Oleh : Dodi Faedlulloh
Dewasa ini tidak bisa memisahkan
antara kehidupan ekonomi dengan kehidupan budaya. Adam Smith
sebagaimana dikutip Muller (1992) menegaskan, adalah suatu kemustahilan
memahami ekonomi terpisah dari persoalan masyarakat dan nilai-nilai
budaya. Tidak hanya di bidang ekonomi, begitu pula dalam ranah yang
lebih luas, yakni pembangunan. Budaya suatu bangsa tentu akan sangat
menentukan keberhasilan pembangunan manusianya. Dengan kata lain
pembangunan secara kompeherensif tidak akan berjalan lancar tanpa adanya
kebersamaan, kerekatan, rasa saling percaya, dan keinginan untuk
belajar dan berubah kearah yang lebih baik. Dalam era globalisasi
seperti saat ini tampaknya kekuatan budaya kini semakin terkikis habis.
Tak heran bila kondisi ini menjadi faktor yang menyebabkan seluruh
elemen bangsa kecewa melihat hasil pembangunan yang jauh dari harapan.
Pembangunan selama ini, modal ekonomi sudah banyak yang diinvestasikan bangsa ini baik, natural resources maupun capital resources. Namun hasilnya tidak maksimal. Bahkan, return on invesment-nya tidak memadai melihat kondisi ini, ada sebuah keyakinan bahwa bangsa ini masih memerlukan modal lain yakni modal sosial.
Di Indonesia, modal sosial masih
jarang dikaji, namun di dunia internasional hadir pemahaman yang terus
berkembang bahwa ternyata modal sosial merupakan salah satu faktor
penentu dalam pembangunan ekonomi. Beberapa sarjana seperti Bourdieu
(1986), Putnam (1993), Coleman (1988) dan Fukuyama (2001), percaya bahwa
modal sosial memiliki peran penting dalam keberhasilan pembangunan
(sosial, budaya, ekonomi, dan politik). Fukuyama mengatakan bahwa saling
percaya (trust) merupakan elemen inti dari modal sosial (social capital). Artinya,
bila pembangunan dalam segala aspek ingin berhasil, maka pembangunan
tersebut harus didasari oleh adanya sediaan rasa saling percaya (trust), dan selanjutnya pembangunan tersebut harus mampu mengkreasi sedemikian rupa sehingga trust terus terakumulasi.
Membicarakan modal sosial
berarti kita sedang mempelajari bagaimana sebuah masyarakat bekerjasama
membangun suatu jaringan untuk mencapai tujuan bersama untuk memperbaiki
kualitas kehidupan. Bagaimana sebuah masyarakat membentuk pola
interaksi antar individu dalam kelompok dan antar kelompok dengan ruang
perhatian pada jaringan sosial, norma, nilai dan kepercayaan antar
sesama yang lahir dari sebuah kelompok adalah merupakan dimensi utama
dalam kajian modal sosial. Sebagaimana dinyatakan kembali oleh Fukuyama
(2002) modal sosial ini memiliki dimensi yang luas menyangkut segala
sesuatu yang membuat masyarakat bersekutu untuk mencapai tujuan bersama
atas dasar kebersamaan, dan didalamnya diikat oleh nilai-nilai dan
norma-norma yang tumbuh dan dipatuhi.
Sebagai mahluk sosial, manusia
tidak bisa hidup sendiri. Manusia membutuhkan manusia-manusia lainnya
untuk bekerjasama. Ditengah relasi tersebut akan muncul peran modal
sosial. Modal sosial mengacu pada institusi, hubungan, dan norma-norma
yang membentuk kualitas dan kuantitas interaksi sosial suatu masyarakat.
Institusi yang relevan dengan modal sosial diantaranya adalah
koperasi, karena koperasi merupakan sebuah gerakan perubahan sosial yang
menekankan pada fungsi pembangunan yang berpusat pada manusia (human centre development).
Sudah barang tentu menjadikan modal sosial ini sebagai sebuah poin
penting untuk mencapai tujuan-tujuanya disamping modal material. Dengan
kata lain salah satu urgensitas tugas yang dipegang oleh gerakan
koperasi ini adalah memupuk dan mempertinggi arti dari modal sosial ini
untuk kepentingan kemajuan peradaban sebuah masyarakat.
Modal sosial dalam koperasi berperan begitu signifikan. Dalam riset yang dilakukan Chloupkova et al (2002) yang berjudul Building and destroying social capital: The case of cooperative movements in Denmark and Poland.
menjelaskan bahwa ternyata modal sosial sangat mempengaruhi terhadap
gerakan koperasi di Denmark dan Polandia. Dalam penelitian tersebut
menyajikan data bahwa partisipasi tindakan sipil (civiv actions) di
Denmark dua kali lebih besar daripada di Polandia, serta tingkat
kepercayaan di Denmark (73,9%) lebih besar daripada di Polandia (20,1%).
Gerakan koperasi di Polandia tidak terlalu berkembang berbeda halnya
dengan Denmark karena di Polandia akumulasi asli modal sosialnya sempat
dihancurkan oleh rezim komunis yang sempat memerintah disana.
Koperasi adalah organisasi
berbasis anggota bukan berbasis modal seperti halnya korporasi (swasta).
Jadi jelas partisipasi anggota sangat menentukan perkembangan dan
pencapaian cita-cita koperasi. Partisipasi anggota koperasi adalah
kesedian memikul kewajiban serta menjalankan hak anggota secara
bertanggung jawab. Maju dan mundurnya koperasi akan sangat tergantung
pada peran serta anggotanya.
Kondisi Koperasi
Koperasi adalah sebagai salah
satu bentuk administrasi, namun lebih dari itu koperasi dalam prespektif
administrasi publik kontemporer bisa dieksplorasi lebih luas dengan
pendekatan grand theory NPS (New Public Service). Kajian
NPS menekankan kepada kesejahteraan, keadilan sosial dan partisipasi
masyarakat. NPS berakar dari model komunitas dan masyarakat sipil;
akomodatif terhadap peran masyarakat sipil dengan membangun social
trust, kohesi sosial dan jaringan sosial dalam tata pemerintahan yang
demokratis (Dimock, Dahl dan Waldo dalam Eko, 2011). Terkait dengan hal
tersebut cukup menjelaskan bahwa koperasi relevan dengan kajian NPS.
Begitu pula dalam perwujudan good governance
yang mensyaratkan adanya sinergi antara 3 pelaku, yakni pemerintah,
dunia usaha dan masyarakat. Keberadaan koperasi bisa menjadi salah satu
bentuk partisipasi masyarakat yang dapat bersinergi dengan kedua pelaku
lain adalah masyarakat yang tidak sekedar melakukan apa yang
diperintahkan negara saja, bukan masyarakat yang tergantung terus,
tetapi masyarakat yang berdaya, yakni masyarakat yang mandiri (self help society).
Perkoperasian di Indonesia telah
diamanahkan dalam rumusan perkoperasian di dalam Pasal 33 UUD 1945 ayat
1, yang mana koperasi dijadikan sebagai sokoguru perekonomian
Indonesia. Koperasi pun memiliki fungsi sebagai gerakan ekonomi rakyat
seperti yang termaktub dalam UU No. 25/ 1992 tentang perkoperasian, yang
menempatkan koperasi sebagai badan usaha. Walaupun undang-undang
tersebut menuai kritikan dari para aktivis gerakan koperasi di
Indonesia, karena menyandingkan koperasi sebagai badan usaha semata, tak
ubahnya badan usaha yang cendrung profit oriented.
Respon dari masyarakat terhadap
koperasi cukup signifikan, hal ini terlihat dari meningkatnya jumlah
koperasi di Indonesia dalam kurun waktu sepuluh tahun ini. Dari tahun
2000 sampai saat ini jumlah koperasi meningkat secara signifikan, dari
103.077 koperasi menjadi 175.102 koperasi di Indonesia.
Peranan koperasi pun menjadi
semakin strategis karena dalam koperasi tidak hanya menekankan pada
aspek-aspek pelaksanaan kebajikan sosial (social virtues) namun
lebih itu, koperasi memiliki peranan penting untuk mengangkat
nilai-nilai kebajikan sosial tersebut ke ranah publik (public sphere)
yang lebih luas dalam pola jejaring kerjasama lintas suku, agama, ras,
golongan, interes politik, maupun stratifikasi sosial apapun.
Ada fakta yang menarik terkait
perkoperasian di Indonesia. Kuantitas koperasi di Indonesia yang besar
ternyata tidak berbading lurus dengan kualitasnya. Seperti yang
diberitakan dalam Tempo, bahwa fungsi koperasi di dalam negeri tidak
maksimal dan perlu ditingkatkan. Dari jumlah koperasi yang ada, tidak
sampai separuh unit yang aktif penuh. Padahal jika 50 persen saja dari
jumlah koperasi yang ada aktif secara penuh, maka terdapat potensi
peningkatan skala ekonomi dan penyerapan tenaga kerja.
Menurut menteri Koperasi dan
Usaha Kecil Menengah (UKM) Sjarifuddin Hasan, jika 50 persen unit
koperasi aktif secara penuh, maka terdapat 80 ribu unit koperasi yang
bisa meningkatkan skala ekonominya sampai angka tiga. Hal ini berarti
terdapat potensi 240 ribu potensi penyerapan tenaga kerja (www.tempointeraktif.com dikases tanggal 17 Januari 2010).
Banyak hal yang yang menjadi
penyebab disfungsi koperasi di Indonesia, diantaranya ada
ketidak-sesuaian tujuan, fungsi dan peran koperasi dengan dinamika dan
perkembangan koperasi di Indonesia. Koperasi sebagai entitas ekonomi,
sosial dan budaya terus dipolitisasi dan diintervensi sehingga malah
membuat koperasi tidak berkembang. Maka sangatlah wajar bila saat ini
masih sulit untuk menemukan contoh-contoh koperasi yang ideal di
Indonesia. Kebanyakan koperasi di Indonesia juga lupa dengan jati
dirinya sendiri dan tidak menjalankan prinsip-prinsip koperasi secara
benar.
Memupuk Modal Sosial
Modal sosial adalah potensi signifikan yang bisa dijadikan ‘senjata’ oleh para cooperators
di Indonesia, bukan semata menjadi apologi, ini murni perjuangan.
Bukankah awal dari mula berdirinya koperasi adalah komitmen dan
kerjasama yang harus diselimuti rasa saling percaya. Maka dari itu,
modal sosial anggota harus bisa dibentuk atau bila perlu menciptakan
rekaya sosial (social engineering) guna menumbuhkan modal sosial
anggotanya. Adalah tugas yang tidak mudah, tapi ini sekali lagi sebagai
bentuk perjuangan untuk membuktikan masih ada jalan lain untuk tata
kehidupan masyarakat yang lebih baik.
0 komentar:
Posting Komentar