Tentang Remaja: Bermain dan Hobi

Oleh: Dodi Faedlulloh

Darah muda, darahnya para remaja
Yang selalu merasa gagah. Tak pernah mau mengalah
-Rhoma Irama-

Tentang bermain

Masa remaja bisa dibilang masa yang paling indah bagi setiap orang. Dalam epos itu, para remaja seringkali berlomba mencari jatidiri. Ada yang terjun menggeluti minat, serius belajar, bahkan tak sedikit yang membuang waktunya dengan hura-hura. Di balik keragaman tersebut tetap hadir keunikan tersendiri, baik yang berbuah positif maupun negatif.

Adolensence adalah bahasa latin dari remaja, yang artinya tumbuh. Menurut Santrock (2003) adolensence didefinisikan sebagai masa perkembangan transisi antara masa anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional. Untuk batasan umur remaja ada perbedaan pendapat, WHO menetapkan batas usia 10-20 tahun sebagai batasan usia remaja, sedangkan di Indonesia sendiri, versi pemerintah menggunakan batas 11-24 tahun untuk usia remaja. Namun yang jelas masa remaja ini dikenal sebagai masa penggalauan. Karena dalam tahap ini seseorang berada dalam posisi transisi, di satu kesempatan bisa disebut masih anak-anak, di kesempatan lain dituntut untuk berperilaku seperti orang dewasa. Ini yang membuat gamang.


Dunia remaja acapkali ditanggapi oleh mereka para remajanya sendiri sebagai waktu untuk mencari kepuasan dalam bermain. Tengoklah di berbagai tempat, di sekolah, jalan, lapangan, mall, atau rumah, baik dengan keluarga, teman, atau pacar mungkin, selalu diisi dengan aktivitas bermain. Contoh yang hampir menjadi pengalaman setiap orang adalah ketika di sekolah ada mata pelajaran yang kosong, satu-dua dari teman atau bahkan kita sendiri pasti ada yang memilih memanfaatkan waktu tersebut untuk bermain. Saya sendiri saat SMA memilih pergi ke lapangan belakang untuk bermain bola ketika ada jam pelajaran yang kosong.

Selama dalam koridor yang tepat, bermain-main bagi remaja tentunya wajar. Bahkan bisa jadi muncul celetukan; seseorang dianggap tak wajar jika menghadapi kehidupan terlalu serius, tanpa pernah meluangkan waktunya untuk mencari kesegaran dalam bermain.

Bermain adalah fitrah manusia. Seorang profesor dari Belanda, Johan Huizinga, dalam bukunya Homo Ludens; a Study of Play Element in Culture menyebutkan bahwa sejatinya manusia itu “makhluk bermain”, makhluk yang suka bermain atau menciptakan permainan. Atau dalam bahasa rumitnya; homo ludens. 

Sedari kecil, orang tua kita selalu mengajak dan mengajar untuk bermain. Saat bermain itulah berbagai varian kecerdasan kita berkembang. Dalam fase the imaginary-the symbolic-the real-nya versi Lacan (1901-1981) pun perkembangan instuisi dan bahasa kita pasti dipenuhi dengan arena dan waktu bermain. Karena “Permainan adalah kebijaksanaan dan cinta bagi si kecil” ucap sang filusuf, Lucian Blaga (1895-1961).

Remaja kini hidup dalam semagat zaman yang serba terbuka dan selalu mem-baru. Segala jenis informasi mudah diakses. Jenis permainan pun semakin bervariasi dan selalu mengadaptasi perkembangan zaman. Hal ini bak dua sisi mata uang, hitam dan putih berada dalam satu klik yang sama. Tidak jarang dengan alasan aktualisasi para remaja terpeleset dalam sisi yang hitam. Dan hal inilah yang dikhawatirkan. Melanjutkan liriknya Rhoma Irama, “Biasanya para remaja berpikirnya sekali saja, tanpa menghiraukan akibatnya.” Saking semangatnya, kadang remaja tidak pernah peduli dalam melihat lingkungan sekitar. Dengan konstruk nilai yang didapatnya dari keseharian, tak jarang mereka menjadi abai dengan nasihat orang tua. Apalagi setelah mendapat sokongan dari teman-temannya yang sering saling memberi dukungan, akhirnya remaja sudah mulai berani membantah orang tua.

Lalu bagaimana?

Nah, dalam hal bermain inilah remaja perlu untuk mengatur kembali, baik jadwal ataupun ruangnya. Bagaimanapun harus bisa membatasi diri, karena remaja mempunyai peran utama yang tak bisa diindahkan. Umumnya remaja adalah pelajar dan bagi pelajar, baik itu siswa atau mahasiswa peran utamanya tiada lain mencari ilmu dan berprestasi. 

“Mengefektifkan waktu bermain” itu kuncinya. Memang tak jarang, kita keasyikan saat bermain sampai lupa waktu. Nah, maka dari itu kita wajib mulai belajar untuk bisa mengefektifkan waktu bermain. Intinya harus bisa menyeimbangkan antara kewajiban dan hak. Sejak SD tentu kita sudah tahu mana yang mesti didahulukan di antara kedua hal tersebut. Kemudian jika muncul hal-ihwal tentang bermain yang dianggap tak ada manfaatanya, kita harus berani untuk mengatakan “tidak” pada ajakan atau rayuan yang cuma bakal buang-buang waktu dan energi kita.

Tentang hobi

Bicara tentang hobi, remaja selalu menjadikan aktivitas kegemarannya sebagai salah satu jalan menuju siapa dirinya. Namun kerapkali dalam mencari identitas tersebut lahir persilangan pendapat para remaja dengan orang tua. Untuk hal ini diperlukan tindakan komunikatif yang difasilitasi oleh orang tua. Sebagai yang lebih dewasa orang tua jangan sampai terjebak dalam dominasi komunikasi. Usahakan komunikasi selalu dua arah serta mencari tahu apa keinginan si anak. Film “I not stupid too” bisa jadi referensi visual bagaimana jadinya jika komunikasi dalam keluarga terlalu didominasi oleh orangtua.

Kemudian agar berimbang, untuk remaja sendiri tentu perlu mempertanggungjawabkan keinginannya tersebut. Tanggungjawab di sini tak boleh dimaknai sesederhana akan menananggung segala akibat dari kegiatan yang dipilih. Lebih dari itu, remaja pun perlu cerdas dalam melandasi pilihannya; apakah sesuai dengan norma sosial? Apakah orang tua tidak akan kecewa dengan pilihan kita? Apakah ini bermanfaat? Apakah yang kita lakukan cuma sekedar ikut-ikutan orang lain saja? Dan pertanyaan lain untuk mengkritik diri sebelum memilih ini-itu.

Ada dua benang yang bisa ditarik dalam satu simpulan. Pertama dari pihak orangtua harus memberi ruang dan kesempatan komunikasi yang deliberatif, tidak mendominasi. Kedua, di pihak remaja harus bisa mempertanggungjawabkan secara keseluruhan pilihannya. Kedua prasyarat tersebut mengharuskan adanya saling pengertian dan kesediaan untuk memahami masing-masing pihak secara utuh. Ketika orangtua memberikan kesempatan bicara, komunikasikan dan beri pengertian orang tua tentang aktivitas kegemaran kita beserta argumentasi yang jelas. Di kesempatan inilah kita juga bertahap berlatih untuk menjadi lebih dewasa dengan membuktikan diri kepada orangtua bahwa kegiatan kegemaran kita memang bermanfaat bagi perkembangan diri, lingkungan dan tentunya tidak bakal mengecewakan orangtua. []

2 komentar:

outbound training di malang mengatakan...

kunjungan gan.,.
bagi" motivasi.,.
Kita di nilai dari apa yang kita selesaikan bukan dari apa yang kita mulai,.
di tunggu kunjungan balik.na gan.,.,

Social Media mengatakan...

remaja memang waktunya bermain dan sebaiknya menemukan hobi yang sesuai dengan bakatnya

 
Creative Commons License
All contens are licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-NoDerivs 3.0 Unported License.

Creative Commons [cc] 2011 Dodi Faedlulloh . Style and Layout by Dodi | Bale Adarma