“Mencaci” Valentine

Oleh : Dodi Faedlulloh

Valentine ? Saya yakin akan banyak orang yang sudah kenal dan akrab dengan kata yang satu ini, dirayakan setiap tanggal 14 Februari oleh sejuta umat para pengagum kasih sayang yang mayoritasnya tentu adalah generasi muda. Saya pengagum kasih sayang dan juga masih berusia muda tapi tampaknya tak pernah sedetikpun untuk berpikir saya akan merayakannya.

Saya bukan seorang ahli agama yang akan memberikan alasan mengapa saya tak akan pernah merayakan apa yang namanya valentine dengan landasan-landasan fundamental spiritual. Pada kesempatan kali ini saya hanya ingin becorat-coret ria tentang keengganan saya merayakan valentine (lagi-lagi kata ini saya ucapkan,bosan) sesuai dengan hati nurani dan akal sehat yang membimbing jari-jariku untuk terus mengetik di tuts-tuts keyboard sampai akhirnya munculah satu risalah kecil ini. Risalah yang begitu kuat nilai subjektifitasnya namun akan diterima secara bijak oleh para manusia yang berpikir jernih.

Dari banyak versi sejarah munculnya hari valentine tak ada satupun yang menggugah pikiran saya untuk kagum dan saya pun sama sekali tak ingin untuk bercerita dan mengetahui lebih dalam tentang itu justru dari ketidak jelasan dan simpam siurnya asal muasal sejarah ini semakin membuat saya berpikir kalau valentine hanya bentuk “akal-akalan” jangka panjang manusia tempo dulu saja. Yang saya tahu dan pasti kawan-kawan yang lain juga tahu (jangan so pura-pura tidak tahu) valentine sama sekali bukan budaya kita.Titik. Sejatinya kalimat tersebut cukup untuk merepresentasikan secara keseluruhan yang ada dalam benak saya. Akan tetapi saya akan tampak menjadi orang yang bodoh kalau hanya beralasan seperti itu. Lantas alasan apa yang ada dalam benak saya ?

Saya sebenarnya cukup geram meliha para generasi muda yang begitu larut dalam euphoria perayaan valentine. Saya sangat yakin seyakin-yakinnya, ditanggal 14 Februari nanti akan banyak dari teman disitus jaring sosialku seperti facebook dan twitter yang akan meng-update status dengan ucapan selamat hari valentine layaknya pengucapan selamat tahun baru atau ucapan selamat merayakan hari besar agama seperti yang pernah terjadi sebelumnya. Setidaknya hal ini sedikit menggambarkan kalau valentine memang sudah menjadi bagian hidup mereka.

Dengan berat hati kita harus mengakui kalau valentine seakan berubah menjadi budaya. Budaya yang cendrung menjurus menjadi budaya populer dan sangat konsumtif sehingga akan menjadi lahan yang luas untuk mengeruk keuntungan sebesar-sebesarnya oleh para kaum kapitalis dari (maaf) kebodohan para remaja yang selalu doyan memuja dan men-tuhankan gengsi dan style. Bagaimana tidak, perayaan ini lebih banyak ditujukan sebagai ajakan pembelian barang-barang yang berhubungan dengan valentine seperti coklat berbentuk hati,perhiasan ataupun boneka-boneka merah muda yang tampak lucu. Hal ini semakin menjadi-jadi karena didukung oleh pertokoan dan juga tentunya peranan media yang senang memunculkan jargon-jargon dan simbol valentine dan pastinya tak lupa menyelenggarkan pesta atau acara yang terkait dengan valentine dengan tujuan untuk menggeruk keuntungan yang lebih.

Bila si valentine day ini dikaitkan dengan agama sama sekali secara historis bukanlah merupakan suatu budaya dari religi tertentu. Kiranya tak hanya bagi muslim saja, bagi kristiani, budha ataupun hindu memang secara elementer tidak ada relevansi nya, dengan kata lain tidak cocok.

Pada kesempatan kali ini saya akan mengajak pembaca untuk sedikit berpikir secara jernih dan memainkan logikanya. Cukup sederhana, apabila kita memang ingin mengungkapkan rasa kasih sayang kita kenapa harus menunggu valentine tiba ? bukankah kita bisa menunjukan rasa kasih sayang kita setiap detik, setiap menit, setiap jam dan setiap hari kepada orang-orang yang kita kasihi. Sejatinya kita tak perlu berkiblat kepada valentine yang sekali lagi ini bukanlah budaya kita dan tak cocok untuk masyarakat kita yang beragama masih bisa berpikir jernih. Dan bagi yang memilik agama kalau hanya ingin sekedar simbolisais dan “rame-ramean” kenapa tidak “merayakan” hari kasih sayang ini pas dihari besar agama saja yang tentunya lebih prinsifil ? Untuk muslim punya dua hari raya, bagi kristiani mempunyai hari natal yang bisa dijadikan momentum sebagai show time kasih sayang kita dan juga dalam agama lainnya (walaupun pada dasarnya secara pribadi saya tidak setuju kalau kita berbagi kasih sayang saat hanya hari raya saja).

Diluar sana (dan tidak menutup kemungkinan di negeri kita juga) valentine cendrung dirayakan dengan hal-hal negatif dan tentu sangat dedukstrif namun berbalut merah muda yang indah yakni berupa pesta yang bermuara dengan sex bebas dan pesta pora ala American pie. Lagi-lagi ini dilakukan dengan kedok membuktikan cinta. Sependek itukah pembuktian cinta dan kasih sayang kita ? Semoga saja tidak. Saya kira saya cukupkan cuap-cuap saya mengenai valentine ini dan saya tetap berharap semoga kawan-kawan tidak terlalu bodoh untuk ikut merayakannya dan juga tentu tak lupa untuk kawan black car community, black motor community atau black community lainnya saya harap untuk tidak ikut-ikutan merayakan sesuatu yang bukan dari budaya kita.Tapi semuanya terserah individu masing-masin g untuk memutuskan. Salam.

4 komentar:

Bayu Lebond mengatakan...

...kalo kasih sayang bisa dicurahkan setiap hari,kenapa harus menuggu tgl 14 februari...

Zippy mengatakan...

V'day kali ini dan tahun sebelumnya gue gak ngerayain, hehehe...
Bikin habis duit gue euy, wkekekke...
Lagian bener, gak mesti tgl. 14 Feb. buat mengungkapkan kasih sayang :)

Phone World mengatakan...

Ya...lebih enak V'day di rumah aja..
Gak perlu keluar2, macet ntar jalanan, wkekekekeke....
Intinya mah, jangan sesaat doank rasa kasih sayang itu...

Dodi Faedlulloh mengatakan...

@ Bayu Lebond , zippy , phone world--
setuju ...
hehehe, tampaknya tulisan ini tidak terlalu berarti bagi kalian, hehe

 
Creative Commons License
All contens are licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-NoDerivs 3.0 Unported License.

Creative Commons [cc] 2011 Dodi Faedlulloh . Style and Layout by Dodi | Bale Adarma