Oleh: Dodi Faedlulloh, S.Sos.
Kementerian Koperasi dan UKM mencatat jumlah koperasi pada tahun 2011
lalu berjumlah 187.598 unit. Tidak menutup kemungkinan jumlah tersebut
semakin bertambah tahun 2012 ini, jumlah yang luar biasa sebenarnya.
Dan data tahun 2009 lalu mencatat 71.365 dari koperasi-koperasi tersebut
merupakan koperasi simpan pinjam ataupun unit simpan pinjam (KSP/USP).
Perlu diakui, ranah simpan-pinjam masih dianggap menarik, dengan kata
lain juga simpan-pinjam berarti masih dibutuhkan oleh khalayak banyak.
Apalagi saat ini pewacaan pemisahan unit simpan-pinjam dengan unit usaha lain yang biasa dijalankan koperasi, misal pada koperasi serba usaha cukup begitu masif. Pendikotomian ini dilakukan guna sebagai asas profesionalitas dalam koperasi. Walaupun agak keliru karena membahas yang khusus dalam lex generalis, dalam rancangan RUU Perkoperasian pun, unit-simpan menjadi pembahasan yang dominan. Sekurangnya situasi tersebut menjadi manifestasi realitas kontemporer: simpan-pinjam mempunyai tempat khusus bagi masyarakat Indonesia.
Tidak masalah jika jenis koperasi ini masih banyak dipilih oleh para
pegiat koperasi. Namun menjadi keliru bila hal ini justru dijadikan
sebagai alat pemeras masyarakat yang sedang membutuhkan. Karena bukan
satu-dua cerita, banyak koperasi yang melarikan uang anggotanya, ataupun
kisah pengalaman buruk lain. Sungguh menyakitkan bagi para pegiat
koperasi yang serius berjuang mendengar desus-desus di lapangan,
koperasi simpan-pinjam tak ubahnya lintah darat.
Untuk itu, perlu penjelasan komprehensif mengenai kesalah-pahaman ini. Adanya bad practice koperasi patutnya wajib dibedah secara mendalam, bukan dengan judge
atau sentimen tanpa mengetahui alasan utama kenapa koperasi gagal.
Berkaca pada pengalaman-pengalaman sebelumnya, koperasi-koperasi gagal
itu justru memang sudah gagal saat didirikannya. Gagal karena
pendiriannya bukan diarahkan menjadi koperasi, tapi sebagai ruang
mencari profit bagi orang-orang tertentu. Koperasi tak lagi dimiliki
oleh para anggotanya, tapi murni milik seseorang, tak ubahnya korporasi.
Jadi menggunakan badan hukum koperasi untuk mencari korban penghutang.
Inilah koperasi abal-abal atau koperasi papan nama, dan jelas sudah jauh
bahkan menyalahi konsep koperasi yang sejati. Perlu diingat “koperasi”
seperti ini yang harus diwaspadai.
Unit simpan-pinjam dalam koperasi sejatinya bukan sebagai alat
pencari keuntungan di tengah orang yang membutuhkan bantuan dana. Nalar
ini perlu dipermak, bahkan didekontruksi total. Seperti dalam
terminologi awalnya, koperasi yang diadaptasi dalam term co-operative yang artinya kerjasama, maka jelas raison d’etre unit simpan-pinjam dalam koperasi pun tiada lain ditujukan untuk saling membantu.
Masih adanya mindset yang keliru tentang simpan-pinjam juga
berkontribusi negatif terhadap perkembangan koperasi. Kekeliruan itu
yakni masih banyaknya anggapan keberadaan unit simpan-pinjam sekedar
untuk memenuhi kebutuhan pragmatis, dibutuhkan saat meminjam. Jadi hanya
aktivitas meminjam yang paling dominan. Hal ini yang membuat tidak balance.
Sayangnya ada semacam pembiaran tindakan tersebut dari para pengurus
koperasi. Bisa saja penyebabnya hal elementer, karena pengurus koperasi
memang tidak tahu-menahu tentang koperasi. Ini fatal.
Budaya Saving
Salah satu prinsip koperasi adalah pendidikan, pelatihan dan
informasi. Di sini menunjukan dari awal, kewajiban yang seharusnya
dilakukan koperasi adalah memberikan pendidikan menyeluruh dalam
mengenalkan koperasi kepada para anggotanya. Dalam tahap ini,
orang-orang yang terlibat dalam kegiatan koperasi, baik itu pengurus,
manajemen ataupun yang lainnya wajib menyampaikan substansi bagaimana
koperasi berjalan dan ruh yang harus disematkan dalam setiap aktivitas
koperasi.
Oleh karena itu, koperasi yang bergerak di unit simpan-pinjam harus
mampu menjelaskan inti dari simpan-pinjam ala koperasi. Perlu adanya
pendidikan berkelanjutan sebagai upaya membangun kesadaran anggota,
bahwa norma dari simpan-pinjam ala koperasi adalah reciprocity. Taylor yang dikutip oleh Putnam (2000) menjelaskan reciprocity ini sebagai, “Each
individual act in a system of reciprocity is usually characterised by a
combination of what one might call short-term altruism and long-term
self-interest. I help you now in the (possibly vague, uncertain, and
uncalculating) expectation that you will help me out in the future.”
Sederhananya, kita membantu saudara kita hari ini dengan menyimpan,
dan suatu waktu tertentu kita akan dibantu oleh saudara-saudara kita,
ketika kita butuh pinjaman.
Peribahasa “barang siapa menanam maka dia lah yang menuai” bisa
menjadi istilah yang tepat digunakan untuk menggambarkan bagaimana unit
simpan-pinjam seharusnya bekerja. Budaya saving perlu
ditumbuhkan kembali, jadi yang berkembang di kepala pengguna manfaat
koperasi bukan nalar pragmatis pinjam, tapi juga simpan.
Perlu diamini langkah tersebut tidak bisa dilakukan dengan sekali-dua
kali jalan langsung jadi. Maka dari itu koperasi sudah wajib
mempersiapkan sistem untuk mengawalnya, yakni regulasi internal di dalam
tubuh koperasi. Misal para anggota hanya boleh meminjam tak lebih dari
dua kali lipat jumlah tabungannya. Akhirnya sistem bisa mengstimulus
para anggota berlomba dalam hal menyimpan. Jadi hanya mereka yang secara
sadar menanam yang dapat menuai hasilnya.
Kemudian saat pembayaran pinjaman, perlu juga sistem yang mengatur agar tetap dalam koridor institutionalization budaya saving. Dari jumlah cicilan yang dibayarkannya, misal 5-10% dimasukan sebagai saving. Sehingga dua aktivitas dilakukan bersamaan, membayar juga kembali menabung.
Sebagai usaha yang dimiliki bersama oleh seluruh anggota, besarnya
aset dan kemanfaatan koperasi akan berbanding lurus dengan partisipasi
ekonomi para aggotanya. Mengingat anggota adalah pemilik, maka setiap
anggota diwajibkan untuk menyertakan modal dalam bentuk Simpanan Pokok
dan Simpanan Wajib untuk mengembangkan usaha koperasi. Untuk
mencapainya, tentu lagi-lagi butuh proses edukasi yang ketat pada para
anggota.
Model-model yang seperti ini perlu dikembangkan oleh banyak koperasi
simpan-pinjam di Indonesia, agar bisa ”menyehatkan” pikiran masyarakat
yang sudah terbiasa dinina-bobokan dengan budaya gali lobang-tutup
lobang dengan harapan koperasi simpan-pinjam yang ada hari ini, esok dan
selanjutnya adalah simpan-pinjam yang berbasis kesadaran.[]
*) Tulisan ini sebelumnya telah dimuat di Harian Pagi Satelit Post, Tanggal 25 April 2012 dalam Rubrik Public Service.
2 komentar:
apalagi sekarang,
kalau koperasi udah terlalu besar jadinya lembaga keungan,
bahkan sekarang udah ada bebrapa yang jadi bank..
suatu penalaran yang harusnya ditanamkan pada pendiri koperasi!
Kalo aku punya modal pengen mendirikan koperasi model gtu yang mengembalikan koperasi pada fitrahnya bukan murni sebagai ladang bisnis seseorang! ayo bikin koperasi blogger
Posting Komentar