Menjadikan Menulis sebagai Tradisi Mahasiswa

Oleh : Dodi Faedlulloh

Teriakan-teriakan perjuangan dari mereka seringkali terdengar dan menggema memecahkan kesunyian saat penindasan terjadi. Atas nama rakyat yang mereka kumandangkan. Mereka pun rela turun ke jalan demi mencari perhatian kepada orang-orang yang seharusnya memperhatikan nasib rakyat (pemerintah). Retorika yang sungguh agitatif menjadi penghangat suasana aksi. Ya mereka adalah sekumpulan orang yang berpredikat mahasiswa. Mereka adalah kaum intelektual muda dan calon pemimpin untuk perubahan. Memang akan sangat banyak kata yang harus dikumpulkan dan disajikan untuk mendeskripsikan kaum ini, tapi pada kesempatan ini penulis akan mencoba sedikit menyibak salah satu budaya yang masih belum begitu diminati oleh kebanyakan mahasiswa ; budaya menulis.

Seringkali kita dengar bahwasanya mahasiswa adalah orang-orang yang mempunyai nalar kritis yang luar biasa. Sejarahpun mencatat bahwa gerakan-gerakan mahasiswa mampu menjadi pelopor dalam setiap aksi membela rakyat, bahkan salah satu rezim otoritarian pernah berhasil diruntuhkan oleh gerakan mahasiswa. Di Indonesia memang mahasiswa mempunyai peran yang signifikan. Mahasiswa menjadi penyambung lidah bagi rakyat-rakyat yang termarjinalkan. Selain peran akademik, mahasiswa juga mempunyai peran moral, sosial dan juga politik yang harus senantiasa dilakukan. Dari semua itu pantaslah predikat “calon pemimpin bangsa” disematkan kepada mereka.


Sebagai calon pemimpin patutlah harus memliki kemampuan-kemampuan yang mumpuni. Retorika-retorika yang sering kali diteriakan bisa menjadi salah satunya. Namun itu tidak cukup. Ada hal yang juga harus menjadi standar kemampuan para mahasiswa selain kepandain dan kemampuan mereka dalam berbicara yakni menulis. Memang tidak seperti aksi-aksi demonstrasi, menulis masih menjadi suatu kegiatan yang miskin peminatnya. Kegiatan menulis tidak terlalu membumi dikalangan mahasiswa. Adapun menulis menjadi suatu pilihan terpaksa bilamana ada tugas-tugas kuliah yang mesti dikerjakan. Itupun belum jaminan mahasiswa akan menulis, karena sekarang ini dengan merebaknya serangan teknologi semacam internet, tidak sedikit dari mahasiswa yang lebih memilih jalan instan, semuanya cukup dengan copy-paste . 

Orang yang pandai “bicara” ternyata tidak melulu berbanding lurus dengan kemampuannya dalam menulis. Setidaknya ini menjadi pengalaman pribadi penulis ketika bertemu dengan beberapa kawan mahasiswa yang sering banyak orang menyebut mereka sebagai aktivis. Ketika dihadapkan dengan dunia tulis menulis ternyata cukup banyak dari kawan-kawan yang penulis temui malah menjadi gagap tidak selancar saat dia berbicara (atau mungkin lebih tepatnya berteriak) saat melakukan aksi. Padahal akan menjadi suatu sinergitas yang hebat bilamana kemampuan lisan dipadukan dengan kemampuan lewat tulisan. 

Mengapa Harus Menulis ?

Banyak faktor yang menyebabkan banyak mahasiswa tidak suka dengan menulis. Salah satunya yaitu phobia menulis. Tidak jarang mahasiswa merasa khawatir bila nanti tulisan-tulisan yang dibuatnya dinilai jelek oleh pembacanya. Itu sama sekali bukanlah masalah yang besar. Semuanya butuh proses, tinggal bagaimana kemauan dari mahasiswanya itu sendiri. Jadi sebenarnya mahasiswa tidaklah perlu merasa phobia dengan dunia tulis-menulis.

Selain ke-phobiaan tersebut memang kegiatan menulis masih dianggap tidak begitu penting. Menulis hanyalah kegiatan yang terjadi didalam kelas ataupun saat ada tugas-tugas kuliah, tidak lebih. Padahal sejatinya menulis tidak hanya itu-itu saja. Menulis bukan kegiatan yang hanya melatih tangan untuk bekerja, namun akan ada perpaduan antara otak, pikiran dan hati yang saling berkesinambungan.
Ada banyak alasan mengapa mahasiswa harus mau menulis. Diantaranya dari tulisan-tulisan yang telah dibuat biasanya akan dapat merepresentasikan bagaiaman pola pikir dari si penulisnya. Apa wacana yang dibawa oleh si penulis terlihat dari bentuk-bentuk tulisannya sehingga menunjukan wawasan dan dinamika yang dimiliki si penulis. 

Dengan menulis kita sebenarnya bisa mengembangkan apa yang ada dalam benak dan hati kita yang kemudian dituangkan dalam media dengan rangkaian kata-kata. Diksi yang diambil tak perlulah berat namun tetap harus informatif. Karena menulis memang bukan ajang gaya-gayaan agar terlihat intelek. Menulis bisa menjadi media penyalur aspirasi atau luapan perasaan si penulis dengan begitu orang lain bisa menjadi tahu apa yang ada dalam persaan kita. Marahkah, senang, atau sedih karena sakit hati.
Kegiatan menulis sejatinya adalah tradisi intelektual bagi mahasiswa. Karena dengan membiasakan diri untuk menulis akan sangat baik untuk melatih daya ingat. Menulis adalah berguna untuk mengikat wawasan dan ilmu yang kita dapatkan agar tidak lepas begitu saja. Lebih sering kita menulis akan lebih banyak ilmu dan wawasan yang kita ikat.

Menulis juga ibarat sedang mengukir sejarah. Bisa jadi apa yang telah kita tuangkan dalam tulisan akan menjadi bukti sejarah. Suatu hari nanti para penerus kita menemukan tulisan-tulisan yang telah kita buat dan dijadikan referensi dalam menatap jejak kejadian-kejadian yang terjadi dimasa lalu dalam tulisan kita. Tulisan membuat kita akan dikenang oleh zaman dan juga bisa bisa mewariskan cita-cita dan perjuangan kita kepada generasi penerus. Sungguh luar biasa bukan ? ini sama sekali tidak hiperbolis karena sejarah juga telah membuktikan hal demikian bisa terjadi. Tengoklah semisal catatan harian seorang tokoh revolusi, Ernesto Guevara. Dari catatan-catatan yang ditulisnya kita sang pembaca dibawa ke masa dari dia saat melakukan petualangannya berkeliling Amerika Selatan sampai dengan bagaimana akhirnya dia melakukan perjuangan dalam menyebarkan semangat revolusi. Dia adalah salah satu contoh seorang pemimpin yang menjadikan kegiatan menulis sebagai budaya. Banyak tokoh-tokoh pemimpin inspiratif di dunia melakukan hal yang sama, termasuk salah satunya bapak pendiri bangsa kita, Soekarno.

Para mahasiswa tentu kenal dengan Soe Hok Gie, dia sangat bisa menjadi inspirasi yang telah memberikan contoh bahwa menulis sejatinya adalah bersifat membebaskan. Seperti tulisan-tulisan Ernesto Guevara, catatan hariannya pun kini menjadi literatur sejarah dan menjadi saksi bagaimana kesuraman dimasa lalu. Atau seperti Tan Malaka dan Pramoedya Ananta Tour yang menjadikan tulisan-tulisan mereka sebagai bentuk perlawanan. Tulisan-tulisan itu bak menjadi senjata yang ampuh untuk membuka mata hati para pembacanya. Itulah hebatnya tulisan.

Ada satu kejadian menarik yang pernah dialami oleh penulis. Ketika dikelas, seorang dosen bertanya tentang suatu hal yang terkait dengan mata kuliah namun tak ada satu-pun yang mampu menjawab. Pada akhirnya sang dosen tersebut menyuruh para mahasiswa-nya untuk menulis jawabannya di selembar kertas saja. Ternyata pasca suruhan tersebut, walau hanya untuk satu pertanyaan saja para mahasiswa menuliskan jawaban dikertasnya masing-masing dengan jawaban yang bisa dikatakan panjang, sekitar hampir satu halaman kertas terisi. Penulis berpikir ini terjadi karena memang tidak semua kata bisa diucapkan, maka dengan lewat menulislah bisa dijadikan alternatif saat terjadi kebisuan lisan menimpa kita.

Menulis itu Mudah

Menulis itu tidaklah sesulit yang sebagian orang bayangkan. Ketika ada orang yang berkata “saya tidak bisa menulis” itu adalah kesalahan pertama yang menjadikan dirinya semakin tidak mau untuk menulis. Selama dirinya masih bisa bertutur (ngobrol) tentu menulis pun pasti bisa, karena menulis itu sendiri tak ubahnya bertutur. Memang ada beberapa hal yang seringkali dijadikan kendala dalam menulis seperti adanya aturan ejaan yang disempurnakan (EYD) yang sering kita temukan dalam gaya penulisan ilmiah, namun sebenarnya itu bukanlah suatu masalah yang besar karena menulis itu sendiri adalah bersifat pembelajaran. Lewat kita belajar dan berproses untuk bisa menulis dengan sendirinya kita akan menemukan bahan pembelajaran bagi tulisan-tulisan yang kita buat. Dari yang mungkin asalnya acak-acakan karena lama-kelamaan menjadi terbiasa akhirnya mampu memperbaiki kesalahan-kesalahan tersebut dan tulisan yang kita ciptakan semakin hari menjadi semakin baik.

Sebagai seorang calon pemimpin sikap kritis adalah suatu keharusan. Maka sebenarnya jika ada alasan tidak bisa menulis karena sedang tidak ada ide itu sama sekali bukan alasan yang bisa diterima. Mengapa begitu ? Jelas karena sebenarnya stok pengetahuan (stock of knowledge) yang mendasari kita menulis sama sekali tidak terbatas. Stok pengetahuan bisa berasal dari mana saja, semisal buku-buku, internet, cerita teman, diskusi-diskusi, berita yang tersaji lewat televisi atau koran dan hal lainnya. Yang jelas kebekuan ide tidak perlulah terjadi karena sekali lagi stok pengetahuan yang bisa dijadikan sumber gagasan sangatlah berlimpah.

Mahasiswa sebagai mahluk kritis yang dihadapkan dengan stok pengetahuan yang berlimpah bisa menjadi modal dalam membudayakan kegiatan menulis. Setelah tersaji stok pengetahuan yang tanpa batas tinggal bagaimana para mahasiswa menyikapinya. Rasa malas bukan lagi menjadi alasan. Kita harus bisa menaklukan rasa malas dan memotivasi diri sendiri untuk berani menulis. Apa jalannya ? Ada satu rekomendasi dari penulis yang bisa dijadikan cara yang baik untuk bisa rajin menulis ; Jadilah komentator !

Setiap hari akan banyak kejadian dan informasi yang diberitakan lewat televisi atau koran. Komentarilah berita tersebut dengan tulisan. Tak perlu harus kritik karena bisa saja kita memposisikan diri menjadi pihak yang pro dalam berita tersebut. Tak perlu juga harus berpanjang-panjang ria asalkan tulisan kita berbobot dan bermakna maka cukuplah. Namun tetap menjadi hal yang penting untuk menjadi sebuah tulisan yang menarik adalah tulisan yang dibuat harus didasarkan atas keberpihakan sikap si penulis terhadap suatu realitas yang ada. Jangan memilih dalam posisi netral, karena kenetralan dalam tulisan akan menjadi bermakna bias dan memudarkan isi dalam tulisan tersebut.

Bayangkan kita bisa menjadi penulis produktif hanya dengan langkah kecil berupa menjadi komentator saja. Bila menulis sudah menjadi kegiatan sehari-hari maka salah satu modal sebagai calon pemimpin bangsa kita sudah miliki. Menarik bukan ?

Mari Menulis !

Dari paparan diatas menjadi jelas bahwa sekarang tak ada alasan lagi untuk tidak menulis karena menulis sudah menjadi suatu keharusan. Mari membudayakan menulis dalam kehidupan kita, jadikan ini sebagai tradisi mahasiswa si calon pemimpin bangsa. Ada banyak media yang bisa dijadikan tempat publikasi tulisan-tulisan kita. Saat ini teknologi berkembang pesat, taruh saja tulisan kita dalam fasilitas note di akun facebook kita atau yang sudah menjadi life style banyak orang semacam blog pribadi. Dengan begitu sebenarnya kita bisa lebih independen dan leluasa dalam menulis. 

Mari membuat tulisan serenyah mungkin agar bisa menjadi daya tarik bagi orang lain untuk menikmati sajian dalam menu tulisan kita, tak perlu khawatir lagi tentang tulisan yang kita buat, justru dengan adanya feedback dari pembaca akan semakin mengasah keterampilan kita dalam menulis. Semakin sering menulis, maka keterampilan kita dalam mengolah stok pengetahuan itu akan semakin baik, semisal dalam pemilihan diksi sampai penyusunan kata untuk memperindah kalimat dan paragraf. Apalagi yang mendapat feedback adalah ke kontens (isi) tulisan yang kita buat. Ini akan menjadi motivasi dan prestasi tersendiri. Kita akan bertemu dengan pro-kontra yang akan menghangatkan tulisan kita. Ini akan menjadi diskusi yang bermanfaat karena dari diskusi dialogis yang terjadi antara si penulis dan pembaca akan menumbuhkan ide-ide baru yang bisa lebih inovatif. Kegiatan feedback semacam ini juga adalah ranah dalam melihat konsistensi sikap si penulis ketika diserbu oleh cercaran pertanyaan karena bagaiamanapun tulisan yang menarik adalah harus representasi dari sikap si penulis (keberpihakan).

Dipenghujung tulisan ini, sekali lagi penulis mengingatkan bahwa untuk menjadi seorang pemimpin kepandaian beretorika tidaklah cukup, harus ada sinergi dengan kemampuan dalam menulis. Menulis itu sama sekali tidak sulit, asal ada kemauan dan motivasi untuk menulis, itu saja. Akhir kata sebagai penutup dari penulis, ada satu ajakan untuk semua mahasiswa diseluruh penjuru negeri ini, “Mari jadikan menulis sebagai tradisi mahasiswa !”. []

7 komentar:

Anonim mengatakan...

Tapi produksi tulisan Dodi kok sedikit sekali ya?

Dodi Faedlulloh mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Dodi Faedlulloh mengatakan...

Hehehe. Pertanyaan yang bener-bener nembak Mba. Iya kebetulan produksi tulisan saya tidak semua dipublish di blog ini. Ditambah juga beberapa bulan ini saya jarang online.Kalau untuk semacam diary-diary gitu saya juga masih suka berlebay-lebay ria lewat buku harian, semoga saja kalau nanti saya meninggal dunia anak cucu saya bisa menemukannya, hehe

Tulisan yang saya buat-pun ada yang khusus dipublikasikan di diwilayah kampus memang karena dikondisikan dg konteksnya adalah kampus itu sendiri. atau dibagikan sbg artikel propaganda dalam produk saya (kebetulan saya memproduksi t-shirt bertemakan sosial dan ekologi).

Adapun bila ada beberapa teman yg mengesankan tulisan saya terlalu provokatif, maka saya cuma menyebarkan tulisan saya dikalangan-kalangan tertentu.

Yang terakhir alasan saya menulis tulisan ini sehubung saya akan segera meninggalkan predikat sbg seorang mahasiswa, jd bisa dipakai sebagai petuah untuk mereka yg masih muda dari yang sudah tua, hehe

Salam mba Vicky

Zippy mengatakan...

Namanya juga mahasiswa bro, kreatif dan kemampuan untuk menulis emang harus penting.
Boleh2 aja kalo mengambil materi dari internet untuk bahan acuan, tapi jangan di copy-paste semua :D

Dodi Faedlulloh mengatakan...

Iya sepakat Zip, asal tetap mencantumkan sumbernya saja.

M. Hudatullah mengatakan...

hoho.. mampir bro.

saya setuju sekali kalau menulis di kalangan mahasiswa harus digalakkan. sebenarnya--dan semestinya--hobi menulis itu berbarengan bersama hobi membaca. biasanya, orang yang senang emmbaca dengan sendirinya akan terdorong untuk menulis. atau, saat menulis, ia tidak mengalami kesulitan karena sudah terbiasa berinteraksi dengan kata-kata dan ide dari penulis lain.

pertanyaannya sekarang, apakah para aktivis juga suka membaca? menurut pengalaman saya sih, kebanyakan dari kita lebih senang mengulang-ulang apa yang telah kita dengar dari orang lain (misalnya dari diskusi). alih-alih memilih mendalami suatu ide lewat membaca.

panjang juga komen saya. hehee. intinya, selain menulis, yang harus digalakkan di kalangan mahasiswa adalah "membaca." mestinya, gerakan pembebasan buta huruf tak berhenti pada kemampuan membaca simbol atau huruf. tapi bagaimana kita, yang sudah bukan lagi orang buta huruf ini (lebih-lebih mahasiswa), melakukan interaksi dengan ide-ide dari orang lain melalui bacaan.

salam kunjung :')

Adamssein mengatakan...

Kreatif juga Bro,
Oya, jgn lupa mampir ke blog http://www.adamsains.co.cc/
Ya moga sharing ilmu aja, moga bermanfaat wat yg laennya. :)

 
Creative Commons License
All contens are licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-NoDerivs 3.0 Unported License.

Creative Commons [cc] 2011 Dodi Faedlulloh . Style and Layout by Dodi | Bale Adarma