Rekonsiliasi : Bedah Kecil Film Five Minutes of Heaven

Oleh : Dodi Faedlulloh

Februari 1975 di Irlandia Utara, masa yang sering dikenal dengan nama troubles, Alistair Little (Liam Neeson), seorang anggota UVF yang baru berusia tujuh belas tahun membunuh Jimmy Griffin yang Katolik di rumahnya di Lurgan di depan adiknya Joe Griffin (James Nesbitt) yang sedang asyik bermain bola. Saat pembunuhan, Joe hanya bisa diam dan menatap seseorang bertopeng hitam membunuh kakaknya tepat di depan matanya. Aksi diamnya inilah yang terus disalahkan oleh ibunya. Joe terus selalu disalahkan oleh ibunya karena tidak menyelamatkan saudaranya. Perasaan dendam akhirnya tertanam, bayangan-bayangan kelam menjadi saksi atas pembunuhan kakaknya terus menghantui Joe. Bahkan sampai ia berkeluarga dan memiliki dua anak perempuan. 

Setelah 33 tahun, sebuah media televisi berusaha mempertemukan Joe dengan pembunuh kakaknya, Alistair Little dalam sebuah reality show. Tapi rekonsiliasi yang diusahakan oleh media gagal, Joe tidak ingin pertemuan dengan pembunuh kakaknya itu disorot oleh kamera yang mana juga malah turut campur dalam mendikte gerakan yang harus dilakukan oleh Joe saat pengambilan gambar, apalagi ia pun sempat menyiapkan pembalasan pada moment tersebut, Joe akhirnya melarikan diri.


Atas tekad yang kuat, Alistair berusaha untuk menghilangkan bayangan anak kecil yang selama ini menghantui hidupnya. Alistair memutuskan untuk menghubungi Joe untuk membicarakan apa yang sebenarnya terjadi saat itu. Akhirnya mereka bertemu di tempat Alistair membunuh kakak Joe. Pertemuan perdana mereka dihiasi perkelahian yang membuat mereka terjatuh. Keinginan Joe untuk melakukan balas dendam hilang setelah Alistair menjelaskan alasan mengapa dia membunuh Jimmy Griffin dan kondisi objektif yang terjadi 33 tahun lalu.

Rekonsiliasi 

Saya membayangkan bila menjadi sosok Joe, yang terus disalahkan oleh ibunya atas perbuatan yang tidak dilakukannya. Joe tahun 1975 hanya seorang anak kecil yang belum tahu apa yang harus dilakukannya saat pembunuhan terjadi, alam bawah sadarnya mengajak Joe untuk termenung berdiri menyaksikan pembuhan tersebut. Selama 33 tahun bayangan kelam terus menghantui Joe. Begitu juga Alistair, selama 33 tahun, walaupun ia pernah dipenjara atas perbuatannya tersebut, bayangan dan perasaan bersalahnya membuat hidupnya tidak tenang.

Dalam film yang dirilis tahun 2009 ini, rekonsiliasi justru terjadi bukan karena mediasi sebuah media televisi. Media justru malah menjadikan mereka objek eksploitasi, gerakan dan ucapan harus tetap sesuai dengan keinginan media. Kalau ini mungkin sudah menjadi naluri sebuah acara reality show. Oliver Hirschbiegel sang director cerdas menyajikannya.

Joe dan Alistair memulihkan perasaan dendam dan bayangan bersalahnya atas kesadaran penuh melihat kondisi objektif masa lalu dan menimbang masa depan. Joe ingin menjadi orang tua yang dibanggakan oleh kedua putrinya, jadi tak mungkin ia melakukan perbuatan bodoh dengan membunuh Alistair. Sebuah cita yang lahir dari pikiran jernih, keputusan yang bijak, padahal selama 33 tahun bayangan dan rasa sakit hati terus dipendamnya. Alistair pun demikian, ia menyesali perbuatan bodoh di masa mudanya. Tanpa ada niatan baik Alistair, rekonsiliasi yang terjadi secara acindental ini tak mungkin terjadi. Dengan segala konsekuensinya, Alistair memberanikan diri untuk mengajak Joe bertemu, padahal kematian bisa saja mendatanginya. Akhirnya Joe menelepon Alistair untuk sekedar mengatakan “We’re Finished”. Dendam berakhir tanpa harus membalas.

Frame dari film yang ditulis oleh Guy Hibbert adalah kisah nyata, tentang konflik yang terjadi di Irlandia Utara yang dimulai sejak tahun 1969 antara kaum loyalis dan unionis (umumnya Protestan) yang pro bersatu dengan Inggris melawan kaum nasionalis dan republikan (umumnya Katolik) yang pro bersatu dengan Irlandia. Sejarah mencatat antara tahun 1969 hingga 2001, jumlah korban tewas dalam The Troubles mencapai 3500 lebih. Kondisi di Irlandia Utara hari ini memang relatif lebih aman, namun masih tetap ada percikan-percikan yang pecah karena adanya kepentingan politis dan golongan yang berdiri di belakang perisai agama. Isu ini menjadi konflik sentimen Protestan dan Katolitik. Sangat menyayangkan melihat tingkah-laku manusia yang membawa bendera agama dan keyakinan untuk kepentingan politik dan golongan semata. Protestan dan Katolik saling bunuh dan berperang, padahal para penginjil dan misionaris di tempat lain sibuk mempropagandakan Kristen sebagai agama kasih. Joe dan Alistair mempelihatkan kepada penonton bagaimana seharusnya manusia berlaku sebagai manusia. Jalan menuju kahrmonisan dan perdamaian terbuka lebar jika individu bisa menghargai dan menghormati satu sama lain dan tentunya berpikir cermat, tidak mengikuti hasrat negating yang mendominasi kita. Walau hanya cerita fiktif, Five Minutes of Heaven bisa kita jadikan sebuah inspirasi untuk rekonsiliasi.

2 komentar:

Republican Wasp mengatakan...

Kayaknya menarik nih. Kebetulan saya juga tertarik ama karya-karya fiksi yg mengangkat soal konflik di Irlandia Utara. Cuma sayang, di artikelnya kok dah ada spoilernya? Unsur kejutannya jadi berkurang deh, hehehe...

Nanti kalau ada waktu saya coba deh cari ini film

Dodi Faedlulloh mengatakan...

Hehe, kebetulan dalam tulisan saya, saya tidak pernah memasang spoiler, paling satu gambar ilustrasi saja. Filmnya cukup menarik, tinggal cari, ini Indonesia, pasti mudah mencarinya :D


Terimakasih kawan Republican Wasp

 
Creative Commons License
All contens are licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-NoDerivs 3.0 Unported License.

Creative Commons [cc] 2011 Dodi Faedlulloh . Style and Layout by Dodi | Bale Adarma