Renungan Ritualitas Agama

Oleh : Dodi Faedlulloh

Tahukah anda bahwasanya orang Yahudi yang religius sering kali menuliskan huruf ‘B”H’ di atas halaman kertasnya. Maksudnya tiada lain adalah B’ezrat Hashem yang dalam bahasa Yahudi berarti “dengan pertolongan Tuhan”. Mereka menuliskan sesuatu yang akan cukup memberi beban yang akan membuat mereka merasa lebih berkewajiban untuk bekerja lebih baik, begitu juga Saya, walau bukan seorang islam yang religius ku selalu menulis kalimat “basmallah” disetiap kertas sebelum ku mengerjakan sesuatu (menulis materi kuliah atau mengerjakan soal kuis dan ujian). Ku jadikan kebiasaan ini sebagai deklarasi niat dengan tujuan untuk mempersiapkan diri melakukan sesuatu yang substansial dan dianggap suci dengan harapan pasca menulis “basmallah” bisa mewajibkan diri sendiri untuk lebih berkonsentrasi dan memberikan segenap kemampuan terbaik dari dalam diri karena Tuhan yang ku imani kini terlibat didalamnya, sehingga ujungnya membuat diri saya tidak berani untuk menulis “kebohongan-kebohongan” yang bisa meruksak nilai moral dan etika pekerjaan Saya. Itulah salah satu langkah dan harapku yang masih dalam tahap proses, sama sekali belum menyentuh hasil maksimal.

Saya merasa sedikit hipokrit ketika berdoa kepada Tuhan. Dengan tanpa rasa malu Saya meminta pertolongan-Nya, meminta ini itu tetapi Saya sendiri masih tak bisa memenuhi perintah Tuhan. Saya selalu memohon semoga selalu ada intervensi dari Tuhan dalam setiap pekerjaanku, (doa) ini bukan sekedar untuk memistifikasi belaka keadaan, tapi hanya menjalankan apa yang ku yakini. Yang kuyakini ? dibalik kesulitan selalu ada kemudahan itu yang kutahu dan seidaknya menjadi suatu hal yang kupercayai untuk menambah rasa percaya diri.


Apakah saya sudah berada dalam ranah seperti apa yang dikatakan Karl Marx, bahwasanya agama merupakan candu ? mungkin benar adanya tapi perlu saya renungkan kembali.

Saya kembali mengambil posisi didepan laptop untuk terus menulis dan berdialetika tentang apa yang saya renungkan sekarang. Candu, kata itu terus menggema dalam hati. Kuakui Saya bukanlah seorang yang religius namun bila membicarakan agama, mungkin karena saya berasal dari keluarga yang agamanya cukup kuat dan saya pun punya latar belakang islamic boarding school selama 3 tahun membuat saya sedikit tahu tentang agama. Ibadah sholat sudah menjadi kebutuhan hidup, mungkin itu yang ku rasa. Dan karena hal itu selalu lekatlah dalam hati pernyataan Tuhan selalu ada setiap tindakan, kebahagiaan, dan bahkan kecelakaan atau musibah yang melanda kita. Tuhan kan selalu memberi intervensi dalam setiap kejadian yang ada, kurang lebih seperti itu gagasan yang ada dalam pikiranku kali ini.

Ditengah alasan-alasan yang ada justru muncul intropeksi ulang saya tentang apa yang saya pikirkan. Saya khawatir andai kata benar keberadaan agama telah menjadi candu sehingga akan mengurangi sikap kritis kita terhap apa yang kita hadapi. “Ini musibah ini takdir Tuhan yang tak bisa diketahui, inilah cobaan”, kurang lebih seperti itu pernyataan yang sering dikeluarkan oleh para pejabat dan pemuka agama bilamana ada bencana yang menimpa tempatnya. Tsunami dan gempa bumi tentu itu 100% berada di tangan Tuhan namun dengan banjir yang bukan lagi membasahi tapi menenggelamkan kota, lumpur yang datang tak diundang di Sidoarjo, longsornya tempat pembuangan sampah akhir yang menggunung, atau runtuhnya bendungan karena aspirasi warga sekitar untuk segera membetulkan bendungan tak didengar oleh pemerintah setempat, apakah ini gara-gara Tuhan lagi ? Itu yang saya khawatirkan , adanya penyelesaian yang dicukupi dengan atas nama Tuhan saja. Ironis, rakyat(awam)pun hanya mengangguk-angguk. Candaan saya terhadap kebiasaan ini adalah janganlah sering-sering membawa nama Tuhan, Tuhan bisa saja menggugat karena ada pencemaran nama baik-Nya yang dirusak oleh manusia. Kalau muncul kejadian akibat dari kesalahan dan kebodohan manusia sungguh tak patut kita sebagai manusia ciptan-Nya lagi dan lagi membawa nama Tuhan sebagai pembenaran. Kalau begitu tak ubahnya korupsi, bila pola pikir masih terbelenggu seperti itu korupsi juga bisa dikategorikan sebagai “takdir Tuhan yang harus terima dengan ikhlas”. Anda pasti tak setuju kan ? Saya juga.

Manusia memang memiliki kebutuhan spiritual, kebutuhan untuk mensucikan atau mensakralkan sesuatu. Itu wajar dan alamiah adanya karena setiap manusia dengan sendirinya mempunyai dorongan gharizah at-tadayyun (naluri beragama) namun bukan berati kita bisa “semena-mena” menyikapinya. Kita patutnya harus bisa lebih proposional dalam bersikap tentang apa yang berhubungan dengan nama Tuhan dan agama. Jangan sampai agama justru menjadi destruktif karena kesalah penterjemahan kita. Kita jangan sampai berhenti berpikir dan terpenjara oleh kata “takdir Tuhan”. Sikap kritis tetap diperlukan agar tak ada sikap hiperbolis terhadapa pembawaan nama Tuhan dan agama yang tidak pada tempatnya. Pemuka agama yang paling berkompeten disini dituntut untuk tak sekedar memberi petuah-petuah tentang kesabaran, rasa ikhlas dan mensyukuri dan menerima apa yang kita punya saja kepada jemaahnya, selain itu perlu juga pemberian petuah religi untuk bersikap kritis terhadap suatu kejadian. Beri tahu kebenaran yang nyata kalau kemiskinan itu bukanlah takdir semata. Beritahukan kalau harga bahan pokok naik lalu kemudian BBM yang juga ikut naik, mahalnya biaya pendidikan, rumahsakit atau layanan publik lainnya bukan sama sekali takdir Tuhan. Beritahukan bahwa untuk merubahnya itu perlu adanya gerakan sosial dan revolusi sistem sosial yang dilakukan secara mendasar.

Beribu maaf saya ucapkan karena saya yang masih sangat bodoh tentang agama justru berkoar-koar tentang agama. Saya sendiri masih perlu banyak berbenah diri tentang masalah agama . Tak ada maksud dan niatan buruk dari risalah ini, saya hanya ingin menyampaikan kegelisahan dalam hati dan membagi serta bertukar pikiran kepada kawan-kawan. Akhirulkalam, bila ada kesalahan adalah murni dari saya sendiri dan kebenaran hanya datang dari Tuhan, salam !.

5 komentar:

Anonim mengatakan...

hohohoho..saya pernah mengalami kegelisahan yg dalam tentang takdir seperti yg dirimu rasakan doy!!:D
sejauh yang saya pelajari dan coba pahami, rasanya saya menemukan sebuah titik terang soal takdir. Dan mungkin kebanyakan muslim di Indonesia (soalnya ga tahu keadaan umat muslim di negara lain..hehe) masih salah memahami takdir ini.
Takdir bukan ... Lihat Selengkapnyaberarti kita "pasrah". Tuhan hanya menetapkan sebuah grand formula, sedangkan kita sendirilah yg berperan memainkan grand formula tersebut. ya contohnya kl kita hidup dengan gaya hidup A maka kita akan mati di umur A, tapi kl kita hidup dengan gaya hidup B kita akan mati di umur B, bukan di umur C. Rasa2nya takdir yang tidak bisa diubah hanyalah sesuatu yg Qadarnya sudah pasti, seperti kita laki-laki atau perempuan. Sisanya masih bisa diubah mengikuti cara kita memilih hidup (tentu saja mengikuti grand formula tadi).Jadi konsep takdir di Islam saya pikir justru mengajarkan kita untuk menjadi manusia yang terbaik. Bahwa kita harus tetap berusaha untuk menjadi yang terbaik yang kita bisa, dan di saat kita jatuh, kita tahu bahwa kita dapat bangkit dengan mengubah pilihan kita. It's the choices that makes us who we are..;)
Tarlah kl ketemu kita ngobrol lebih panjang lg..;)

--Pandu Wicaksono--

boedak betuah mengatakan...

mantap mas..namanya kok sama..nama asli ku dodi atmaja...

admin mengatakan...

bkunjung: new posting> spy next door, jackie asli seru

http://aliepati.blogspot.com/2010/01/spy-next-door-i-like-jackie-come-back.html

freelance content writer mengatakan...

Kata seorang teman yang lebih tahu soal Marxisme, "agama itu candu" jika agama itu membuat orang malas, apatis, dan stagnan.

Karl Marx sendiri menyatakan hal itu setelah melihat banyak orang miskin yang rela berutang hanya demi membayar para pemuka agama untuk bisa ditebuskan dosa-dosanya. Mereka juga berpikir kenapa harus capek-capek bekerja kalau nantinya juga mati, dan orang mati tidak bisa membawa harta.

Mungkin bukan agamanya yang salah tapi manusianya yang salah karena menyelewengkan ajaran agama.

March Toding Mangape mengatakan...

bagus

 
Creative Commons License
All contens are licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-NoDerivs 3.0 Unported License.

Creative Commons [cc] 2011 Dodi Faedlulloh . Style and Layout by Dodi | Bale Adarma