Urgensi Reforma Perangkat Desa

Oleh: Dodi Faedlulloh

Pengesahan UU Desa merupakan momentum penting ke depan untuk menjadikan desa sebagai subjek dari pembangunan bagi dirinya sendiri. Harapan dari semangat regulasi baru ini yaitu kesejahteraan yang selama 68 tahun Indonesia merdeka, desa selalu berada dalam kubangan permasalahan klise: kemiskinan dan ketertinggalan. UU ini adalah power bagi warga desa untuk menggapai buah-buah APBN yang selama ini justru lebih sering dinikmati oleh kalangan elit pusat.

Terlepas dari mencuatnya politik klaim atas lahirnya UU Desa yang hadir hari-hari ini, ada agenda penting dan mendesak yang perlu digalakan pasca disahkannya UU Desa ini, yaitu mereformasi subjek-subjek desa yang nantinya dalam keseharian akan menjadi impelementor dari pembangunan desa. Melalui UU ini, peluang mewujudkan desa yang sejahtera sangat terbuka, desa kini bisa mengontrol atas sumber daya ekonominya dan mendefinisikan secara otentik arah pembangunannya. Yang tak kalah penting, UU ini akan mengatur 10% dari APBN akan disalurkan ke desa. Anggaran tersebut tentu merupakan jumlah besar yang perlu dikelola secara akuntabel. Mengingat ‘beratnya’ peran ini, tentunya kebijakan ini tidak bisa dilaksanakan dengan cara ala kadarnya. Oleh karena itu, para perangkat desa sebagai garda depan pelaksanaan UU ini harus mulai melakukan pembenahan diri.


Perlu diketahui, peran pemerintah desa tidaklah kecil, sebagai local self government ia harus bisa melayani kebutuhan warga desa tanpa batas waktu. Bahkan karena atmosfer politiknya yang dibangun lebih bersifat kultural, secara unik warga bisa lebih mudah mengakses komunikasi secara langsung ke kediaman-kediaman pribadi perangkat desa. Dengan kata lain, perangkat desa harus mempersiapkan dirinya selama 24 jam. Namun tugas pengabdian ini sayangnya tidak diikuti oleh kualitas dari SDM perangkat desanya. Misalnya secara pendidikan masih banyak mereka lulusan SD-SMP, secara skill administrasi masih terbatas, pemahaman regulasi masih minim dan pengetahuan teknologi pun masih banyak yang gagap, tentunya situasi tersebut perlu segera dibenahi. Bisa dibayangkan dalam kesempatan ke depan mereka harus mengelola anggaran sebesar satu miliyar rupiah yang kemudian dituntut adanya pengembangan sistem informasi dan akuntabilitas pengelolaan dana dan pembangunan desa (Pasal 86).

Berbasis Empowerement

Agenda reformasi desa tidak bisa dilakukan dengan sekali shoot saja. Perlu perencanaan yang matang dan menyeluruh, tidak bisa dilakukan dalam porsi tanggung. Dan yang paling penting adalah kesetiaan kolektif kepada momen (reformasi) yang dikontstruksi, karena bukan satu-dua cerita  beragam agenda reformasi yang dilaksanakan di Indonesia justru surut di tengah jalan.


Pemerintahan desa tidak hidup di ruang hampa, oleh karenanya akan terus mengalami perubahan sesuai dengan semangat zaman. Begitupula perangkat desa selaku bagian dari unsur organisasi. Bak organisme hidup, pemerintah desa pun wajib beradaptasi dengan lingkungan agar terus bisa menjaga kehidupannya. Supaya UU Desa ini terlaksana lancar, maka peningkatan kapasitas SDM menjadi agenda yang wajib.

Berangkat dari kondisi SDM yang disinggung sebelumnya, maka guna menuju good village governance, format reformasi yang dilaksanakan harus berbasis pada empowerement. Chhatre (2008) menjelaskan bahwa akuntabilitas dalam desentralisasi, begitupula dalam konteks desentralisasi pada desa, tidak dapat dikonseptualisasikan atau dianalisis secara terpisah dari akuntabilitas lembaga tinggi representasi dan pemerintahan, sehingga akuntabilitas desa ke depan akan selalu saling berkelindan dengan akuntabilitas daerah dan akuntabilitas negara yang harus juga ikut mengawal dari keberlaksanaan dari UU ini. Dengan kata lain, negara tetap memiliki tanggung jawab penuh dalam proses being desa menjadi subjek. Maka ihwal yang penting dari tanggungjawab ini yaitu flow of power dari  negara kepada desa sampai ia mampu mendefinisikan dan melaksanakan pembangunannnya sendiri.

UU Desa ini tentu bukan sekedar soal distribusi 10% dari APBN, tapi juga pemberian power dan kapasitas dengan menyelenggarakan pendidikan yang kompeherensif, dari hal-hal kecil sampai yang bersifat paradigmatik seperti pendidikan politik kepada stakeholder desa agar mendalami epistem dari kebijakan yang diketuk pada 18 Desember 2013 lalu itu. Selanjutnya melakukan pendampingan yang serius dengan menggunakan ragam pendekatan sesuai dengan kebutuhan dan konteks lokal desa.

Mengadaptasi ulasan Abdullah (1991) sekurangnya ada tiga tugas yang wajib dilaksanakan birokrasi desa ke depan, yaitu sebagai 1) birokrasi pemerintahan umum, yaitu rangkaian organisasi pemerintahan yang menjalankan tugas-tugas pemerintahan umum, dari hal administrasi, pengelolaan anggaran sampai termasuk pemeliharaan ketertiban dan keamanan desa. Selanjutnya 2) birokrasi pembangunan yang memiliki fungsi fungsi pembangunan (development function) atau fungsi adaptasi (adaptive function); oleh karena itu reformasi perangkat desa perlu memperhatikan ihwal kemampuan dalam mempersiapkan rencana-rencana strategis yang bervisi transformasi ekonomi. Dengan pelembagaan fungsi ini, secara bertahap dengan dibarengi pendampingan yang instens, akan menempa kemampuan desa dalam merancang local self planning. Implikasinya kemandirian desa pun bisa tercipta. Terakhir, 3) birokrasi pelayanan yang fungsi utamanya adalah pelayanan langsung kepada masyarakat. UU Desa memberi hak legal bagi desa untuk mengurus dan mengelola barang publik dan juga pelayan publik. Pelayanan di sini bisa dimaknai sebagai mengakomodasi langsung aspirasi dan kebutuhan warga desa.

Reformasi perangkat desa adalah agenda implementasi yang mendesak. Namun tanpa adanya politicall will dan komitmen dari pemerintah, maka visi desa otonom yang memiliki SDM berkualitas tidak penah bisa terwujud. Jadi, sebelum mengawasi para perangkat desa, sebaiknya kita perlu mengawal tanggungjawab pemerintah yang menerbitkan regulasi ini. []

0 komentar:

 
Creative Commons License
All contens are licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-NoDerivs 3.0 Unported License.

Creative Commons [cc] 2011 Dodi Faedlulloh . Style and Layout by Dodi | Bale Adarma