Selarasnya Koperasi dan Islam

Oleh : Dodi Faedlulloh

Dalam sejarah koperasi modern dunia, menyebutkan bahwa koperasi lahir di Barat. Tepatnya di Rochdale, Inggris pasca revolusi industri . Tapi bukan menjadi persoalan koperasi berasal dari mana karena inti dari koperasi itu sendiri adalah membicarakan tentang humanisme. Dalam Islam, koperasi tergolong sebagai syirkah/syarikah. Lembaga ini adalah wadah kemitraan, kerjasama, kekeluargaan, dan kebersamaan usaha yang sehat, baik, dan halal.

Karena asal-muasalnya dari Barat bukan berarti koperasi akan bertentangan dengan islam. Sebutlah (dan memang selayaknya) koperasi adalah suatu sistem. Suatu sistem yang mana usaha berbasis orang bukan berbasis modal dan begitu men-tuhankan kapital seperti perusahaan-perusahaan kapitalistik. Nilai-nilai yang terkandung dalam koperasi semacam swadaya, swa-tanggungjawab, kebersamaan, kesetraan, keadilan dan kesukarelaan individu tentu adalah sangat relevan dengan apa yang diajarkan dalam islam. Jika demikian sistem semacam ini islam pun punya sejarah. Sistem koperasi telah ada sejak abad III Hijriyah di Timur tengah dan Asia Tengah. Bahkan, secara teoritis telah dikemukakan oleh filosuf Islam Al-Farabi. As-Syarakhsi dalam Al-Mabsuth, sebagaimana dinukil oleh M. Nejatullah Siddiqi dalam Patnership and Profit Sharing in Islamic Law.

Islam bukanlah suatu yang ekslusif. Kerjasama sebagai bagian dari koperasi adalah suatu yang harus dijunjung tinggi. Koperasi adalah bersifat sukarela dan terbuka. Sukarela berarti menjadi anggota koperasi itu tanpa adanya paksaan dan terbuka berarti koperasi itu itu bersifat deskriminatif, mau itu perempuan-laki-laki, tua-muda, beragama islam, Kristen, Budha, Hindu atau apapun bisa melebur dalam nilai kerjasama di koperasi. Maka dari itu koperasi juga bisa dijadikan wadah untuk toleransi.
Melihat sejarah lahirnya koperasi sebagai countervailing sistem kapitalisme yang begitu menindas peradaban manusia bisa dijadikan acuan dalam gerakan koperasi kontemporer, khususnya di Indonesia. Tengoklah negara-negara seperti Swiss, Finlandia, Denmark, Singapura, USA, Korea, Jepang, Swedia, Jerman, Inggris. Ternyata koperasi di negara-negara tersebut sudah mampu menjadi substantive power perekonomian. Itu sebagian dari pembuktian bahwa negara-negara maju telah merasakan manfaat-manfaat yang begitu luar biasa bagi kehidupan yang lebih baik lagi bagi masyarakatnya.

Koperasi, Harus Syariah-kah ?

Dalam satu kesempatana saya pernah dengar obrolan santai dengan seorang pegiat koperasi dan juga ketua dari LSP2I (Lembaga Studi Pengembangan Perkoperasian Indonesia), Kang Suroto saya memanggilnya. Ujarnya koperasi itu tidak perlu lagi menggunakan embel-embel syariah, karena sejatinya koperasi itu sendiri sudah syariah. Penjelasannya yang diiringi tawa tidak menghilangkan inti pesan dari koperasi. Ya, memang demikianlah koperasi. 

Daripada berembel syariah namun ternyata sekedar bentuk lain dari kapitalisme, seperti label Bank Syariah yang ternyata dalam praktik tak ubahnya sistem kapitalistik, sekedar menambah nama. Dalam kritiknya Ulil, Bank Syariah itu kapitalisme yang di-arabkan.

Mengusung nama syariah tentu menjadi beban tersendiri bagi pelakunya, kecuali kalau watak asli si pelaku memang sengaja mencari atau menambah “pasar” lain. Nah untuk konteks koperasi, bila dalam operasionalnya mendekati dan berlandaskan nilai dan prinsip syari’ah, tentu lebih mendekati fitrah sunnatullah, jadi tidak perlulah sebuah konsep koperasi syariah. Saya yakin akan banyak pihak yang tidak sepakat dengan argumen saya. Tapi untuk melanjutkan argumentasi, saya akan mengajak sang pembaca menyelami nilai dan jati diri koperasi yang dirumuskan saat kongres International Co-operative Alliance (ICA) ke-100 di Manchester, Inggris, September 1995 yang disusun kembali Prof. Dr. Ian MacPherson. Nilai-nilai dari koperasi adalah menolong diri sendiri, swa tanggung jawab, demokrasi, persamaan, keadilan, kesetiakawanan dan kejujuran. Kemudian tujuh prinsip operasionalnya, yakni keanggotaan terbuka dan sukarela, pengendalian oleh anggota secara demokrasi, partisipasi ekonomi anggota, otonomi dan kemerdekaan, pendidikan, pelatihan, dan informasi, kerjasama antar koperasi, dan kepedulian terhadap lingkungan. Secara umum, saya membaca nilai dan prinsip koperasi selaras dan serasi dengan nilai Islam. Jadi penambahan syariah dibelakang koperasi tidak perlu lagi dilakukan. Secara teknis pun penambahan kata syariah bisa menjadi reduktif dalam pemaknaan koperasi. Syariah telah terasosiasi sebagai hukum berbasis Islam. Sisi inklusifitas dari koperasi bisa terkikis karena penambahan diksi tersebut. Si calon anggota yang bukan dari Islam tentu berpikir dua kali untuk menjadi anggota di koperasi tersebut.

Tulisan kecil ini hanya sebagai pembuka, masih sangat debatable, pintu akan sangat terbuka untuk diskusi lebih lanjut. Yang jelas, koperasi dari awal lahirnya sampai saat ini adalah bentuk perjuangan. Islam pun adalah agama perjuangan, dengan begitu saya memilih salah satu bentuk perjuangan itu, ya dengan berkoperasi.

2 komentar:

Yudi Darmawan mengatakan...

wah, gak berani komen ih, walaupun saya sekarang sudah terjun langsung ke perbankan

rahmad mengatakan...

lalu bagaimana dengan permasalahan akad dalam koperasi, yang tidak sesuai ketentuan, serta adanya bunga?
maaf saya hanya ingin tahu lebih, karena masih bingung dengan banyaknya perbedaan pendapat tentang koperasi.

 
Creative Commons License
All contens are licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-NoDerivs 3.0 Unported License.

Creative Commons [cc] 2011 Dodi Faedlulloh . Style and Layout by Dodi | Bale Adarma