Oleh : Dodi Faedlulloh
Betapa sungguh pahitnya dan akan sangat terasa sakit dihati bila apa yang kita miliki dirusak dan hilangkan oleh orang yang tak bertanggung jawab. Bila barang yang hilang mungkin bisa dicari atau mungkin kita akan kembali membeli barang yang sama atau mungkin lebih baik, tapi bila sebuah keperawanan ? ah tak mungkin. Entah kenapa tiba-tiba jari-jariku ingin terus mengetik tut-tus keyboard membahas ini. Malam ini tak ada angin, pun tak ada badai, tak ada alasan yang jelas mengapa saat-saat ini dialetika terus bergumul dalam hati tapi ku tak menemukan sintesa yang akan jadi jawaban berkaitan dengan hal ini.
Seorang gadis menangis meratapi keadaannya, perawannya hilang dan ada seorang jejaka berteriak histeris karena kekasihnya tak lagi bermahkota. Karena adanya tembok tradisi yang begitu kuat mereka terjebak, merekapun frustasi[1]. Saya tahu, saya juga faham serta mengerti betapa sangat berharganya apa yang sering kita sebut virginitas. Tapi apakah karena terlalu sucinya kaum adam sehingga banyak dari mereka sulit bahkan cendrung tidak bisa menerima seorang perempuan yang tak lagi bermahkota ? Ah bukan kah itu juga karena ulah dari mahluk yang berjenis kelamin lelaki.
Dikamarku yang cukup berantakan sudah tak ada apa-apa, hanya ada sebotol air mineral yang belum sempat Ku minum. Kemudian tiba-tiba Ku ingin minta sebatang djarum black milik temanku satu kontarakan, Herdy. Lalu Ku datangi kamaranya tapi tak ada orang dikamar hanya ada sebungkus djarum black menthol yang sudah terbuka lengkap dengan korek gasnya. “Ah si Herdy nya ga ada”, Sayapun kembali lagi ke kamarku yang acak-acakan. Saya merebahkan badan dikasur sembari menatap lampu kamar. Saya kembali bingung dan berpikir ulang tentang permasalahan yang masih sama, apa ini karena tradisi yang terus turun menurun dari leluhur kita yang seakan menghinakan dan memojokan perempuan yang tak lagi bermahkota sehingga darinya membuat para kaum adam seolah-olah menjadi sangat suci dan merasa ogah bila harus berbagi kasih dengan “bekas” orang lain.
Saya bukanlah penganut faham kebebasan (sex) tapi apalah arti setetes darah bila kita memiliki suatu hal yang lebih mulia, yaitu cinta. “Gua kan nerima apa adanya dia kalo emang kita udah cinta, mau dia perawan atau enggak , mau bentuknya kaya gimana juga kalo asalnya kita udah cinta ya kita terima apa adanya dia” ujar sahabatku Suherlan saat ku iseng bertanya bernadai-andai bagaimana bila dirinya mendapat kekasih yang tidak lagi bermahkota. Satu jawaban yang bijak menurutku, tapi lelaki yang lain apakah akan melontarkan jawaban yang sama ?.
Hari-hari ini entah kenapa saya tiba-tiba jadi bergelut dalam kasus ini, atau ini karena rasa khawatir dan takutku bila disuatu hari nanti saya mendapat jodoh yang tidak perawan. Yah boleh dibilang saya agak sedikit ketakutan akan kehabisan perawan. Apa saya terlalu “lebay” ? tapi bukan hal yang tabu dari “katanya, katanya dan katanya” orang-orang di negeri kita banyak (saya tak berani melampirkan persentasenya takut salah, tapi ini sudah menjadi rahasia umum) kaum perempuan yang belum menikah sudah tidak lagi perawan. Tapi kenapa musti takut ? bukankah Saya juga punya cinta, kasih sayang dan kesetiaan yang harus menerima calon jodoh kita apa adanya.
Uh saya jadi plin-plan, Saya juga ternyata merasa sangat sulit bila harus menerima perempuan yang tak lagi bermahkota. Ah tidak, tidak ! Bila di kemudian hari Saya mendapat kekasih yang kesuciannya hilang Saya akan selidiki lebih lanjut dan ingin tahu alasan serta latar belakang hilangnya kesucian miliknya itu. “Yakin Dod bisa kaya gitu ?”, tanya ku pada diri sendiri. Entahlah !.
Saya pernah dengar satu ayat yang indah dari kitab suci agamaku. “... wanita yang baik adalah untuk lelaki yang baik dan laki-laki yang baik hanyalah untuk wanita yang baik ...” (An Nur 26). Ouh, takjub Saya mendengarnya, tapi lagi-lagi Ku (dipaksa untuk kembali) intropeksi diri. Memangnya lelaki yang bernama lengkap Dodi Faedlulloh ini sudah bisa dan patut untuk dikatakan baik ?. Sayang jawabannya belum. Tapi tak apalah setidaknya ini bisa jadi motivasi tersendiri untuk terus berlomba mencapai predikat “baik” tersebut sehingga separuh sayap nanti yang akan menjadi teman hidupku adalah seorang (sekali lagi cukup seorang) wanita yang baik pula, Amin. “tapi wanita yang (maaf) sudah tidak bermahkota juga belum tentu tidak baik kan ?”, lagi-lagi muncul pertanyaan menamparku. Entah, tampaknya dialetika hari ini kusudahi saja lah, Ku pilih satu kata “tidur” untuk mengakhiri pemikiran dimalam ini, besok ada kuliah pagi. Salam... []
Catatan Kaki :
[1] adaptasi dari lirik lagu slank, judul “korban tradisi” dari album PISS (1993).
2 komentar:
kunjungan perdana
salam hangat dari blue
Salam hangat juga mas dari saya
Posting Komentar