Hari jumat ini (4/12/2009) sebenarnya sungguh malas luar biasa karena harus kembali pergi menemui para birokrat untuk melakukan penelitaian tentang dana BOS. Tapi apa mau dikata deadline sudah harus cepat dikejar. Saat ini Saya dan teman-teman melakukan satu penelitian kualitatif berkenaan dengan sekolah gratis di salah satu kecamatan di Banyumas. Surat pengantarpun telah kami berikan ke sekolah-sekolah yang kami jadikan sampel. Sekolah yang menjadi lokasi penelitian kami adalah hasil dari rekomendasi dari dinas terkait dan survey dari masyarakat sekitar.
Ah tak penting menceritakan bagaimana sulitnya berhadapan dengan birokrat , dari perlakuan yang tidak ramah (perilaku tidak etis birokrat),di lempar sana-sini, sulitnya mendapat senyuman birokrat, sampai kena marah oleh seorang oknum aparat kecamatan sudah kami rasakan bersama.
Dalam kesempatan kali ini Saya hanya ingin sedikit berbagi cerita tentang pengalaman saya ketika bertemu dengan salah seorang kepala sekolah yang kami wawancarai. Entah kenapa Saya tiba-tiba saja ingin bercerita. Tak lama setelah selesai sholat jumat Ku langsung berhadapan dengan laptopku yang kini sudah berbackground djarum balck menthol. Jemarikupun mulai mengetik untuk bercerita. Satu harapan dari Saya semoga risalah ini bisa menjai motivasi tesendiri untuk semuanya baik itu sahabat-sahabat black community yang tak sengaja membaca artikel ini atau bisa saja para birokrat yang belum bisa ramah melayani masyarakat dan jelas khusunya bagi Saya sendiri yang bisa saja beberapa tahun lagi juga sama bekerja sebagai abdi negara.
Bapak Suparjo nama bapak tersebut, dalam sela-sela wawancara tak jarang beliau juga berbagi pengalaman dan unek-uneknya tentang pendidikan. Sikap kritisnya muncul, “bukannya tak loyal, tapi memang dari diri pribadi bapak beranggapan yang menjabat bupati sekarang dirasa kurang greget dalam pendidikan” ujarnya. Beliau memperkuat argumennya dengan beberapa pengalamannya.
Saya pernah mendengar nasihat dari kedua orang tuaku, “kalau ada seseorang yang sukses ditempuh dari titik nol dan dilakukan dengan kerja keras dan hasil dari kristalisasi keringat pasti orang tersebut tak akan pernah melupakan perjalannya dan memahami orang-orang yang ada dibawahnya karena bagaimanapun dia pernah merasakan hal yang sama (pahitnya kehidupan)”. Menurutku begitu juga kiranya beliau. Hampir semua pekerjaan “berat” pernah beliau lakukan ketika kecil. Berdagang, menggaruk tanah sampai turun ke sungaipun pernah beliau lakukan. Beliau pun tak lupa bercerita dirinya yang pernah menjadi seorang penjual layang-layang bersama kakaknya untuk membiayai sekolahnya. “Hebat ! ”, kata itu yang terungkap dari lubuk hati.
Ketika beliau masih duduk dibangku kuliahpun semangatnya tak pernah luntur. Beliau menuturkan selama mata kulaihnya sama, walau berbeda jurusan beliau akan kejar dan tak jarang hak 24 sks yang beliau terima dihabiskan selama 3 hari, karena 3 hari selanjutnya harus dipakai untuk bekerja. Untuk saat ini tak sedikit dari kita mahasiswa yang masih mengeluh kalau selama satu hari harus kuliah 6 sampai 9 sks.
Dengan tetap melayani kami beliau juga tetap melaksankan tanggung jawabnya sebagai kepala sekolah. Ketika ada staffnya datang untuk meminta tanda tangan, beliau terlebih dahulu meminta maaf kepada kami meminta izin dan waktu sebentar untuk memberikan tanda tangan berkas-berkas yang sampai kepadanya. Bila telah selesai, wawancara itu pun dilanjutkan. Karena kesopanannya, keramahannya kami sangat merasa nyaman berada diruang tersebut. “Duh asyik ya kalau ketemu dengan bapak yang kaya gini !” ujar temanku Rara pasca wawancara tersebut.
Tidak seperti birokrat yang pernah Saya temui sebelumnya, beliau sangat ramah, murah senyum dan benar-benar melayani kami dengan baik. Saya pribadi merasa nyaman berbincang dengannya, setiap petanyaan yang kami ajukan dijawabnya dengan baik.
Saya sangat bersyukr ketika dunia birokrasi Indonesia sudah termanifestasi sebagai suatu hal yang ribet, lambat, kaku dan identik dengan amplop justru Saya bisa ditemukan dengan beliau. Setidaknya bisa memberikan contoh bagi Saya bagaimana menjadi birokrat yang baik dan mengimplementasikan etika adminitrasi negara dengan benar.
Tapi sayang senyumku tak berlangsung lama, karena setelah wawancara itu selesai Saya dan teman-teman mendatangi kampus dan bertemu (lagi) dengan “mereka“, si birokrat kampus (baca:bapendik) yang tak ramah. Sayang ketika kita semangat berkoar-koar dalam pembenahan birokrasi, tapi ternyata birokrasiyang ada didepan mata juga masih payah.
6 komentar:
Sudah menjadi motto para birokrat di Indonesia ini: "Kalau bisa dipersulit, kenapa harus dipermudah?"
Masih sulit untuk mengubahnya karena sudah berlangsung turun-temurun dan sepertinya bahkan sudah menjadi kebanggaan internal dalam lembaganya.
tulisan ini membuat q banyak berfikir dan menganalisa......ulasan menarik sobat....salam knal....n happy blooging....
@ Mba Risma --
Ya birokrasi di Indoensia sudah termanesfestasi dengan hal-hal yang buruk, lamban, kaku,amplop dan semua hal yang berbau birokratis. Bahkan sampai ada ungkapan kalau birokrasi yang baik adalah birokrasi yang tidak birokratis.Perlu dirombak total kalau ingin merubahnya(dalam artian reformasi birokrasi secara fundamental, dan tentunya perlu hal ini bakal terjadi karena adanya dukungan dari komitmen elit.
@ Aditya ---
Terimakasih, alangkah indahnya jika media blog dijadikan ajang bertukar pikiran. Salam kenal juga.
oh itu namnya mbak risma toh?aq mampir lagi sobat....sekedar berkunjung n blogwalking
Ya..namanya Indonesia sob, pasti ada saja birokrasi yang gak beres...
Tapi ikutan salut deh ama kepala sekolah tersebut, betul2 bisa dijadikan panutan...
teringat ketika banting tulang dilempar sana-sini ketika minta ttd untuk pengesahan organisasi daerah secara otonomi, rapat sana-sini dengan orang pemkot, menunggu proses ini-itu berminggu-minggu.
tapi akhirnya dapat juga,dengan satu syarat yang secara inplisit tersirat"jangan minta uang dari pemkot jika ada kegiatan"....susah sekali, walaupun sebenarnya kita mau memberikan secercah arah kemajuan di bidang pendidikan pada kota kelahiran.
Posting Komentar