Dengan hadirnya segala macam teknologi yang mempermudah dalam berinteraksi dan berkomunikasi, kegiatan menulis surat hari ini sudah mulai dilupakan oleh manusia. Ada sms, blackberry, facebook, twitter dan segala tools lain yang kini lebih sering digunakan manusia untuk berkomunikasi. Saya pun sama, terjebak dalam arus teknologi yang sudah terinternalisasi dalam diri saya.
Terakhir saya menulis surat sekitar 8-9 tahun yang lalu saat saya masih SMP, kepada teman bahkan pernah digunakan untuk ‘nembak’ seorang wanita. Lucu memang kedengarannya, apalagi kalau dikondisikan dengan situasi saat ini, bila ada seorang yang ingin mengungkapkan rasa cintanya kepada seseorang yang disukai, hmm mungkin akan banyak orang yang menertawakan. Akan dianggap jadul, bahkan norak.
Surat memang belum lenyap di muka bumi ini, masih hadir surat berjenis kelamin surat keterangan, surat keputusan, dan surat-surat formal lainnya yang tentunya sedang saya bicarakan pada kesempatan ini.
Membicarakan tentang surat, saya punya argumentasi tersendiri. Menulis surat saya anggap masih menarik untuk dilakukan, memiliki nilai romantisnya tersendiri. Bukan hanya dalam bentuk menulis surat untuk mengungkapkan rasa cinta seperti yang pernah dilakukan oleh orang-orang jaman dulu, bahkan antar teman atau saudara yang menjadi sahabat pena. Arsip-arsip yang diterima bisa menjadi kenangan tersendiri bahkan dijadikan bukti sejarah.
Berbicara tentang surat, saya juga ingin merelevansikannya dengan dunia akademisi/intelektualitas sebagai bentuk diskursus. Tidak jarang kita menemukan manuskrip-manuskrip pemikiran tokoh-tokoh besar dunia yang berbentuk surat yang dijadikan landasan pemikiran kontemporer. Surat Karl Marx kepada sahabatnya, kepada istrinya, atau Ernesto Guevara kepada para sahabat dan keluarganya. Dengan konten yang tak hanya bertegur sapa, say hello dan menanyakan kabar, surat-surat dari para tokoh besar juga berisi pemikiran dan kondisi yang terjadi pada zamannya. Bukankah itu menarik ? Bertukar gagasan dan informasi seperti yang dilakukan oleh orang-orang zaman dulu.
Dengan menulis surat berarti ya kita mau tidak mau harus menulis. Dengan kegiatan menulis kita menulis, menulis dan menulis, tidak sekedar menulis wall, update status serta kicauan twitter beberapa karakter huruf terbatas yang sering dilakukan oleh manusia modern saat ini. Menulis satu-dua halaman surat, saya membayangkan hal tersebut sepertinya akan menjadi kegiatan yang asyik.
Iya-iya paham, ini memang sangat tidak efektif. Menulis tangan, lalu mengirimnya ke kantor pos akan membuang waktu manusia-manusia modern. Anggaplah saya sekedar ingin bernostalgia gara-gara beberapa waktu lalu saling berkomunikasi dengan seorang sahabat lewat email (surat modern?)lalu membayangkan jika melakukannya dengan cara yang dianggap kuno/bukan jamannya lagi oleh para manusia modern. Tapi jika ada beberapa sahabat atau siapapun yang ingin bernostalgia, saya siap jadi sahabat pena anda. Kirimkan saja surat kawan ke alamat kosan, pasti saya akan membalas dan akan jadi sahabat pena baru anda. []
3 komentar:
waaah,
udah jarang banget ya ada orang nulis surat terus pergi ke kantor pos..
soalnya semua udah punya hp..
Walah...sudah lama nggak ngirim surat. Ke Kantor Pos juga jarang. Soalnya sekarang sudah banyak layanan antar barang lain. Pakai email atau fax lebih praktis.
Saya malah lupa kapan terakhir kali saya ngirim surat lewat kantor pos. Hehehe...
Posting Komentar