Melacak Akar Budaya (Ekonomi) Politik Indonesia

Oleh: Dodi Faedlulloh 

Walaupun ujar Karl Marx (1818-1883) menyatakan bahwa segala kehidupan bergantung dari strukutur dasar, yakni ekonomi, sehingga segala yang berada di atasnya (supra-struktur), misal politik, akan sangat dipengaruhi.oleh struktur ekonomi tadi. Bagi kalangan Marxis ortodoks, doktrin tersebut diyakini benar sehingga perlu perjuangan untuk membuktikannya. Namun bila mengamati, sebagaimana yang dijelaskan Louis Althusser (1918 – 1990), seorang filsuf Marxis dari Prancis, yang pandangannya berpengaruh dalam berbagai lini pemikiran Kiri kontemporer, menyatakan bahwa sifat dari struktur dasar terhadap atasnya bersifat over-determisnitik, tidak deterministik ekonomi mutlak. 

Namun dalam kenyataannya, budaya yang bagi kalangan Marxis ortodoks akan dianggap sebagai buah hasil dari corak produksi, tapi pada realitasnya ternyata budaya dan politik, walaupun sesama struktur atas, ternyata justru saling mempengaruhi. Jadi realitas hari ini sudah melampaui dari kedua gagasan tersebut. Hasil pemikiran para pakar umunya, seperti Alagappa (1996), Fukuyama (1996), Lipset (1996), Huntington (1996), Inglehart (2000) juga menyimpulkan bahwa budaya memberikan pengaruh tertentu bagaimana demokrasi - yang mana demokrasi bagian dari politik -, diadopsi oleh berbagai negara. Seperti yang Fareed Zakaria (2003) jelaskan “Culture is important. It can be a spur or a drag, delaying or speeding up change”. 

 Mengusung Marx di awal latar belakang mungkin dianggap terlalu tendensius. Karena mungkin ada yang menganggapnya lucu menjelaskan dinamika politik dianalisa lewat perspektif budaya, tapi lewat mulut Marx yang jelas-jelas menjelaskan “budaya adalah teori anti budaya.

 Namun hemat penulis, menganalisa perpolitikan Indonesia dari perspektif budaya lewat kacamata Marx, atau setidaknya dari penerusnya yang berada di samping kiri jalan, masih cukup relevan sebagai penjelasan ilmiah. Politik hari ini sudah sangat dipengaruhi oleh budaya bebas (liberal) yang mana juga menopang bagian besar perkeonomian di Indonesia, yakni kapitalisme. 

Ada fenomena yang berbanding terbalik dengan idealita dalam catur perpolitkan Indonesia. Saat pemilu 2009 lalu misalnya terdapat gejala “matinya” politik massif yg ditandai sepinya peminat dan apresiasi pubik terhadap kampanye terbuka. Masyarakat semakin memahami kampanye terbuka sebagai arena hiburan gratis lima tahunan. 

Kemudian hadirnya macam politik transaksional yang menyebabkan masyarakat sebagai pemilih tidak tercerdaskan, karenca cukup memilih siapa calon yang memberinya uang. Kasus-kasus money politic sudah biasa menghiasi media-media di Indonesia. Oleh karena itu, keberadaan politik yang ideal dianggap utopis hari ini. Semangat kapitalisme telah berhasil menciptakan budaya pragmatis, sehingga yang muncul adalah nalar untung-rugi. 

Membaca konsep budaya politik 

Dua akademisi G. A. Almond dan S. Verba (1963) menjelaskan budaya politik sebagai “Sikap orientasi warga negara terhadap sistem politik dan aneka ragam bagiannya, dan sikap terhadap peranan warga negara di dalam sistem itu.” Orientasi politik tersebut terdiri dari dua tingkat yaitu: di tingkat masyarakat dan di tingkat individu. Dan orientasi masyarakat secara keseluruhan tidak dapat dipisahkan dari otientasi individu. 

Kemudian Almond dengan akademis lain, Powell (1978) menjelaskan budaya politik adalah; “Suatu konsep yang terdiri dari sikap, keyakinan, nilai – nilai dan ketrampilan yang berlaku bagi seluruh anggota masyarakat, termasuk pola-pola dan kecenderungan khusus serta pola-pola atau kebiasaan yang terdapat kelompok – kelompok masyarakat.” 

 Menurut Almond dan Powel, orientasi individu terhadap sistem politik mencakup tiga aspek yaitu : Pertama, orientasi kognitif, yaitu pengetahuan dan keyakinan tentang sistem politik. Misalnya: tingkat pengetahuan seseorang mengenai sistem politik, tokoh pemerintahan dan kebijakan yang mereka ambil, simbol-simbol kenegaraan, dll. Kedua, orientasi afektif, yaitu aspek perasaan dan emosional seseorang individu terhadap sistem politik. Terakhir, orientasi evaluatif, yaitu penilaian seseorang terhadap sistem politik, menunjuk pada komitmen terhadap nilai-nilai dan pertimbanganpertimbangan politik terhadap kinerja sistem politik. 

Masih sejalan dengan dua konsep sebelumnya, Masoed (1995) menjelaskan budaya politik sebagai “Sikap dan orientasi warga suatu negara terhadap kehidupan pemerintahan negara dan politiknya.” 

 Beberapa penjelasan di muka adalah penjelasan yang bisa dijadikan pijakan dalam mendefinisikan apa itu budaya politik. Ada benang merah yang bisa ditarik dari rentetan konsep di atas, yakni adanya orientasi dan keyakinan nilai masyarakat. Dalam sub-pembahasan ini, penulis akan mencoba membongkar permukaan dari penjelasan konsep budaya poltik yang dikaitakan dengan konteks Indonesia lewat kacamata Marxis.

Sebagai awalan dalam tulisan ringan ini akan menjelaskan dari mana akar budaya ekonomi politik yang ada di Indonesia yang kemudian akan dibahas dalam perspektif Marxis dan konteksnya dengan situasi politik di Indonesia. 

Akar budaya ekonomi politik di Indonesia dipengaruhi oleh ideologi dan struktur perpolitikan penguasa, termasuk di dalamnya kerajaan-kerajaan, penguasa kolonial, dan penguasa pendudukan Jepang di Indonesia (Adabi: 2006). Ketiganya memberikan andil sebagai akar budaya politik, sehingga pada perkembangan selanjutnya sering muncul dalam dinamika perkembangan politik di Indonesia dan juga perkembangan perekonomiannya. 

Hal ini pun sejalan seperti yang dinyatakan Marx, dalam bukunya berjudul Die Deutch Idiologie (1846) bahwa ideologi adalah kesadaran palsu (false conciousness), menurutnya ideologi merupakan hasil pemikiran tertentu yang diciptakan oleh para pemikir. Menurut Marx bahwa pada dasarnya ideologi adalah pengandaian yaitu pengandaian spekulatif bisa berupa agama, moralitas atau keyakinan politik untuk menyembunyikan atau melindungi. jadi, sederhananya ideologi adalah kesadaran palsu yang digunakan sebagai dasar pembenaran atas hak hak istimewa kelas tertentu. Lebih jelasnya penulis mengutip Marx dalam bukunya tersebut: 

"Gagasan yang berkuasa (ruling ideas) pada setiap epos adalah gagasannya kelas berkuasa (the ideas of the ruling class), yakni kelas yang memiliki kekuasaan material dalam masyarakat, yang pada saat bersamaan merupakan kekuatan intelektul yang berkuasa. Kelas yang memiliki alat-alat produksi material yang nyata pada saat yang sama mengontrol alat-alat produksi mental, dengan demikian, secara umum bisa dikatakan, gagasan dari mereka yang tidak memiliki alat-alat produksi mental tunduk pada mereka yang menguasai alat-alat produksi material."

Dari kutipan di atas, kita tahu bahwa Marx telah menyadari bahwa kekuasaan kelas tidak hanya mencengkeram susunan dunia material, melainkan juga struktur produksi dan reproduksi pikiran dan kesadaran. Bila akar budaya politik kita berasal dari kerajaan-kerajaan, penguasa kolonial, dan penguasa pendudukan Jepang di Indonesia, maka akar budaya politik kita ini, dalam analisa Marx sebenarnya merupakan budaya politik yang masih melindungi atau menyembunyikan kepentingan-kepentingan dari para penguasa, dengan kata lain, yang diungkapkan sebelumnya oleh para akdemisi semisal G. A. Almond dan S. Verba yang menjelaskan budaya politik sebagai “Sikap orientasi warga negara terhadap sistem politik” atau kategorisasi Almond dan Powell orientasi kognitif, afektif dan evaluatif tiada lain merupakan sikap orientasi yang sejatinya tidak benar-benar berasal dari warga itu sendiri.

Kerajaan-kerajaan di Indonesia pada umumnya memiliki sistem feodal yang sama. Khususnya di Jawa, antara pemegang kekuasaan dan gejala kekuasaan dipandang sebagai suatu kesatuan yang nyata. Oleh karena itu kegiatan politik dianggap berpusat pada si pemegang kekuasaan, dan struktur politik menggantung dalam bentuk jaringan-jaringan vertikal yang saling bersaingan untuk memperoleh perlindungan pribadi dari pemegang kekuasaan (Emmerson 1971). 

Tak ubanya dulu, sekarangpun tampaknya sama saja. Budaya politik kita masih berupa warisan dari zaman feodal dulu. R.W. liddle (1977) berpendapat, bahwa karakter Jawa mempengaruhi politik Indonesia pada era Orde baru, rezim yang berkuasa sekarang ini bersandar pada jaringan-jaringan pribadi antara patronklien serta penyukongnya. 

Selanjutnya masuknya kolonialisme (baik Belanda ataupun Jepang) ke Indonesia juga membawa pengaruh, yaitu adanya kapitalisme birokrasi yang mempunyai hubungan dengan modal asing. Birokrat di Indonesia pada zaman orde baru menjadi lumpen bagi kepentingan modal asing. Akhirnya muncul relasi penguasa-pengusaha yang dapat mempengaruhi dinamika ekonomi politik Indonesia. 

Yang tak terelakan dari akar budaya ekonomi politik Indonesia ini berimbas negatif, salah satunya yaitu tindak korupsi yang semakin menjadi-jadi. Budaya korupsi tampak sudah menjadi budaya politik di Indonesia. Walaupun sudah menjadi permasalahan klasik, namun sampai sekarang belum ada titik temu, solusi yang tercipta lewat jalur-jalur dan solusi yang ditawarkan oleh para politisi di Indonesia. 

Bila memandang korupsi dari sudut pandang Marxis, korupsi justru memang sudah menjadi watak rezim yang kapitalistik atau korupsi sudah inheren dalam kapitalisme itu sendiri. 

Ketika pemerintahan dikuasai oleh segelintir para elit yang memuja kapital dan juga disokong oleh kapital pula, maka salah satu buah hasil dari perkawinan tersebut adalah korupsi. Ini sangat terang benderang terlihat. Para penguasa negeri ini adalah mereka si kapitalis yang menguasai instrument-instrumen penting. Kalaupun tidak menjabat dalam struktur politik, sebagian dari mereka bisa memoles lewat korporatokrasi. 

 Penjelasan di muka memberi kita nalar lain, bahwa ternyata dari sejarah pun, akar budaya ekonomi politik kita sudah cacat. Dan kecacatannya tersebut belum bisa diperbaiki, bahkan dengan berjalannya waktu dan meningkatnya semangat zaman, keberlangsungan budaya politik Indonesia masih berada di jalur yang sama, namun lebih “canggih” dalam beberapa hal. []

1 komentar:

Haris HS mengatakan...

nice post

 
Creative Commons License
All contens are licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-NoDerivs 3.0 Unported License.

Creative Commons [cc] 2011 Dodi Faedlulloh . Style and Layout by Dodi | Bale Adarma