Saya adalah seorang mahasiswa jurusan ilmu administrasi Negara Universitas Jendral Soedirman Purwokerto sks 2007, sudah hampir tiga tahun saya mencari ilmu disini dan tentu banyak pengetahuan baru yang saya dapat. Berbicara tentang ilmu administrasi negara tentu tak kan pernah lepas dari yang namanya mempelajari birokrasi, dari sejarah birokrasi sampai bagaimana tipe birokrasi yang baik dan ideal untuk kondisi modern seperti saat ini saya dapatkan dikampusku ini. Cukup banyak mata kuliah yang saya ambil yang didalamnya mempelajari birokrasi, tepatnya bagaimana birokrasi yang baik itu seperti apa. Teori-teori disampaikan oleh para dosen, saya pun tentu memperhatikan. Dari penjelasan-penjelasan yang saya dapat, sering kali saya bertanya dalam hati, “kalau konsep idealnya sudah ada, kenapa birokrasi di Indonesia masih seperti ini?”, itulah pertanyaan yang muncul dalam hati.
Seringkali apa yang tertanam dalam idealita justru berbanding terbalik dengan realita yang ada. Begitu juga dengan birokrasi. Di kampus saya terus dijejali dengan teori-teori birokrasi tapi menjadi suatu hal yang ironi ternyata tak perlu jauh-jauh untuk mehat keburukan birokrasi. Di kampusku, FISIP Unsoed, tempat yang dimana katanya penuh dengan mahasiswa aktif dan kritis ternyata masih mempunyai birokrasi yang berpredikat dengan pelayanan yang (sangat) buruk. Ironis memang, ketika banyak mahasiswa yang sering berkoar-koar tentang kemelencengan dunia pemerintahan dan birokrasi diluar sana, justru dirumah sendiri malah terjadi hal yang sebaliknya dan beribu sayang saya lihat para mahasiswa yang kritis itu tenyata cuma mampu berdiam diri dalam menyikapinya. Tanggapan para dosen ? Tak ada urusan, tugas mereka hanya mengajar.
Pada kesempatan kali ini saya hanya ingin sekedar sedikit menceritakan beberapa pengalaman yang cukup prihatin tentang buruknya kinerja birokrat dikampusku. Bukannya melihat suguhan Autoblackthrough goes to campus atau Blackinnovationawards goes to campus yang penuh dengan kreatifitas saya justru disuguhi pengalaman-pengalaman buruk tentang dunia birokrasi dikampusku. Pertama yang sering terjadi adalah saat pembagian KHS dan KRS. Bagi para mahasiswa yang ingin mengambil KHS dan KRS harus ditarik sebesar Rp. 3.000,-. Saya juga mengakui kalau nominal pembayaran ini hanya sebesar Rp.3.000,- adalah tidak terlalu besar tapi pertanyaannya, uang ini untuk apa ? ya inilah apa yang disebut dengan biaya administrasi. Dengan dalih KHS akan dikirimkan ke alamat rumah masing-masing jadi perlu prangko dan amplop. Cukup logis saya kira, tapi begitu saya tanya ke kawan-kawan fakultas lain seperti fakultas ekonomi, fakultas hukum dll ternyata tak ada tarikan serupiah pun. Kalau memang permasalahannya karena di FISIP tak ada biaya tambahan untuk mengirim KHS ke tiap alamat rumaha mahasiswa,sungguh tak adil dan sangat deskriminatif sekali apa yang dilakukan ole orgainsasi tertinggi,yakni pihak universitas terhadap FISIP. Ah tapi saya kurang yakin dengan ini.
Beberapa waktu lalu saya sempat membutuhkan surat keterangan masih kuliah. Saya pun kemudian pergi ke bagian kemahasiswaan dan meminta surat tersebut. Seperti yang saya duga disini saya pun menemukan mahluk birokratis, saya harus menyertakan SK terakhir orang tua dan kartu keluarga sebagi persyaratan. Jadi dengan sangat terpaksa saya harus mem-pending pembuatan surat tersebut dan harus pulang dulu ke Tasikmalaya untuk membawa persayaratan. Beberapa hari kemudian saya kembali ke bagian kemahasiswaan tentunya dengan membawa persayaratan, dalam tempo satu hari satu lembar kertas yang bernama surat keteangan masih kuliah itu pun jadi. Cerita tak sampai disitu, saya pun ternyata ditagih uang sebesar Rp.2.000,- dengan dalih uang administrasi yan g kemudian uang tersebut dimasukan dalam sebuh pembukuan pada sebuah buku tulis. Inikah budaya administratif dikampusku ? Dengan pembukuan dimasukan kedalam buku tulis yang sering dipakai anak sekolahan ? Ada satu candaan dari seorang kawan saya setelah melihat surat keterangan masih kuliah yang baru saya dapat tersebut.”Dod, kalau pengen surat selembar kaya gitu ga usah bayar dua ribu cukup ke saya aja gratis lah tinggal ngetik gitu doank mah !!”. Saya pun tersenyum dan menjawab “jangan salah sob, ni dapat ngetik susah neh perlu satu hari satu malem bikinnya, hahaha”. Dari sana saya pun mencurhatkan pengalaman ini kesalah seorang kawan saya yang kuliah di jurusan manajemen (fakultas ekonomi). Sungguh berbanding terbalik, kawanku itu juga sama pernah membuat surat keterangan tersebut namun tak satu rupiahpun yang harus dibayar dan tanpa harus ada embel-embel satu persayaratanpun. Lah kok seperti ini ? Satu universitas tapi berbeda standard pelayanan ? Apa ada yang salah ?
Satu pengalaman prihatin juga sempat dialami salah seorang sahabatku yang berkuliah di jurusan sosiologi. Ia diminta tolong oleh saudaranya yang pernah berkuliah di FISIP juga untuk melegalisir ijazahnya. Singkat cerita ijazahpun “berhasil” dilegalisir. Saat ijazah sudah sudah ditangan sang mahluk birokratis pun meminta, “Maaf mas biaya administrasinya belum”. Kawan saya tak sengaja melihat angka 2 (dua) dalam lembaran biaya yang diselipkan paling atas tumpukan berkas dan ia pun langsung mengasumsikan kalau baiaya administrasi tersebut hanya sebesar Rp.2.000,- . Sang kawanpun menyerahkan uang tersebut, tapi ternyata ia salah lihat, biaya administrasi bukan Rp.2.000,- melainkan Rp.20.000,- (dua puluh ribu rupiah)ya dua puluh ribu rupiah hanya untuk buruh men-stempel kertas-kertas dengan rincian satu lembar seribu rupiah (kebetulan kawan saya membawa 20 lembar berkas untuk dilegalisir).Pastinya kawan saya tersebut sempat terkaget dibuat ya. Uh betapa mahalnya biaya men-stempel saja .
Sebenarnya masih banyak penyakit birokratis yang menghinggap para pekerja administrasi dikampusku, misalnya masalah biaya kertas formulir sebanyak 3 lembar beasiswa yang berharga tiga ribu rupiah padahal formulir berbentuk hasil dari foto-copian (semahal itukah harga jasa mem-foto copy?) ditambah lagi dengan sambutan yang kurang ramah tanpa salam dan senyuman dari para birokrat kampus semakin menyakitkan hati para mahasiswa yang ingin sekedar meminta bantuan belaka. Birokrasi telah terkonotasi dengan hal-hal negatif dan itu memang benar adanya. Setidaknya ini yang saya lihat selama hampir tiga tahun disini, dikampus FISIPku ini. Ah sekarang saya cuma bisa berharap semoga apa yang sering saya dapatkan saat kuliah, teori dan konsep-konsep pembenahan dan reformasi birokrasi bisa diimplementasikan secepatnya.
7 komentar:
Wah..kalo di kampus gue malah 10 ribu bro...
Katanya sih buat bayar dosen wali...
Hmmm...sayangnya di kampus gue mah mahasiswanya gak terlalu kritis, jadi dibiarin aja....
Hehhehe...btw, main donk bro ke Blog baru gue...
Xixiixixi...
*Promosi dikit :D
Waduw...sorry bro, lupa gue add linknya...
Hhehehe....
Ini yang bener...
*Hapus aja komen yang diatas...
korupsi ada dimana manaaaaa...priketyuw
Kunjungan pertama..., salam kenal ya...
Zippy -- siap berlabuh kesana, hehe
Bayu Lebond -- Ya termasuk dalam dunia pendidikan
Kristanto -- ya salam kenal juga sob
He..he..itu karena karyawan bagian administrasi bukan alumni fisip jadi belum pernah belajar ttg birokrasi yg baik...BIROKRASI...kalau bisa dipersulit kenapa dipermudah he..he..
Selamat belajar yg keras..biar sukses
Dwi NP
(alumni FISIP Unsoed / AN 85)
Posting Komentar