Protokol Kyoto dan Arogansi Negeri Imprealis

Oleh : Dodi Faedlulloh

Manusia adalah mahluk yang paling bertanggung jawab terhadap kemunculan fenomena global warming. Kesadaran akan begitu bahayanya global warming bagi seluruh mahluk hidup di Bumi ini, memaksa para pemimpin negara-negara di dunia mengadakan pertemuan untuk membahas hal tersebut. Saat ini, negara-negara di dunia yang tergabung dalam PBB sedang gencar membahas ancaman dan dampak global warming. Pada tahun 1992 di Rio de Jenairo, Brazil, kemudian kelanjutan pada tahun 1997 di Kyoto, Jepang, di hasilkan sebuah persetujuan untuk mengurangi gas rumah kaca, terutama gas emisi karbon, penyebab global warming, yang dihasilkan oleh negara-negara industri. Kesepakatan di Kyoto ini kemudian lebih di kenal dengan Protokol Kyoto yang salah satu hasilnya ialah Flexible Mechanism, sebuah metode yang dapat diterapkan oleh negara-negara di dunia untuk mengurangi emisi industri. Namun masih ada negara yang masih menolak kesepakatan tersebut salah satunya adalah Amerika Serikat.

Amerika Serikat sampai detik ini belum mau mengurangi pemakaian emisi gas buang dari bahan bakar minyak karena itu akan merugikan industri perminyakan yang setiap tahunnya menghasilkan 450 miliar dollar AS per tahunnya. Padahal Amerika serikat sebagai negara penghasil emisi karbon terbesar di bumi yaitu 20,6% dari total keseluruhan emisi karbon yang dihasilkan.Protokol ini adalah salah satu instrumen terbesar yang di miliki umat manusia untuk menyelamatkan kehidupan di Bumi ini namun justru terganjal oleh karena adanya arogansi dari negara-negara maju yang tidak mau bertanggung jawab.

Kondisi Saat Ini

Delegasi Pertemuan ke-16 Kerangka Kerja PBB untuk Konvensi Perubahan Iklim (COP-16 UNFCCC) yang diselenggarakan di Cancun, Meksiko akhir tahun kemarin menyatakan pentingnya menambah masa berlaku Protokol Kyoto. Protokol itu mewajibkan 37 negara maju menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar rata-rata 5,2 persen dibandingkan dengan level emisi GRK masing-masing negara tahun 1990 pada periode 2008-2012.

“Ini murni bisnis” itulah mungkin yang menjadi argumen Amerika Serikat mengapa menolak untuk meratifikasi Protokol Kyoto. Bila Pemerintah Amerika Serikat meratifikasi dianggap akan membatasi aktivitas ekonominya. Sebagaimana yang diketahui, Amerika Serikat adalah negeri kapitalis raksasa yang tentunya tak mau begitu saja menghentikan akumluasi arus kapitalnya. Padahal kondisi terkini semana yang diungkapkan oleh Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) bahwa emisi GRK global pada 2020 harus diturunkan 25 persen–40 persen dibanding kondisi 1990. Dengan kondisi tersebut tentu memaksa untuk penurunan emsi negara maju perlu ditambah dan juga dilanjutkan setelah tahun 2012 nanti. Data ini tentunya menjadi kekhawatiran tersendiri bagi umat manusia, bagamana tidak karena Amerika Serikat adalah penyumbang 20,6% dari total keseluruhan emisi karbon yang dihasilkan. Bahkan, menurut data yang dibuat oleh World Resources Institute pada tahun 1999 negara itu menghasilkan hampir lima milyar ton gas karbon. Itu berarti, bila dihitung dengan lebih cermat, rata-rata orang Amerika Serikat melepas gas karbon delapan kali lebih besar dari penduduk dunia lainnya.

Walaupun dunia terus menekan namun Amerika Serikat terus berkelit. Padahal negara-negara berkembang sudah lebih maju dengan melakukan aksi nyata. China , bahkan sudah sejak 1999 telah berhasil mengurangi emisi gas rumah kacanya sebesar 19 % tanpa mengganggu roda ekonominya. Buktii kepiawaian negara berpenduduk terbanyak di dunia itu dalam menerapkan kebijakan energi yang efisien dan dengan melakukan konservasi energi.

Menjadi pertanyaan besar mengapa Amerika Serikat seakan-akan takut dengan protokol tersebut. Akan tetapi melihat kondisi Amerika Serikat selaku penganut faham kapitalisme yang taat maka kita dihalakan untuk bersikap curiga terhadap sikap arogannya tersebut.

Salah satu NGO internasional pemerhati lingkungan hidup, Green Peace dengan tegas menuding bahwa sikap Pemerintah Amerika tersebut adalah hasil dari sebuah rekayasa dan lobi dari para pengusaha terutama para pengusaha minyak di Amerika. Namun menjadi suatu hal yang sama sekali tidak elok, global warming bagaimanapun adalah masalah bersama, bila yang dipentingkan hanya melulu karena bisnis semata dan hanya untuk segelintir kaum saja, ini sungguh hal yang sangat kejam. Tindakan arogansi Amerika Serikat ini pun memunculkan kecemburuan negara-negara maju lainnya yang sebelumnya sudah memperlihatkan itikad baik, diantaranya adalah Jepang. Jepang tidak mau patuh lagi terhadap Protokol Kyoto karena merasa tidak fair jika diminta melanjutkan protokol. Dugaan yang menjadi alasannya lagi-lagi adalah karena bisnis. Namun pertanyaannya sampai kapan arogansi ini terus berlangsung ? []

2 komentar:

Chici mengatakan...

Ngomongin masalah global warming itu memang sebenarnya adalah kesalahan manusia. Nggak usah jauh2 ngomongin negara lain, kita ambil contoh di negara kita sendiri aja.
Kemarin adalah hari peringatan lahan basah sedunia, kita tau sendiri kan lahan gambut salah satu hal yg dapat mengurangi dampak global warming itu sendiri, tapi oleh pihak tertentu mereka malah maen babat aja dan dijadikan lahan perkebunan sawit, bener2 nggak memikirkan dampaknya ke depan. Bahkan ini terjadi di satu titik aja, tapi di beberapa daerah di Indonesia kita tercinta ini. Kayaknya udah banyak pihak yg nggak mau bantu menyelamatkan bumi kita mulai sekarang.
Masalah ini memang jadi PR besar buat manusia, hihi... lucu ya padahal yg ngerusak juga manusia....
alangkah lucunya dunia kita ini..
*ups udah kayak judul film aja ya, hihi

Dodi Faedlulloh mengatakan...

Memang lucu sekali kawan manusia ini, saya jadi khawatir dan resah karena telah menjadi salah satu spesies yang berkontribusi merusak bumi.

Memang tak usah jauh-jauh melihat negara lain. Di Indonesia saja, tiap tahunnya hutan dibabat rata-rata seluas 2 juta hektar. Bahkan di tahun 2006, lebih dari 2,72 juta hektar hutan alami musnah, area seluas itu setara dengan satu setengah kali luas Netherland atau empat kali luas Pulau Bali. Kerakusan ini belum termasuk kepunahan makhluk hidup yang tinggal di dalamnya.

Illegal logging seringkali dituding sebagai penyebab hilangnya tutupan hutan Indonesia. Padahal, berdasar penelitian Green Peace Indonesia, penyebabnya adalah ulah rakus pemegang HPH melakukan aktifitas konversi lahan hutan untuk perkebunan.

Perkebunan sawit sekarang menggantikan lebatnya hutan hujan tropis yang untuk ada di butuhkan ratusan hingga ribuan tahun lamanya. Pada 2004, 15,9 juta hektar hutan tersebut harus musnah, dan sialnya hanya 5,5 juta hektar yang dijadikan perkebunan sawit, sisanya dibiarkan gundul begitu saja. Bahkan di tahun 2006, setelah 16,8 juta hektar hutan dibabat habis hanya 6,7 juta hektar saja yang menjadi perkebunan sawit. Lebih menyakitkan lagi, pembersihan lahan yang akan digunakan untuk perkebunan sawit dilakukan dengan cara-cara keji, yakni dengan cara membakarnya tanpa peduli pada sisa spesies penghuni hutan yang mungkin masih selamat dari aktivitas penebangan. Asap pembakaran itu menjadi kabut asap yang memuat racun CO dan Co2.

Hilangnya hutan hujan tropis sebagai penyangga ekologi bumi menyebabkan kacaunya keseimbangan alam, yang dapat memicu datangnya gelombang bencana, entah itu banjir, kekeringan, longsor, cuaca ekstrim dan berbagai bencana lainnya.

Mengingat bahaya yang begitu besar, ternyata alih fungsi ini tidak pernah dipermasalahkan negara, karena sawit dianggap komoditas primadona dunia saat ini, yang bisa meningkatkan pendapatan nasional. sikap Acuh tersebut seakan memperoleh legitimasi dari dunia, terutama Amerika serikat yang gemar mengkampanyekan penggunaan bahan bakar fosil ke biofeul maupun bioethanol sebagai jawaban atas pemanasan global. kampanye ini disebarluaskan melalui Lembaga perdagangan dan keuangannya.

 
Creative Commons License
All contens are licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-NoDerivs 3.0 Unported License.

Creative Commons [cc] 2011 Dodi Faedlulloh . Style and Layout by Dodi | Bale Adarma