Oleh: Dodi Faedlulloh
Politik, asosiasi khalayak banyak terhadap kata ini adalah kotor. Atau dari kalangan sekaliber Gie pun mengucapkan politik itu barang yang paling kotor, lumpur-lumpur yang paling kotor. Lantas jika memang seburuk itu citra politik, untuk apa ada politik?
Memang bila menyaksikan kondisi politik Indonesia kini konotasi-kontasi buruk untuk politik tampaknya tepat dilabelkan. Bukan tanpa sebab, berbagai perilaku mis baik secara personal si politisi ataupun jamaah baik itu partai atau kelompok tertentu, memperlihatkan pemandangan demikian. KKN-lah, inladerlah, konspiratiflah, saling tudinglah, dan bla-bla lainnya yang tak terhitung. Namun masih menurut Gie, “Tetapi suatu saat di mana kita tak dapat menghindar diri lagi maka terjunlah. Kadang-kadang saat ini tiba, seperti revolusi dahulu.” Terjun ke dunia politik tak harus dimaknai sesederhana, walapun jalan menempuhnya tetap sulit, menjadi caleg atau mengincar posisi jabatan politik. Karena aktivitas politis bisa dilakukan di ranah-ranah lain.
Mengusung Gie dalam paragraf awal agak sedikit absurd. Terlalu tiba-tiba. Tapi sekurang-kurangnya, dia adalah panutan, tak jarang jadi cerminan mahasiswa kontemporer, bahkan bisa terkategorikan sebagai tokoh. Ucapannya yang dikutip kali ini adalah benar, karena bila ada pembiaran dari kita terhadap adanya kebusukan politik, maka kelanggengan rezim politik saat ini lambat-laun akan menindas masyarakat. Aristoteles menyatakan bahwa sejatinya manusia adalah a political being. Hal ini menunjukan manusia tak pernah bisa lepas dari atribut dan perilaku politik dalam kesehariannya. Dengan itu manusia harus berpolitik.
Masyarakat begitu dahaga akan politik yang bersih dan pro kepada masyarakat. Dari sisa keputus-asaanya, sebagian darinya mendambakan seorang pemimpin yang berkarakter berbeda dari yang sudah-sudah. Tapi sayang tidak sedikt yang terjebak dalam penilaian moralis. Tampil berbeda hanya dalam permukaan pastinya tak akan merubah substansi. Misal adalah keliru ketika mengharapkan sosok yang religius normatif menjadi pemimpin negeri. Padahal si orang tersebut justru pemuja liberalisme ekonomi, yang nyata-nyatanya telah berhasil memarjinalkan masyarakat luas dari kesejahteraan. Ataupun keterjebakan indahnya term demokrasi yang sangat mudah dilekukan. Dengan demokrasi segalanya menjadi relatif, cukup didiskusikan dengan sentuhan moralis dan kesantunan, sesuatu yang jahat bisa tampak sempurna.
Keterjebakan ini memang pelik. Substansi dan tampilan menjadi bias. Misal ketika gaya hidup politisi kita yang selalu hidup bermewah-mewah, ada politisi yang hanya menggunakan jam tangan sampai seharga ratusan juta rupiah, atau punya mobil yang harganya sampai nominal miliaran rupiah. Masyarakat jengah melihat kondisi tersebut, akhirnya merindukan sosok yang tampil berbeda. Dengan alasan itu ketika hadir pejabat politik yang tampilan sederhana yang terus menerus diulas media, masyarakat langsung berdecak kagum dan berhalusinasi “Inilah pejabat yang kita rindukan!” Jika hanya memandang kesederhanaan si pejabat yang selalu tampil beda dan tak jarang menggunakan transportasi umum saat pergi ke kantornya, jelas itu keliru. Penilaiannya terlalu parsial, lagi-lagi terjebak di permukaan. Di luar justifikasi pencitraan, bisa saja kesederhaan tersebut sudah menjadi habitus si pejabat. Namun bila rupa-rupanya si pejabat yang hidup sederhana yang juga diisukan bakal menjadi capres, justu pendukung proyek privatisasi dengan logika efisiensi dan profesionalisme, bahkan berusaha menjadikan liberalisasi ekonomi sebagai doxa bagi masyarakat umum, tentu penilaian masyarakat tadi telah sesat pikir. Ataupun yang sedang hangat-hangatnya sekarang, seorang kader partai yang sedang berkuasa disinyalir terlibat korupsi. Sialnya politisi ini juga artis yang memiliki celah problem pribadi tentang keluarga yang kemudian dibongkar habis-habisan oleh media. Berita tentang gossip hampir bercerai dan kehidupan glamornya si terduga pelaku korupsi terus memborbardir dirinya, seolah ada harapan data-data penilaian negatif dari sisi moral tersebut akan melegitimasi si artis pantas korupsi, karena kelakuannya saja seperti itu. Dalam hal ini bukan berarti mendukung si politisi artis, tapi penilaian tersebut jauh dari kata ilmiah, tak ada relevansinya sama sekali, hanya belandas pada etika, melankoli, dan penilaian moral yang tak proposional.
Kondisi ini membawa kita ke labirin permasalahan politik. Belum lagi tampilan demokrasi ala borjuis yang bisa menina-bobokan massa. Klaim demokrasi sebagai sistem politik yang paling memanusiakan, kerena dalam sistem tersebut semua manusia memiliki hak yang sama dalam memilih, dipilih, beraspirasi dan berorganisasi, namun dalam praktiknya bak jauh panggang dari api. Bahkan dalam level yang lebih tinggi, demokrasi ini justru menjadi alat borjuis untuk melanggengkan kekuasaannya. Ketika posisi-posisi politik dipegang oleh para pemuja kapital maka benarlah perkataan Marx tentang negara adalah “...a committee for managing the common affairs of the whole bourgeoisie.”
John Girling dalam buku Corruption, Capitalism and Democracy (1997) menjelaskan watak demokrasi liberal borjuis telah melahirkan korporasi politik. Politik, yang seharusnya menjadi arena bersama untuk menentukan nasib sebuah bangsa, telah bermetamorfosis menjadi “perusahaan” milik para pemegang kapital. Stament Girling ini bisa menjadi guide sementara dalam menentukan penilaian agar tak tak terjebak dalam permukaan politik.
Politik kontemporer tereduksi sebatas politik transaksional saja, logikanya untung-rugi. Transaksi tersebut hadir di saat pemilu dan terus berlanjut sampai para pemilik kapital terpilih menjabat posisi pejabat publik, dengan corak transaksi yang berbeda. Saat pemilu mencari dan membeli suara, kemudian saat menjabat hitung-hitungan dengan cara yang beragam. Karena secara moral politik, mereka yang menjabat adalah sah, maka mereka bisa melakukan eksploitasi sumber daya secara sah juga dengan melakukan transaksi dengan pihak korporasi ataupun kelompok-kelompok yang pernah ‘membantu’ sampai akhirnya jabatan tersebut diduduki dengan rapi. Beginilah penampakan sehari-hari rezim kapitalisme.
Dari kondisi di atas, maka kehadiran politik yang busuk seakan menjadi keniscayaan, selalu dan akan pasti terjadi. Dalam hal menjaga status quonya, rezim kapitalis akan menggunakan sentuhan moral untuk mengaburkan kontradiksi yang ada dalam kapitalisme. Bisa lewat lembaga pendidikan, agama, etika, atau perspektif idealisme. Akhirnya realitas sukar dilihat secara jernih karena tertutup oleh tafsiran-tafsiran dan sentimen moral kita, bahkan ide dari realitas pun bisa dirubah begitu saja dan menyembunyikan struktur dasar yang melandasinya. Maka asumsi yang seringkali muncul cukup dengan pemimpin yang jujur, tampilan spritualnya mantap, atau seperti contoh sebelumnya, yang sederhana dan senang berkendaraan umum, maka permasalahan politik dianggap selesai, dan ini keliru! []
2 komentar:
Pada dasarnya politik itu identik dengan kekuasaan & kekuasaan berarti keleluasaan untuk memanipulasi hal-hal di sekitarnya secara lebih mudah. Makanya gak heran kalau politik itu kerap diidentikkan dengan konotasi negatif karena demi kekuasaan, tidak jarang orang memakai cara apapun sekalipun caranya tidak etis.
Pada dasarnya politik itu identik dengan kekuasaan & kekuasaan berarti keleluasaan untuk memanipulasi hal-hal di sekitarnya secara lebih mudah. Makanya gak heran kalau politik itu kerap diidentikkan dengan konotasi negatif karena demi kekuasaan, tidak jarang orang memakai cara apapun sekalipun caranya tidak etis.
Posting Komentar