Kebijakan Publik dalam Perspektif Habermas: Potensi Demokrasi Deliberatif

Oleh : Dodi Faedlulloh

Avant Propos 

Pasca robohnya rezim orde baru semangat demokrasi masyarakat Indonesia semakin menguat. Bak anak ABG yang sedang mengalami puberitas, terjadi luapan kebebasan. Masyarakat jadi ingin lebih tahu dan sudah mulai berani menuntut ini-itu setelah puluhan tahun suara mereka dibungkam. Namun ditengah perjalanannya proses pembelajaran demokrasi seakan kembali layu, suara mereka lambat laun lenyap ditangan segelintir elit.

Demokrasi masih ada, tapi tak tentu arah. Seperti yang dikatakan oleh O’Donnell dan Schimitter (1993) yang menamakannya sebagai fase “transisi dari otoritarianisme entah menuju ke mana”. Sesat arah ini tentu tak bisa dibiarkan berlama-lama, sudah lebih dari satu dekade pasca rezim otoriter runtuh, namun perubahan yang diharapkan tak kunjung datang.

Kebijakan publik adalah arena yang bisa menjadi indikator keberhasilan pemerintah menjalankan amanah dari masyarakat. Bila kebijakan yang hadir bersifat populis dan egaliter tentu nilai plus akan didapat pemerintah, begitu sebaliknya. Tak harus ranah implementasi, kualitas kebijakan bisa dilihat dari proses pembentukannya. Apakah masyarakat dilibatkan atau tidak, ini bisa jadi hal mendasar yang patut mendapat kajian lebih.

Demokrasi di Indonesia baru sebatas demokrasi prosedural. Yang terjadi justru adalah psudeo-democracy, rakyat tak bisa berperan lebih. Partisipasi rakyat sebatas dalam pemilu yang begulir rutin, yang nyata-nyatanya hak memilih tersebut secara tidak langsung rakyat harus merelakan pula haknya untuk beraspirasi akan dirampas oleh orang-orang yang mereka pilih dikemudian hari. Partisipasi rakyat belum terwujud dalam konfigurasi politik real Indonesia. Sialnya, state apartus atau para elite negara malah menodai dari amanah kebijakan publik. Dengan kondisi demikian, kebijakan publik yang harusnya bersifat demokratis, rasionalis, idealis, dan realistis tidak terjadi. 

Dalam bahasa saya, bahan-bahan material proses produksi kebijakan publik menjadi reduktif. Pertukaran kepentingan yang melandasi formula sebuah kebijakan publik tidak muncul karena dimonopoli oleh sekumpulan elite atau politikus negara saja. Masyarakat tidak dilibatkan (sama sekali) dalam perbincangan tentang kebijakan publik. Kondisi seperti ini lah yang malah membuka pintu lebar-lebar masuknya kepentingan elitis yang akan mendistorsi kebijakan publik.

Demokrasi Deliberatif Habermas

Situasi ‘demokrasi’ yang tidak sehat ini perlu segera disembuhkan. Rakyat sudah jengah dengan kebijakan yang tidak rasional demi untuk kepentingan elitis. Perlu penelaahan ulang tentang ‘demokrasi’ yang berlaku di Indonesia. 

Adalah seorang Jurgen Habermas, seorang ilmuwan sosial kritis Madzhab Frankfurt generasi kedua, menawarkan tentang demokrasi deliberatif. Habermas mengkritik pendahulunya yang memahami rasionalisasi (marxian) hanya sebagai praksis kerja. Padahal, Hegel sendiri membagi praksis jadi dua bagian: kerja dan komunikasi. 

Latar belakang pemikirannya adalah pesimisme rasionalisme Barat dalam masyarakat kapitalisme-renta. Dalam kapitalisme-renta, rasio hanya bermakna dominatif melalui kerja yang berharsrat ekonomik dan naluris.
Meminjam istilah Lyotard dalam kondisi postmodern, yang bisa menjadi jalan keluar kejengahan manusia modern dalam kapitalisme-renta adalah komunikasi yang mengemansipasikan manusia. Komunikasi yang bukan tuan-budak, tapi setara-sejajar; bebas dari dominasi menjadi landasan demokrasi deliberatifnya. Kemudian ia mengkrongkitkan komunikasi kemanusiaan itu dalam konsep ruang publik (public sphere). Demokrasi deliberatif adalah derivasi konsep ruang publik dalam teori politiknya. 

Secara sederhana, demokrasi deliberatif ditandai dengan adanya ruang untuk curhat, usul, atau kritik bagi seluruh elemen masyarakat, tanpa pandang bulu, agar segala sisi kemanusiaan dapat diserap sistem politik-ekonomi atau ekonomi-politik. Sehingga apa yang dicita-citakan Habermas, kekuasaan komunikatif melalui jaring-jaring komunikasi publik masyarakat sipil tercipta. Kebijakan tidak lagi dimonopoli oleh kaum elitis, baik itu negara atau bahkan pemilik modal, diskursus-diskursus “liar” yang terjadi dalam masyarakat dapat mempengaruhi kebijakan-kebijakan publik. 

Indonesia?

Latar locus pemikiran Habermas ini adalah kapitalisme-renta Eropa Timur atau Amerika. Namun tidak berarti dasar pemikirannya tidak berlaku untuk konteks ke-Indonesia-an. Apalagi (katanya) Indonesia memiliki pancasila sebagai landasan demokrasinya. Demokrasi pancasila (katanya) mengutamakan musyawarah mufakat, dengan demikian memiliki kesamaan point dengan demokrasi deliberatifnya Habermas.

Demokrasi deliberatif mengutamakan penggunaan tata cara pengambilan keputusan yang menekankan musyawarah dan penggalian masalah melalui dialog dan tukar pengalaman di antara para pihak dan warganegara (bukan hegemoni elit). 

Keterlibatan masyarakat dalam berpartisipasi merupakan inti dari demokrasi deliberatif. Demokrasi deliberatif berbeda dengan demokrasi perwakilan, yang hari ini berlaku di Indonesia yang malah menjadi demokrasi prosedural semata. 

Hal pertama yang harus dilakukan adalah revitalisasi ruang publik. Ruang publik adalah tempat bagi publik untuk mengekspresikan kebebasan dan otonomi mereka. Ruang publik merupakan ruang demokratis atau wahana diskursus masyarakat, yang mana warga negara dapat menyatakan opini-opini, kepentingan-kepentingan dan kebutuhan-kebutuhan mereka secara diskursif. Ruang publik bisa berwujud kebebasan pers, bebebasan berpartai, kebebasan berakal sehat, kebebasan berkeyakinan, kebebasan berunjuk rasa, kebebasan membela diri, kebebasan membela komunitas, otonomi daerah, independensi, dan keadilan sistem hukum (Saefullah : 2000).

Ruang publik memiliki fungsi signifikan, yakni sebagai ruang dimana opini publik yang otentik, kritisme masyarakat terhadap kekuatan politik maupun ekonomi demi mencapai keseimbangan dan keadilan sosial, dapat terbentuk dan tersebar luas kepada seluruh warga negara, sekaligus sebagai penekan terhadap segala bentuk manipulasi ruang publik. 

Manipulasi ruang publik ini lah yang harus “diwaspadai”. Dengan perkembangan kapitalisme yang begitu pesat, sampai bisa menembus organ-organ publik yang semula menjadi tempat diskusi publik seiring waktu mulai berubah fungsi. Struktur ruang publik berubah dari ruang diskusi rasional, debat, dan konsensus menjadi wilayah konsumsi massa dan dijajah oleh korporasi-korporasi serta kaum elite dominan. 

Habermas menawarkan agenda untuk merivitalisasi ruang publik dengan cara memulai proses pada upaya pembentukan konsensus rasional bersama dan menekankan pada opini publik yang bersikap kritis terhadap hegemoni kekuaatan politik dan ekonomi daripada opini yang sudah termanipulasi oleh kepentingan kelompok tertentu.

Habermas mengharapkan opini publik tersebut nantinya akan mempengaruhi proses pengambilan putusan dalam struktur politik dan hukum yang mapan. Kapasitas yang dimiliki ruang publik juga digunakan untuk mengawasi bagaimana sistem politik bertindak. 

Bukan Penutup

Demokrasi yang deliberatif diperlukan untuk menyatukan multi-kepentingan yang muncul dalam masyarakat Indonesia yang heterogen. Jadi setiap kebijakan publik hendaknya lahir dari musyawarah bukan dipaksakan oleh sekelompok elit saja.

Sudah saatnya Indonesia harus mampu mewujudkan suatu sistem politik dan pemerintahan yang memberi ruang bebas kepada warga negara untuk beraspirasi melalui organ-organ publik di ruang publik. Ruang publik yang bersifat bebas, terbuka, mudah diakses oleh semua orang, transparan dan otonom. Tak ada pihak lain (negara/pemodal) yang mengintervensi ruang ini. Diskusi-diskusi publik harus segera mendapat tempat dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga kebijakan publik yang hadir adalah benar-benar hasil demokrasi deliberatif. 

Hugo Chavez di Venezuela, dengan acara mingguannya, Alo Presidente, bisa menjadi salah satu contoh konkret pembentukan ruang publik. Dengan mata telanjang, rakyatnya dapat melihat bagaimana komunikasi bebas dominasi terealisasikan. Atau dengan pemebentukan dewan komunalnya didaerah-daerah Venezuela yang menjadi ruang publik untuk menentukan aspirasi anggota masyarakat.

Komitmen pemimpin akhirnya menentukan. Ruang publik sebagai manifestasi demokrasi deliberatif sulit terwujud bila tidak ada political will dari negara. Habermas memang tidak menganjurkan sebuah revolusi, namun jika negara tidak memperlihatkan itikad baiknya untuk lebih bersikap akomodatif dan responsif, maka tak ada salahnya rakyat sendiri lah yang memperjuangkan, bahkan merebutnya. []

0 komentar:

 
Creative Commons License
All contens are licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-NoDerivs 3.0 Unported License.

Creative Commons [cc] 2011 Dodi Faedlulloh . Style and Layout by Dodi | Bale Adarma