Tentang Kehormatan : “Simpati” untuk Gadis Ibu Kota

Oleh : Dodi Faedlulloh

Saya tampaknya sempat terjebak dan terpeleset dalam mindset generalisasi. Produk kultur dalam epos hari ini biasanya adalah homogenitas, seolah berpenampilan paling beda tapi justru yang hadir malah keseragaman, bahkan di luar kesadaran awam, terbentuk secara sistematis, atau bahkan, bisa saja terorganisir  rapi dari pihak yang mengendalikan. Zaman terus berubah, semangat akulturasi, namun malah menjadi celah meng-evolusi budaya diri, lambat laun akhirnya gerbong modernitas menjadi punggawa. Moderintas yang seragam tentunya. Jadi bukannya akluturasi, yang ada proses menyampingkan budaya diri lalu semangat berbondong-bondong menuju budaya kekerenan.

Modernitas ini memunculkan kompromitas dan permisifitas, yang dulu dicegah sekarang tidak bisa berbuat apa-apa. “Harus gimana lagi? Zaman sudah berubah,” statement yang sering keluar dari bibir-bibir manusia modern. 


Pengaruh tingginya tingkat ulah kebercandaan saya dan kawan-kawan bisa jadi menjebak, bias antara meng-iyakan dan tidak. Lingkungan sering bergosip tentang gadis ibu kota, mozaik perbincangan biasanya menyerempet pada sulitnya menemukan gadis yang masih steril, suci, atau perawan dalam bahasa vulgarnya. Masuk dalam obrolan-obrolan tersebut saya malah mengamininya, ya bukan tanpa ada alasan, setidaknya banyak berita, artikel, bahkan kajian khusus yang menyajikan tentang hal demikian; tentang pergaulan bebas. Akhirnya saya mengambil hasil ‘konsensus’ lingkungan tersebut.

Jadi ingat apa yang sempat diungkapkan oleh Jarot, aktivis dari Banyumas. Dalam satu kesempatan dia pernah menghimbau untuk tidak membiasakan diri jatuh dalam streotiping. Pada hakikatnya, seburuk apapun itu sistem, ruang, organisasi atau apapun, pasti tetap akan ada beberapa orang yang masih punya prinsipnya tersendiri. Masih ada orang-orang yang berpikir dan berlaku waras walaupun itu dalam lumpur.

Malam itu dalam permainan ‘Truth or Dare’, sahabat  saya, terkena pertanyaan yang harus dijawab dengan jujur. Saat itu privat memang benar-benar tak lagi bertameng, dibongkar habis-habisan. Dia berujar tentang keluguannya. Dengan tegas dia mengkategorisakan diri masuk ke dalam seorang yang polos. Untuk hal-hal yang “aneh-aneh” dia tidak pernah begitu punya hasrat untuk mencobanya, bahkan untuk ritual remaja nonton bokep pun baru dilakukan saat beranjak duduk di bangku kuliah. Saya kira ibu kota bisa mewakili karakter penghuninya, ternyata tidak. Contohnya sahabat saya ini. Titik ekstrimnya saat pacaran adalah kissing, level kompromitas budaya yang paling rendah saya kira. Di luar tentang penilaian subjektif tentang aktivitas ciuman, saya tetap mengapresiasi luar biasa untuk sahabat saya ini. Hasil obrolan, senda gurau yang telah terinternalisasi tentang streotip perilaku dan pergaulan bebas ternyata roboh begitu saja. “Oh iya ya,” guman saya dalam hati di akhir jawaban permainan tersebut. Tidak semua orang berkelakuan sama. Masih ada yang punya pendirian dan prinsipnya sendiri untuk tidak terbawa arus utama perspektif kekerenan yang berlaku luas hari ini.

3 komentar:

eezha mengatakan...

Nice post bung!

Menurut pemikiran subjektif saya, daya defense dari "keluguan" seseorang tdk lepas dari keberadaan pop culture yg telah menyebar di dalam ruang pikiran dan realitas dari manusia2 di jman modern sprt skrang ini. Secara psikis, hampir setiap manusia (modern) akan mnfilterisasi culture tsb yg bkan tdk mungkin (wlpun scra prinsipil dianggap sbg guilty pleasure) mrka akan trjebak di dlmnya. Tapi smpai dmn mrka akan mnjejaki atau memahami ktrjebakan tsb. Selamat utk sahabat km yg telah membatasi langkah di dlm culture tsb. Dan bagaimana dgn sukses utk saya dan kamu?

Annur Shah mengatakan...

hehe.. seneng bacay,,,

serem juga klo dibaca ttg keluguan gadis2 itu...

saya tw ttg apa itu film kotor baru SMA. Bahkan saya sempat berpikir sekolah gudangnya maksiat saat SMA.
mau tak mau untuk pembelajaran mengenal siapa mereka...

sempat dicap sbg orang lugu bahkan canggung. namun keluguan hrus bisa ditempatkn.

coba mmpir ke blog ku yuk??

Bagus H. Jihad mengatakan...

Setuju sekali dengan pendapatak benar anda, tidak benar bila kita harus menyamaratakan sesuatu.

Masih banyak, mereka yang menurut anda" punya pendirian dan prinsipnya sendiri untuk tidak terbawa arus utama perspektif kekerenan yang berlaku luas hari ini"
Tlisan yang bermanfaat.

Oh ya Sobat, Anda berkesempatan dapat buku: "Enlightenment: Mencapai Pencerahan Diri", dengan berkomentar di http://baguserek.blogspot.com/2011/12/enlightenment-mencapai-pencerahan-diri.html
http://baguserek.blogspot.

Salam Takzim.

 
Creative Commons License
All contens are licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-NoDerivs 3.0 Unported License.

Creative Commons [cc] 2011 Dodi Faedlulloh . Style and Layout by Dodi | Bale Adarma