-laporan yang akurat sekedar analisa atau asumsi tanpa bukti. 

Dalam konteks ini, ada benarnya penekanan Davis tentang sejauh mana keterlibatan sang agen dalam indikasi pelanggaran yang terjadi di suatu organisasi. Follow up dari laporan yang masuk, Pertamina melakukan pencarian data dan investigasi dan melakukan penanganan dengan cara menerapkan sistem kontrol internal yang sudah ada dan bisa juga dilakukan oleh pihak ketiga yang khusus menangani whistle blower system di Pertamina. Pertamina melakukan semua ini dalam maksud untuk membangun sebuah etika bisnis dan menjaga kondusifitas kerja. Seperti yang disinggung sebelumnya dalam review paper di atas, sistem ini pun dibangun sebagai bentuk wujud dari program etika sehingga bila terjadi pelanggaran dalam proses kerja, pihak yang berwajib menjadi lebih mudah mengidentifikasi dan menginvestigasi permasalahan apa yang terjadi di lapangan. 

Pertamina berupaya menjalankan sistem ini sedetail mungkin, sampai pada pembahasan siapa saja yang bertanggung jawab bila pelanggaran yang terjadi pada jajaran tertentu. Jika Mahkamah Agung melalui Surat Edaran Mahkamah RI Nomor 4 Tahun 2011 menjelaskan tentang keringanan hukuman bagi sang pelapor yang terbukti melakukan pelanggaran sesuai dengan keputusan hakim, namun sistem yang dibangun oleh Pertamina tidak demikian. Jika sang pelapor terbukti melakukan pelanggaran sanksi tegas tetap akan dihadapinya. Sedangkan perihal reward, Pertamina sama sekali tidak memberikannya, alasannya dikhawatirkan jika orientasi sang pelapor adalah reward justru ditujukan bukan kepentingan pengembangan perusahaan. Namun terkait pelaporan ini, Pertamina tetap memperhatikan unsur-unsur aksesbilitas pengaduan, kerahasiaan pelapor, tidak ada tendensi balas dendam dan semacamnya. Dan yang lebih penting, Pertamina tidak meninggalkan prinsip sosialisasi berkelanjutan. Pendidikan berupa etika bisnis dan pelaporan whistle blower menjadi menu sosialisasi pertamina kepada seluruh karyawannya. 

Penutup 

Studi praktik sistem whistle blower di Pertamina plus dengan kehadiran Surat Edaran dari Mahkamah Agung ini sedikit banyak menjadi refleksi ihwal yang dibedah oleh Austin dan Harper dalam papernya. Antara negara dan pihak-pihak instansi dalam hal ini sama-sama telah berbagi peran. Pihak Pertamina secara sistem internal sebagai sebuah perusahaan besar sudah menciptakan sistem yang terbuka dan mendorong bila ada whistle blower yang ingin mengungkapkan tabir-tabir pelanggaran. Mengenai hal ini, whistle-blowing system saat ini sudah mulai diadaptasi oleh banyak organisasi publik maupun organisasi private. Sebuah perkembangan positif dan perlu diapresiasi. Sedangkan dari pihak pemerintah, setidaknya sudah mulai muncul keseriusan dari pihak penegak hukum di Indonesia dalam merespon fenomena whistle blower dengan menghadirkan surat edaran tersebut yang bisa dijadikan landasan hukum bagi proses penindaklanjutan bila terjadi pengungkapan kasus oleh peniup peluit. Sehingga diharapkan tidak lagi terjadi kasus Susno Duadji yang saat mencoba membeberkan fakta malah diserang dari segala sudut. Walaupun pada kenyataanya sampai sekarang masih ada saja kasus-kasus yang memperlihatkan sang whistle blower selalu terancam keselamatannya. Seperti kasus Mufran Imron yang diancam akan dibunuh dan dibakar rumahnya karena menjadi peniup peluit kasus suap 27 orang dari 30 orang anggota DPRD Seluma (www.bengkuluekspress.com). Kemudian kasus whistle blower Simulator SIM, Sukotjo S. Bambang yang justru malah dipukuli oleh perwira polisi (www.tempo.co) atau yang terbaru, whistle blower kasus manipulasi pajak Asian Agrie, Vincentius Amin Sutanto yang diancam dibunuh (www.tempo.co). Namun di luar itu semua, optimisme tetap perlu digalakan dan perjuangan wajib dilanjutkan untuk melakukan perubahan menuju Indonesia yang berkeadilan. 

Kepustakaan Pendukung 
Davis, M. Whistleblowing. 2003. In The Oxford Handbook of Practical Ethics; LaFollette, H., Ed. Oxford University Press: Oxford. 
DeGeorge, R.T. 1982. Business Ethics. New York: Macmillan Publishing 
Jensen, J. 1987. Vernon ethical tension points in whistleblowing. J. Bus. Ethics. Jubb, P.B. Whistleblowing. 1999. A restrictive definition and interpretation. J. Bus. Ethics. 
Lembaga Perlingungan Saksi dan Korban. 2011. Memahami Whistle Blower. Jakarta Pusat: LPSK 
Near, J.P.; Dworkin, T.M. 1998. Responses to legislative changes: Corporate whistleblowing policies.
 J. Bus. Ethics.

Internet
http://www.antikorupsi.org/antikorupsi/?q=node/4675 diakses pada tanggal 27 Januari 2013 
http://bengkuluekspress.com/diancam-bunuh-dan-dijebak-wanita-cantik/ diakses pada tanggal 27 Januari 2013 
http://www.tempo.co/read/news/2012/08/03/063421075/Whistleblower-Simulator-SIM-Pernah-Dipukuli-Polisi diakses pada tanggal 27 Januari 2013 
http://www.tempo.co/read/news/2013/01/11/063453823/Diancam-Dibunuh-Vincent-Dibebaskan-pada-Dinihari diakses pada tanggal 27 Januari 2013

0 komentar:

 
Creative Commons License
All contens are licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-NoDerivs 3.0 Unported License.

Creative Commons [cc] 2011 Dodi Faedlulloh . Style and Layout by Dodi | Bale Adarma